— 𝓣𝓱𝓮 𝓓𝓸𝓬𝓾𝓶𝓮𝓷𝓽𝓪𝓻𝔂 —
Bersama dengan angin yang semula sejuk, terlihat kabut yang tipis mulai menyelimuti. Semakin bertambah detik, semakin dingin angin yang mengitari area tersebut. Kabut putih pun perlahan terus menebal, mulai menghalangi jarak pandang.
Tak berselang lama, sebuah aroma yang asing menyapa hidung. Menyengat dan memaksa untuk mengunjungi paru-paru. Meskipun begitu, aromanya wangi. Semakin jelas tercium seiring dengan terpaan angin yang seolah berputar-putar.
Tetapi kemudian, terlalu tajam. Sampai-sampai akhirnya terselip satu bau amis. Seolah telah lama bersembunyi di balik aroma manis yang menyengat.
Tak cukup sampai disitu, mulai terdengar suara. Entah dari mana asalnya, tetapi ini jelas suara isakan tangis. Kabut tebal telah memangkas konsentrasi. Suara pilu itu sama sekali tidak bisa ditemukan sumbernya.
Berputar, dan mulai berlari tak tentu arah. Ke mana saja, yang terpenting keluar dari wilayah yang berselimut kabut ini. Namun anehnya, langkah kakinya seolah tengah mengitari area yang itu-itu saja. Suara tangisan, kabut, angin kencang dan aroma amis, berbaur menjadi satu hal yang jika ini mimpi, ingin segera ia akhiri.
Di tengah kepanikan yang mulai melanda, ia melihat satu siluet di kejauhan. Seorang perempuan memunggunginya. Menunduk dengan rambut panjang tergerai. Sebuah gaun berwarna putih selutut yang ia kenakan tampak kusam dan kotor. Atau mungkin itu disebabkan oleh kabut yang kian bertambah. Hingga perempuan itu menghilang tanpa jejak.
Kakinya siap melangkah berniat mengejar, namun seseorang, atau mungkin sesuatu, menghalanginya. Seperti ada dinding kaca yang besar di depannya. Mencegah kepergiannya dan berbisik sangat dekat di depan telinganya. "Jangan pergi!"
Tepukan pada bahu kanannya membuat Park Jisung berbalik badan, ia menemukan Mark Lee tengah membawa satu tas besar, di pundak kirinya. "You okay? Masih pagi kenapa lo melamun disini?"
Jisung mengalihkan perhatiannya. Sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan Mark barusan. Toh lelaki itu tidak keberatan diabaikan dan lanjut pada pekerjaannya. Diletakkannya tas besar itu ke dalam bagasi mobil yang terbuka lebar. Jisung tadinya juga meletakkan sebuah kotak peralatan miliknya dan berakhir tertarik ke alam lain. Ini memang kadang terjadi jika pikiran Jisung sedang kosong.
"Lo belum sarapan? Masuk ke rumah, sarapan dulu."
Sepertinya Mark menyadari ada yang tidak beres dengan Jisung. Terlihat dari raut wajahnya yang kebingungan juga bulir-bulir keringat di wajahnya. Jisung tidak mungkin selemah Haechan yang tidak dapat mengangkat barang tanpa bantuan Jeno. Sebagai leader dari kelompok Dernier Travail mereka, Mark tentu harus paham bagaimana kondisi para anggota timnya.
"Gue cuma sedikit haus," jawab Jisung. Tidak sepenuhnya bohong. Ia sudah sarapan di rumah dan memang merasa dehidrasi. Ini biasa terjadi ketika Jisung dihampiri oleh bayangan-bayangan kejadian yang sebetulnya tidak ingin ia lihat.
"Di dapur ada Renjun lagi bikin minum. Lo bisa lewat samping, di sana ga perlu buka sepatu."
Jisung mengangguk kecil, kemudian berjalan sesuai arahan sang pemilik rumah. Ia melewati dua buah mobil milik keluarga Chenle yang terparkir di halaman rumah Mark. Kakinya terhenti saat melihat Karina dan Giselle mengangkat satu kotak cukup besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Documentary || NCT Dream X Aespa
FanfictionMereka hanya sebelas orang remaja yang berniat menyelesaikan tugas akhir dari sebuah Akademi Film, tempat mereka menuntut ilmu perfilman. Sayangnya, tugas ini sungguhan akan menjadi akhir dari segalanya. NCT Dream X Aespa Misteri ; Sedikit Horror