Sebelas

13 4 0
                                    

Dua minggu lagi, perkiraan aku melahirkan—menurut hitungan dokter. Aku semakin sulit bergerak, ke mana-mana kalau tidak memungkinkan aku pasti meminta bantuan siapa pun.

Akhir-akhir ini para sepupu sering kali menginap di rumah, entahlah, mungkin mereka ingin menemaniku melalui proses melahirkan.

Aku sampai berpikir, mereka semua berencana untuk pindah rumah, ya?

Alan pun tidak ketinggalan, dia juga sering datang ke rumah. Mama senang sekali mengetahui Alan telah kembali. Keluarga kami memang sedekat itu, jadi, jangan heran kenapa Mama merasa sangat senang.

Alan sudah mengetahui semuanya, aku sudah menceritakan pada Alan. Dia terkejut sekaligus marah. Ya, dia marah karena aku sudah di telantarkan seperti ini dalam keadaan hamil.

"Siapa, Ki, pria bodoh itu?"

Bodoh? Aku kali yang bodoh karena mau menikah dengan pria itu.

"Udah lah, Lan. Lupain aja. Aku bahagia kok walaupun jadi single parent." Aku benar-benar bahagia, kok.

Alan menggeleng, tidak percaya. "Sumpah ya, aku nggak nyangka masih ada pria yang nggak bertanggung jawab kayak gitu!"

"Lan, dia bahkan nggak tau kalau aku hamil."

Mata Alan melebar, dia terkejut. "What? Kok-"

"Aku sengaja nggak bilang, aku udah terlanjur kecewa."

Alan hanya diam, dia benar-benar tidak menyangka sepertinya dengan keadaanku yang begitu menyedihkan.

•••

Hari ini adalah jadwal terakhirku periksa sebelum melahirkan, biasanya aku pergi dengan Mama atau kalau lagi ada sepupu di rumah, Sekala yang setia menemaniku. Tapi, hari ini Alan menawarkan dirinya sendiri untuk menemani ku periksa ke dokter.

Mama tentu setuju, apa ini bagian dari rencana Mama lagi?

Dulu, aku pernah bilang, kalau aku sanggup jadi single parent, aku sanggup menghidupi anakku seorang diri. Mama marah saat mendengar aku mengatakannya. Mas Aaron juga sedikit sewot dengan keputusanku yang memilih sanggup untuk hidup sendiri.

Bukan karena aku trauma dengan pernikahan ataupun pria, aku cuman belum siap jika menerima kenyataan bahwa seseorang yang dekat denganku nanti tidak akan bisa menerima anakku dengan baik.

Kebahagiaanku sekarang bukan untuk diriku sendiri, aku akan punya anak, tentu aku harus memikirkan kebahagiaannya juga.

Mama seperti mendapat angin segar setelah tahu Alan datang dan terus memperlakukanku dengan baik, Mama merasa melihat sosok menantu idaman dalam diri Alan.

"Ki, udah siap?" Alan bangkit dari duduknya setelah melihat aku keluar dari kamar tamu.

Sejak hamil, aku tidak di ijinkan untuk memakai kamarku yang berada di lantai dua, terlalu beresiko kalau aku harus naik turun tangga setiap hari. Jadi, kamar kesayanganku sekarang sudah di ambil alih oleh Gala—jika dia menginap. Aku merasa tidak bisa menempati kamar itu lagi setelah chucky-nya Gala dibiarkan berada di sana.

Aku mengangguk dan tersenyum saat menatap Alan, "Yuk, jalan sekarang."

Saat kami sudah berada di teras, Mama berteriak. "Hati-hati, ya."

"Iya, Ma." Itu jawaban dari Alan, sejak kembali lagi Mama memutuskan untuk membiarkan Alan memanggilnya Mama. Aku hampir protes, tapi Alan tidak keberatan. Aku bisa apa?

"Habis dari dokter jalan-jalan dulu, jangan langsung pulang."

"Apa sih, Ma? Alan tuh capek."

"Nggak, kok." Aku menoleh dan melotot pada Alan. Dia hanya mengangkat bahu.

She Was My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang