Chapter 03

419 49 1
                                    

- 𝓣𝓱𝓮 𝓓𝓸𝓬𝓾𝓶𝓮𝓷𝓽𝓪𝓻𝔂 -

Air perasan jeruk lemon itu menetes, menyapa teh yang kemerahan. Hanya perlu sebilah sendok untuk membuatnya berbaur dengan teh yang kemudian dimasukkan balok es batu kecil-kecil.

Haechan meletakkan tiga buah gelas es teh lemon buatannya ke atas nampan. Membawanya berjalan ke ruang tamu. Mark masih di sana bersama Chenle yang baru saja tiba. Rambut Mark yang cukup berantakan menandakan bahwa ia belum mandi. Chenle datang terlalu pagi di hari minggu yang dingin ini.

Rupanya keperluannya sangat mendesak. Ia sebelumnya bahkan ke rumah Mark, namun yang ia dapatkan adalah kabar bahwa Mark menginap di rumah Haechan. Sejujurnya Chenle tidak mengerti, mengapa Mark menginap di rumah Haechan yang jaraknya hanya terbatas satu buah rumah tetangga lain. Tapi ya sudahlah. Ia sudah tidak heran dengan kalimat di mana ada Haechan di situ juga ada sepupunya, Mark Lee.

Chenle menerima segelas teh yang disuguhkan oleh Haechan. Saat hendak membuka suara membahas maksud sebenarnya dari kedatangannya pukul delapan pagi ini, ibunda Haechan turun dari lantai dua, dengan pakaian rapi. Chenle pun mengurungkan niatnya.

"Mark, mami kamu udah siap belum?" tanya wanita yang selalu terlihat ceria itu.

"I don't know too, jemput aja bun. Palingan masih depan kaca." Mark menjawab setengah berteriak, karena bunda Haechan memasuki dapur kemudian.

"Jadi gimana?" Haechan mengabaikan bundanya yang sepertinya akan keluar bersama sang kakak ipar, mami nya Mark. "Ada kendala?"

"SLB yang dipilih Jaemin.." Chenle meletakkan ponselnya di atas meja, menunjukkan kepada Mark dan Haechan. "Mereka nolak tempatnya kita pinjam. Mereka ga peduli padahal udah gue bilang maksud kita baik. Bikinin film dokumenter buat lebih dipandang sama publik."

Mark mengamati sebentar percakapan dalam sebuah Direct Message antara Chenle dengan pengurus Sekolah Luar Biasa yang mereka targetkan sebelumnya.

"Gue udah bilang nanti kita kasih dana juga. Malah ngamok. Ceramahin gue macem-macem. Masih muda jago sogok katanya. Sogok apaan, orang maksud gue kan ucapan terima kasih." Chenle tampak sangat kesal. Wajahnya sudah ia tekuk dan bola matanya menatap malas ke arah ponselnya.

"Terus RSJ yang dari Giselle gimana?" Mark duduk di lantai kemudian, bersandar pada sofa ruang tamu dengan satu kaki dilipat naik, satu kaki selonjoran. Ia duduk tepat di depan Haechan sehingga saat mencoba bersandar, punggungnya bertemu dengan kedua kaki milik sepupunya.

"Nah, yang ini ga ada hambatan sama sekali." Wajah Chenle seketika berubah. Secepat itu mood buruknya berlalu. "Mereka bilang silakan, selama ga mengganggu orang-orang sakit jiwa itu. Mereka bersedia kalau cuma buat ditempati beberapa minggu mah. Mereka bahkan bilang makasih karna kita berniat dokumentasiin tragedi kebakaran itu lewat film. Cuma kita ke Kalimantan, harus ijin sama orang tua anggota lain."

"APA?! KALIMANTAN???" Bunda Haechan baru saja datang dari arah dapur, menyela pembicaraan mereka. "Ga bisa yang deket-deket aja sayang?"

Haechan menghela napas. Ia kadang juga lelah. Kenapa ia selalu dikhawatirkan layaknya anak gadis? "Bunda, DerTrav nya harus ke luar pulau Jawa."

"Tenang aja bun, kan ada Mark."

Meskipun Mark bisa dipercaya dan sudah seperti guardian angel untuk Haechan, tetap saja, ibu mana yang dengan senang hati membiarkan anak semata wayangnya berkeliaran di tanah orang tanpa pengawasan?

Dengan cepat, bunda Haechan naik ke lantai dua lagi. Dan kembali dengan kotak berwarna hitam di tangan beliau. Tidak terlalu besar, tetapi terlihat berkelas meskipun polos tanpa ukiran apa pun. Beliau meletakkan kotak tersebut di atas meja, memperlihatkan isinya.

The Documentary || NCT Dream X AespaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang