Sejak dari rumah Alan kemarin, sejak mendengar Tante Anna meminta aku menikah dengan Alan. Aku merasa bahwa semua ini hanyalah mimpi.
Bagaimana bisa Tante Anna seterus terang itu? Bahkan, aku sama sekali tidak memikirkan tentang pernikahan dengan Alan. Karena, aku tidak mau egois. Alan bisa dan harus mendapatkan yang terbaik dari aku.
Saat aku menceritaksn apa yang Tante Anna katakan pada Mama, Mama kembali menangis haru. Mama merasa hidupku masih diberkahi, walaupun dengan keadaanku yang cukup menyedihkan ini, masih ada keluarga yang mau menerimaku dengan tangan terbuka.
Tapi, aku kembali mengingatkan Mama bahwa jangan terlalu banyak berharap. Aku juga sudah bilang pada Mama kalau Alan adalah pria baik yang harus mendapatkan kebahagiaannya.
Katakanlah aku menerima Alan, aku pasti akan merasa bahwa aku telah menumbalkannya untuk bertanggung jawab akan anak yang sedang aku kandung ini. Perasaan bersalah karena menghambat kebahagiaan Alan pasti aku rasakan. Membuat Alan bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak pernah dia perbuat, rasanya itu kejam. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku rasa, Alan hanya merasa prihatin dengan keadaanku yang seperti ini.
•••
"Ki, udah ada tanda-tanda belum?" Mas Byan sudah duduk di sebelahku.
"Belum, Mas." Aku masih mengusap-usap perut. Sesekali meringis karena merasa sakit di bagian pinggang.
Beberapa hari ini aku kesulitan untuk tidur nyenyak, posisi apa pun rasanya selalu salah. Sampai-sampai kadang aku tertidur dalam posisi duduk. Mungkin seperti ini, ya, Mama saat hamil aku dan Mas Aaron dulu? Tapi Mama enak, ada Papa di samping yang siap di suruh buat pijat dan usap-usap perut.
Sedangkan aku? Ah, sudahlah.
"Sakit, Ki?" Sekala datang. Sebulan terakhir ini dia menetap di rumahku. Kebetulan kuliahnya juga sedang libur, jadi dia bilang mau menjagaku di detik-detik aku mau lahiran.
"Lumayan, pegel banget nih pinggang."
"Mau gue pijat di mana?" Sekala bergerak mendekat ke arahku.
"Nggak usah. Tapi kalau maksa, pijat kaki gue aja."
Sekala terkekeh, setelahnya dia bergegas mengambil minyak kayu putih untuk memijat kakiku.
"Bengkak banget, Ki." Gala mendekat, jangan lupa boneka chucky itu ada di dekapannya.
"Bisa di tinggal aja nggak, Gal, chucky nya?!" Eder sepertinya gerah dengan tingkah laku aneh Gala.
"Kenapa, sih?" Gala dan Eder saat ini sedang tatap-tatapan tidak jelas.
"Udah, udah. Jangan ribut di sini." Mas Byan menengahi.
Aku juga rasanya ingin sewot pada Gala, tapi sayangnya sedang tidak ada tenaga untuk berdebat panjang.
"Mas Aaron tadi telepon, katanya mau ke sini." Mama datang membawa jus jambu kesukaanku.
"Mbak Anya nggak apa-apa di tinggal?"
"Nggak. Bunda ada di rumah katanya." Bunda itu panggilan untuk mamanya Mbak Anya, dua minggu yang lalu Mbak Anya sudah melahirkan. Dalam proses lahiran sesar, karena bayinya dalam keadaan sungsang—kepala di atas kaki di bawah. Kehamilan kami berdua benar-benar di jarak yang tidak terlalu jauh, seperti yang pernah aku bayangkan dulu.
Anak Mas Aaron dan Mbak Anya laki-laki. Cucu pertama di keluargaku, kami sangat bahagia mendengar kabar itu. Dan sebentar lagi aku akan menambah kebahagiaan mereka.
"Ceriiiiiii." Itu Mas Aaron.
