6. Kasihku

6 3 0
                                        



(•‿•)

Namaku Adam. Yusuf Adam Dwiki. Aku tinggal bersama Mamiku di salah satu komplek perumahan di kotaku. Sejak kecil aku hanya tinggal berdua dengan Mami, tanpa kehadiran ayah atau kerabat dan sanak saudara yang lain. Tidak seperti orang-orang pada umumnya. Tetapi tidak mengapa, aku bahagia meski hanya berdua dengan Mami. Kami berdua bahagia.

Aku sekolah di SMA negeri terbaik di kota kami. Aku belajar dengan rajin dan menjadi murid yang baik, tentu saja. Aku ingin dan selalu menargetkan nilai-nilai terbaik. Aku juga sering mengikuti olimpiade dan tak terhitung lagi berapa trophy dan penghargaan yang kuterima karenanya. Aku kan ingin membuat Mamiku bangga.

Tapi semua mimpi indahku dengan Mami lebur begitu saja ketika aku tahu kebenaran tentang diriku.












































Bahwa aku bukanlah putra Mami.
















































Hatiku hancur mengetahui fakta itu. Aku marah, sedih dan bertanya-tanya mengapa ini terjadi padaku? Aku berhari-hari mengurung diriku di kamar. Tidak mandi, tidak pergi sekolah. Aku meratapi nasibku yang ketika bayi dibuang begitu saja oleh orangtua kandungku. Entah siapa mereka, di mana, dan bagaimana keadaan mereka sekarang. Apakah lebih bahagia tanpa aku?

Kemudian tiba-tiba aku menjadi anak yang rebel. Aku sering membolos sekolah, ikut-ikutan merokok seperti teman-teman, aku menjadi sosok yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku bahkan mengabaikan Mami, hampir tidak berbicara padanya. Aku pergi jauh sebelum Mami bangun, dan tiba di rumah jauh setelah Mami tertidur. Bahkan tak jarang aku menemukan Mami terlelap di sofa ruang tamu rumah kami, menungguku.

Seperti malam ini, aku tiba pukul satu dini hari. Kubuka pintu rumah kami perlahan, ruangan sudah remang-remang. Kulihat Mami terbaring di sofa panjang ruang tamu. Dia ketiduran lagi, pikirku.

Aku melangkah ke kamar Mami, mengambil selimutnya dan kembali ke ruang tamu. Kuselimuti Mami secara perlahan, berusaha agar Mami tidak sampai terbangun. Tapi usahaku tidak berhasil, Mami mencekal lenganku seraya membuka matanya perlahan.

“Adam dari mana?” tanyanya dengan suara serak. Matanya menatapku lembut meski kentara sekali ia menahan kantuk.

“Dari alun-alun,” jawabku singkat.

“Kenapa larut sekali pulangnya, Sayang?”

Aku tidak menjawab pertanyaan Mami. Aku hanya menunduk memandangi sepatuku. Ah, sudah lama sekali aku tidak merasakan ini. Perhatian kecil Mami Selma ini seperti luput dari mataku. Betapa bijak Mami menyikapi perubahanku, tingkah kekanak-kanakanku. Tiba-tiba aku merasa bersalah atas semua yang kulakukan akhir-akhir ini.

“Adam masih kepikiran soal itu?” tanyanya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. mau tidak mau aku mengangguk pelan, masih dengan kepala tertunduk.

“Kenapa, Sayang? Adam marah dengan Mami?”

Aku masih diam. Perlahan namun pasti mataku mulai berkaca-kaca. Mami menarikku untuk duduk di sampingnya.

“Adam adalah anak Mami, sampai kapan pun. Adam tahu kenapa?”

Aku memandangnya.

“Bukan hanya karena Mami telah sah secara hukum mengadopsi Adam, Sayang. Tetapi karena Mami yang merawat Adam, menjaga Adam, menyayangi Adam, Adam adalah sebagian dari diri Mami, Adam seluruh hidup Mami, satu-satunya yang Mami miliki. Lalu, apakah semua itu menjadi tidak berarti hanya karena Adam bukan anak kandung Mami? Apakah Mami lantas menjadi orang asing?”

Aku menangis mendengar penuturannya. Seketika itu juga aku bersimpuh di kakinya, memohon maaf untuk kelakuanku selama ini. Aku menangisi diriku, bagaimana aku bisa melupakan kebaikan malaikat ini? Di saat bayi kecil ini terbuang di dekat tempat sampah, menangis meraung karena digigit beberapa semut, tangan hangat itu mengangkatku ke udara dan memberiku pelukan hangat. Bagaimana aku bisa melupakan itu?

(╥﹏╥)

Kututup buku yang baru saja kubaca. Sejenak kutatap langit senja yang memerah hampir gelap. Lampu-lampu sudah menyala sejak tadi. Aku tiba di sini pukul tiga sore tadi. Menyapa penjaga gerbang sejenak, lantas melangkahkan kaki mengunjungi Mami. Kubacakan ia ayat-ayat suci, seperti tak puas satu kali aku membacanya lagi, membacanya lagi, hingga tak terhitung.

“Kakek, ayo pulang,” seru Siwi, cucuku, dari kejauhan.

Aku tersenyum menatapnya seraya melambaikan tangan sejenak. Mataku kembali berpaling pada nisan pusara di hadapanku.

Mami, terimakasih untuk kehidupan yang luar biasa ini. Adam hanya akan menjadi bayi malang yang mati kedinginan di tempat sampah jika saja Mami tidak memungutku dari sana. Tak perlu khawatirkan Adam, Mami, Adam baik-baik saja di sini.

Aku memperbaiki kaca mata bacaku seraya berdiri perlahan. Sampai jumpa bulan depan, Mami, Adam pulang dulu.





------------------------------
Lamongan, 26 Juni 2022
-B.R

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang