Sanari artinya cantik. Banafsha artinya sholehah. Bimantara adalah nama belakang Alan. Itu adalah nama pemberian dari Alan untuk Baby.
Jadi kata Alan, Sanari Banafsha Bimantara secara keseluruhan berarti gadis cantik dan sholehah milik keluarga Bimantara. Mulai sekarang panggil dia Nari, ya.
Alan terharu saat aku memintanya untuk mencarikan nama untuk anakku. Matanya berkaca-kaca saat itu, saking bahagianya.
Mungkin, inilah yang aku tunggu selama ini—perihal pemberian nama. Sosok ayah pengganti anakku lah yang aku inginkan mencarikan nama yang cocok. Dan, nama itu sangat cocok untuk putriku ini. Benar, kan?
•••
Setelah lamaran Alan—yang kesekian—pada hari itu. Setelah aku benar-benar telah membuka hatiku untuk Alan, dan yakin dengannya. Akhirnya, kami pun menikah. Tidak lama setelah kami saling meminta ijin kepada keluarga masing-masing.
Karena, memang kedua keluarga sepakat tidak akan menunda lama untuk menikahkan kami. Acara pun sangat sederhana, hanya di hadiri keluarga inti dan beberapa kerabat, juga sahabat.
Mama menangis terisak saat Alan datang ke rumah dan meminta ijin untuk menikahiku. Mama masih tidak percaya bahwa keadaanku yang seperti ini bisa diterima dengan baik oleh Alan dan keluarganya. Mama berulang kali berterima kasih kepada Alan dan kedua orang tuanya.
Papa juga, beliau yang paling bahagia mendengar aku diinginkan pria seperti Alan. Papa berulang kali meminta Alan berjanji untuk tidak akan pernah menelantarkan aku dan Nari.
Mas Aaron, dia juga berulang kali memohon kepada Alan untuk menjadi yang terakhir untukku.
Alan menyetujui semua syarat dari Papa dan Mas Aaron. Alan juga berjanji akan membahagiakan aku dan Nari, karena bagi Alan kami berdua adalah dunianya.
Aku juga tidak menyangka akan menghabiskan seluruh hidupku bersama Alan. Sahabatku sejak kecil. Masa depan benar-benar sebuah misteri.
Hingga tidak terasa, Nari sudah berumur tiga tahun. Alan benar-benar membuktikan ucapannya, yang mengatakan bahwa ia telah menganggap putriku sebagai anak kandungnya sendiri. Bahkan, tidak jarang Alan yang menjaga Nari setelah pulang bekerja. Kadang, dia juga yang memandikan, memberi makan, memilihkan pakaian, mengajak jalan-jalan, membelikan mainan. Semua hal yang biasanya dilakukan oleh seorang ayah pada putrinya telah Alan lakukan. Tanpa terkecuali.
Aku selalu bersyukur saat melihat momen manis kebiasaan Alan dan Nari di hadapanku. Keluarga kecilku terasa seperti utuh kembali.
"Papiii, Papiii." Nari berlari menyambut kedatangan Alan yang baru saja pulang dari kantor. Itu adalah kebiasaan putri kecilku. Menunggu kedatang Alan adalah hal yang paling dia suka. Karena, setiap pulang bekerja Alan tidak pernah absen membawakan sesuatu untuk Nari.
"Hallo, sayangnya Papi." Alan merentangkan tangan untuk menggendong Nari, lalu sesekali mencium kening dan pipinya.
"Pi, Nali udah bisa gambal lumah lho." Adu Nari pada Alan. Walaupun bicaranya masih sedikit cadel.
"Oke, nanti tunjukkin sama Papi gambarnya." Alan menanggapi ucapan Nari dengan binar matanya yang tidak pernah berubah sama sekali. Dari sana aku melihat ada rasa bahagia sekaligus cinta yang Alan tunjukkan pada putriku.
Aku yang sedari tadi hanya menatap kedua orang yang aku sayangi, akhirnya menunjukkan diri—untuk mengambil alih tas kerja dan juga jas putih Alan yang sudah tersampir di lengannya.
Mata Alan menangkap kedatanganku, senyumnya semakin mengembang. Dia pernah bilang, kalau melihatku sepulang kerja adalah sesuatu yang membuatnya bersemangat. Suamiku itu memang ahlinya membuatku tersipu malu.
"Hai, Sayang." Dia membawaku ke dalam dekapannya, mencium pelipis dan keningku, dengan Nari yang masih berada di gendongannya. Itu juga salah satu kebiasannya sejak kami menikah. Jika saja Nari tidak ada di sana, mungkin bibirku adalah tujuannya.
"Hai. Capek?" Aku balas mencium pipinya.
"Di kantor sama di jalan sih capek. Tapi pas udah sampai rumah jadi semangat lagi." Hidungnya menyentuh hidungku.
Aku mengusap hidungku yang baru saja disentuhnya, "Ada Nari lho di sini." Alan terkekeh, "Mau makan sekarang?"
"Mami masak apa?"
"Kesukaan kalian." Aku tersenyum misterius.
"Sup ayam?" Matanya menyipit saat menjawab.
"Exactly." Aku kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. Tebak-tebakan seperti ini kadang kala aku lakukan untuk menggoda Alan.
"Oke, Papi mandi dulu kalau gitu." Alan bergerak ingin menurunkan Nari dari gendongannya.
Tapi ...,
"Pi?"
"Ya, Sayang?" Nari sudah turun dari gendongan, matanya mendongak menatap papinya.
"Mana?" Puppy eyes andalan Nari membuat Alan gemas.
Tanpa bertanya pun, Alan tahu apa maksud dari si kecil yang tengah menatapnya sambil mendekap boneka annabelle—versi unyu—pemberian Uncle Gala. Sepertinya aku harus bersiap dari sekarang. Gala sudah mulai beraksi.
Alan berjongkok, untuk menyamakan pandangannya pada Nari. "Sebenarnya, Nari nunggu Papi pulang itu, buat hadiahnya, ya? Bukan karena kangen Papi?"
Nari menggeleng, "Nggak gitu, Pi. Nali kangen sama Papi. Tapi, Nali mau hadiahnya juga."
Alan tidak tahan dengan sikap menggemaskan Nari. Lalu, dia mulai memeluk dan menciumi Nari lagi. "Nih." Sebatang coklat berbentuk love Alan keluarkan dari saku kemejanya. "Habis makan, jangan lupa sikat giginya, ya?"
Nari tersenyum sangat lebar, "Siap, Pi." Coklat itu di ambil, dan pipi Papi Nari cium—sebagai ucapan terima kasih.
"Lucu banget sih, anak aku." Alan bergumam sendiri. Tapi aku mendengarnya. Tiba-tiba mataku mulai berkaca-kaca. "Tunggu sebentar ya, Sayang."
"Iya." Aku menjawab tanpa berbalik menatapnya, karena aku tidak ingin kelihatan melow di depannya.
Setiap hari aku selalu merasakan hal ini, dibuat merasa sangat beruntung telah hidup di dunia ini. Alan adalah sebuah alasan mengapa aku harus hidup lebih bahagia lagi. Karena, kebahagiaanku adalah kebahagiaan Alan dan Nari.
•••••
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was My First Love
RomanceBagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...