"Panjang umur kamu, Mas. Baru juga di omongin."
"Oh, ya? Tapi di omonginnya yang baik-baik, kan?" Matanya memicing ke arah Mama.
"Ya, jelas atuh."
"Halaah Ibu." Gala ini spesialisnya mengejek Mama.
Mama bergerak menarik paksa chucky kesayangannya Gala, setelah itu pergi terburu ke luar ruangan. "Aahh, Ibuuuuu." Gala menyusul kemudian.
Hiburan sih kalau melihat Mama dan Gala berantem kayak tadi.
"Sehat, Ki?" Mas Aaron mencium keningku.
"Sehat, Mas. Mbak Anya gimana?"
"Baik kok, cuman tambah ribet aja karena ada jagoan di rumah."
Aku terkekeh, "Seneng dong ada anggota baru."
"Iya, lah. Bentar lagi anggotanya nambah." Mas Aaron mengusap perutku. "Kaki kamu bengkak banget." Tatapannya beralih pada kakiku—yang masih di pijat oleh Sekala.
"Iya, kaki aku banyak ngegantung."
Mas Aaron mengusap kepalaku, "Kamu hebat." Aku melihat air mata Mas Aaron jatuh saat mengatakannya.
"Mas? Kenapa?" Aku tersenyum menatapnya.
"Maafin Mas ya, Ki." Tangannya bergerak menggenggam tanganku, "Mas nggak becus jagain kamu." Pandangannya masih tertunduk. "Harusnya Mas tau kalau—"
"Mas, udah." Aku memotong ucapan Mas Aaron yang aku tahu arah pembicaraannya akan ke mana. "Nggak ada yang perlu di sesali. Lupain aja, ya?" Aku balik menggenggam tangannya.
Lalu, pandanganku beralih pada tiga sepupuku yang masih ada di dalam ruangan. Mereka kompak menunduk tanpa suara, aku melihat Mas Byan mengusap kedua sudut matanya, Eder mengepalkan tangannya—dia yang paling marah dan berjanji akan membalas semuanya pada mantan suamiku. Kemudian Sekala, semua tahu kalau dia itu tipe yang tidak pandai mengontrol emosinya, bahunya terlihat bergerak, sudah bisa dipastikan kalau Sekala sedang menangis.
"Kok pada nangis, sih?" Kepalaku meneleng menatap Mas Byan yang masih menunduk. "Gara-gara Mas, nih. Bikin suasananya aneh gini."
Mas Aaron terkekeh, pandangannya juga terarah kepada tiga sepupuku. "Mereka semua sayang sama kamu, Ki. Mereka juga sama menyesalnya kayak Mas. Merasa bersalah karena nggak becus jagain kamu. Laki laki di keluarga ini ada banyak, perempuannya cuma satu. Tapi, kita nggak bisa menghalangi kejadian ini."
"Ya memang nggak bisa. Kalian bukan Tuhan, Mas. Kalian bukan cenayang yang bisa baca masa depan. Kalian bukan orang sakti yang bisa mengembalikan waktu. Semua memang udah jalan hidup aku kayak gini, ini bukan salah siapa-siapa. Berhenti menyalahkan diri kalian sendiri. Aku bahagia kok selama kalian selalu ada di samping aku." Itu adalah kalimat terpanjang yang aku ucapkan ketika ada yang membahas nasibku. Tanpa sadar, aku juga ikut menangis.
Kemudian, Mas Aaron, dan ketiga sepupuku—Mas Byan, Eder, Sekala—memelukku. Mereka tidak tahu ya, ibu hamil itu suhu badannya rendah? Aku merasa kepanasan berada dalam dekapan laki laki melankolis seperti mereka, tapi untuk kali ini saja aku berusaha tidak akan protes.
"Eh, pelukan. Gue ditinggal!" Gala masuk dan ikut bergabung memelukku, aku sampai tidak bisa memperhatikan, chucky kesayangannya itu ikut memelukku juga tidak, ya?
•••••
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was My First Love
RomanceBagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...