Alan membawaku ke sebuah taman, yang katanya sangat cocok untuk ibu dan anak seperti kami—aku dan Baby.
Di sana pemandangannya sangat asri, di sebelah kanan kita bisa melihat gunung, lalu di sebelah kiri tampak danau yang begitu indah. Pilihan Alan selalu tepat.
Kami bertiga berjalan di jalan setapak yang sudah di pasangi paving block—sebagai area berjalan kaki para pengunjung taman.
Stroller Baby di dorong oleh Alan, dia mengambil alih dari tanganku sejak kedatangan kami di taman ini. Aku tidak punya tugas apa pun, hanya berjalan mensejajarkan langkah dengan Alan.
Sepanjang berjalan obrolan kami masih ringan, tidak ada hal serius yang kami bicarakan. Alan hanya terus-menerus menanyakan tentang perkembangan Baby di rumah, seperti; dia sudah bisa apa, makan apa hari ini, tidur jam berapa malam tadi, apa masih begadang, ngapain aja seharian ini, dan kamu capek nggak? Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ketinggalan untuk Alan tanyakan padaku.
Kalau aku jawab iya capek. Maka Alan akan menyahut makanya nikah sama aku. Beberapa hari terakhir, ajakan menikah kembali Alan utaran padaku. Ternyata, selama ini dia tidak mengungkit masalah itu karena ingin memberi aku waktu untuk menikmati peran baruku sebagai seorang ibu. Kata Alan, dia tidak ingin merusak suasana antara aku dan Baby kalau dia terus membahas tentang pernikahan. Dan setelah Baby berumur dua bulan, Alan berpikir ini adalah waktu yang tepat. Kembali mengajakku untuk melangkah ke arah yang lebih serius.
Aku masih belum bisa menjawab, karena aku harus benar-benar memikirkannya secara baik-baik. Statusku ini cukup mempengaruhiku untuk segera menjawab. Makanya, sampai detik ini aku masih sedikit ragu.
Aku dan Alan sudah duduk di pinggiran bukit, beralaskan alas piknik. Duduk di alam terbuka dengan udara yang sejuk seperti ini benar-benar membuat rileks. Tidak salah Alan membawa kami ke sini. Dia tahu, kalau aku kadang kelelahan mengurus Baby. Dan, setelah datang ke taman ini, aku yakin energiku akan terisi kembali.
"Ki?"
"Hm?"
"Mau makan?"
Aku menggeleng, "Nanti aja. Dari tadi aku ngemil, masih kenyang banget. Kalau kamu mau makan, makan aja."
Alan juga menggeleng, "Kalau kamu udah kenyang, sekarang kita ngobrol aja, gimana?"
"Bukannya dari tadi kita ngobrol, ya?"
"Tapi kali ini aku mau ngomong serius."
Aku tidak menjawab, tapi posisiku berubah menjadi menghadap Alan sepenuhnya.
"Menikah sama aku, Ki."
Aku tersedak, saat Alan mengatakannya aku baru saja selesai meminum air mineral yang sedari tadi berasa dalam genggaman.
"Ki? Kamu nggak apa-apa?"
Aku masih terbatuk-batuk, rasanya tenggorokanku sakit sekali. Dan aku yakin, wajahku sudah memerah.
"Udah baikan?"
Aku mengangguk,
"Ya udah, gimana? Mau kan nikah sama aku?" Aku pikir setelah kejadian aku tersedak tadi, Alan akan menunda melanjutkan ajakannya. Tapi aku salah, mungkin Alan tidak ingin mengulur waktunya lagi.
"Lan? Kamu serius?" Angin sepoi-sepoi membuat rambutku beterbangan.
Alan menyelipkan rambut yang menutupi wajahku ke belakang telingaku, "Of course. Kenapa nggak?"
"Kenapa aku, sih? Harusnya kamu berhak bahagia dan dapetin yang lebih baik dari aku."
Aku akui, tidak sulit mencintai seorang pria seperti Alan, hanya saja aku masih meragukan diriku sendiri, apa aku sudah benar-benar siap untuk membuka lembaran baru bersama Alan?
"Aku tau, kalau aku berhak bahagia. Tapi aku juga tau, siapa yang pantas membuat aku bahagia." Alan sepertinya ingin menunjukkan padaku bahwa kebahagiaannya ada pada diriku. Dan, sepertinya Alan ingin memberitahu padaku bahwa cinta sejati itu memang ada. Terbukti, setelah perpisahan kami selama sepuluh tahun perasaannya padaku tidak pernah berubah sama sekali.
"Tapi, aku udah punya anak, Lan."
"Aku tau."
"Apa kamu bisa menerima—seandainya ..." aku sedikit menggantung kalimat, agar Alan bisa berpikir lebih banyak.
"Kamu pikir aku nggak mempertimbangkan itu ya, Ki?" Alan menatapku lekat, penuh dengan keseriusan. "Aku mau hidup berdua sama kamu, itu artinya aku akan menerima semua tentang kamu. Termasuk masa lalu kamu dan juga anak kamu."
"Kamu bakalan anggap dia kayak anak kamu sendiri?"
Alan terkekeh singkat, "Memangnya selama ini sikap aku yang udah menganggap dia anak sendiri nggak kamu sadari?"
Aku masih diam, apa yang harus aku jawab?
"Stop berpikir yang nggak-nggak, Ki. Berhenti menolak aku."
"Aku cuma nggak mau orang-orang menilai buruk tentang kamu, karena ... menikahi seseorang dengan status kayak aku."
"Aku nggak peduli sama orang lain. Yang penting kamu— perasaan kamu sama aku. Lagian, keluarga aku nggak keberatan. Kamu tau, kan?"
Aku mengangguk. Memang benar, keluarga besar Alan— khususnya mami dan papinya Alan—mereka menyetujui keinginan Alan untuk menikahiku. Karena, mereka pikir lebih baik anaknya menikah dengan seorang perempuan yang mengenal baik keluarga mereka.
Tante Anna pernah bilang, anak aku bukan hasil dari kesalahan, anak aku tidak ada dosa apa pun, kenapa harus tidak disetujui keberadaannya?
Lalu, aku pun akhirnya dengan yakin menjawab. "Oke, I'll try."
Mendengar itu, Alan menyunggingkan senyum menawannya dan langsung memelukku erat.
"Aku nggak bisa janji akan jadi yang sempurna buat kalian. Tapi, aku bisa berjanji nggak akan pernah menyakiti kalian berdua, aku nggak akan meninggalkan kalian berdua sampai kapan pun. Aku nggak akan jadi seperti orang itu."
Orang itu? Ya, mungkin Alan sedang menyindir mantanku.
"Maafin aku, Lan. Aku bikin kamu menunggu selama ini." Aku melonggarkan pelukan dan menatap Alan.
"It's okay, yang penting sekarang akhirnya kamu menerima aku." Alan membelai sisi wajahku, "Kita akan menua bersama, Ki." Kemudian, Alan bergerak mencium singkat keningku.
Aku merasakan cinta di detik itu juga, rasanya aku tidak menyesal dengan keputusanku. Aku yakin, Alan adalah pilihan yang tepat.
•••••
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was My First Love
Roman d'amourBagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...