2. Ada Apa Denganmu, Ibu?

13 4 0
                                    


•́  ‿ ,•̀




Awan mendung bergulung-gulung di langit, mengiringi deras hujan membasahi bumi. Sesekali kilat menyambar, membuat terang sekitar beberapa detik. Juga guntur menggelegar, menginterupsi indra pendengaran.

Hhosh... Hhosh... Hhah... Hhosh...

Angin bertiup menambah dingin suasana. Kilat dan guntur semakin gencar meramaikan suasana.

"Tidak... tidak akan kembali..."

Gadis itu mengusap matanya yang berkaca-kaca, menghalangi pandangan. Butiran bening yang berhasil lolos sudah bergabung dengan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Angin menderu tak menyurutkan langkah kakinya yang melaju kencang, ingin segera pergi sejauh mungkin dari kenyataan yang menyakitkan.

"Janji?"

"Iya."

Bohong! Semuanya bohong! Ibu berbohong, tidak menepati janji! batinnya menjerit pilu.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana sekujur tubuh ibu dipenuhi lebam membiru. Hidungnya yang berdarah, rambutnya rontok, dan wajah yang penuh luka. Dan itu semua akibat ulah seseorang yang seharusnya melindungi mereka, memberikan rasa aman dan nyaman.

Teriakan, kata-kata kasar, penghuni kebun binatang, barang-barang yang dibanting, adalah hal-hal yang setiap hari didengarnya sejak kecil, sejak ia bisa mengingatnya. Tidak pernah memberi nafkah, setiap hari mabuk-mabukan, hutang di mana-mana, ya, itulah kelakuan spektakuler bapaknya.

Hingga ketika ia masuk SMP, bapaknya tiba-tiba tidak pulang tiga bulan. Sekalinya pulang, marah-marah karena di rumah ada acara pengajian. Dan menjatuhkan talak di depan belasan orang tetangga mereka. Memaki ibu dengan isi hutan belantara. Setelah mempermalukan ibu ia pergi entah ke mana, tak pernah kembali.

Ibu bekerja keras banting tulang putar sana putar sini demi menyambung hidup mereka, dan agar ia tidak putus sekolah. Dulu, gadis itu sampai harus ikut bekerja membantu ibu. Itu pun sambil sembunyi-sembunyi agar ibu tidak tahu. Karena jika ibu tahu, beliau pasti akan marah.

"Semua beban ini milik Ibu. Kamu tidak perlu merisaukan apa pun, tugasmu hanya belajar." ujar ibu kala itu.

Gadis itu bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sekolahnya. Berangkat paling awal, pulang paling akhir. Tidak berat, hanya mengepel dan membersihkan koridor dan ruang guru. Gajinya tidak seberapa, tetapi jika dikumpulkan cukup untuk membayar uang kontrakan mereka.

Mereka hidup susah, tetapi mereka bahagia. Tanpa teriakan-teriakan kalimat kotor menghiasi pagi-pagi dan malam-malam mereka.

Tetapi semua pengorbanan ibu tidak sia-sia. Gadis itu lulus sekolah, kuliah dengan beasiswa, memiliki teman-teman seperjuangan yang baik. Hingga sarjana, dan mendapat pekerjaan yang bagus.

Tidak sampai satu tahun, ia bisa membeli rumah untuk ibu. Rumah yang dibeli dengan kerja keras, doa dan air mata ibu. Mereka pindah ke rumah yang baru, dengan lingkungan yang lebih baik. Meninggalkan rumah kontrakan dengan kenangan-kenangan yang tidak menyenangkan.

Setelah perjuangan indah itu, mimpi-mimpi yang satu-persatu terwujud itu, hantu masa lalu mereka kembali. Seperti mimpi buruk di senja yang kelabu, orang jahat itu datang. Entah bagaimana ia berhasil mendapatkan alamat rumah ibu yang baru. Sepulang kerja ia melihat ibu dan orang itu di beranda. Dengan gagahnya ia berlutut di hadapan ibu.

"Aku ingin kau kembali," katanya.

Mendengarnya, gadis itu tertawa sinis. Karena terlintas kembali percakapannya dengan ibu di suatu senja. Ketika tiba-tiba kekhawatiran menyergap hatinya.

Tetapi ibu malah tertawa. "Kau seperti tidak tahu Bapakmu saja."

"Bisa saja, bukan?"

Ibu tersenyum menatapnya. "Tidak akan."

"Jika benar dia kembali, akankah Ibu..."

"Tidak, Sayangku."

Lalu apa yang terjadi hari ini, Ibu? tangis gadis itu. Begitu mudahnya!

"Itu hak mereka, Ga." Itu kalimat Ra—sahabatnya—di suatu hari. Ketika ia mengungkapkan keresahan hatinya.

"Tapi, bukankah aku juga berhak untuk keberatan?"

"Tentu." Ra mengangguk.

"Apa menurutmu aku harus membiarkan ibu kembali ke Bapak?"

"Bisa ya, bisa juga tidak."

"Kenapa tidak?"

"Tentu saja kita tak boleh membiarkan Ibu kembali pada Bapak kalau Bapak masih suka main tangan memukul Ibu dan kau."

"Kenapa iya?"

"Ini kehidupan mereka. Kau bukan sekedar anak angkat, tetapi selama ini kaulah pelindungnya. Kau jadi sahabat yang baik, anak yang baik. Semuanya kau kerjakan dengan baik dan sepenuh hati. Nah ketika sahabat, dan pelindung yang sebenarnya itu kembali, kau harus rela tersingkir. Kau harus berbesar hati dan menyadari bahwa inilah saatnya bagimu untuk melepaskan."

"Tapi aku berhak keberatan,kan?"

Ra tersenyum. "Iya, Ga, sudah kukatakan."

"Kenapa? Aku bukan bagian keluarga mereka, kan?"

"Secara biologis memang tidak. Tapi faktanya, kau resmi jadi bagian keluarga mereka sejak mereka mengadopsimu. Dan sebagai anak, kau berhak mengemukakan pendapatmu."

"Tapi bagaimana jika ternyata aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan merasa keberatan?"

"Maka satu-satunya pilihan bagimu adalah melupakan. Melupakan bahwa kau adalah bagian dari keluarga. Karena, kita kembali lagi, kau ada untuk melindungi ibu. Itu adalah maksud Tuhan mengirimmu untuk menjadi anak angkat mereka. Masalah bagian keluarga atau bukan, itu hanya embel-embel agar seluruh cerita hidupmu jadi lebih seru."

"Embel-embel agar cerita hidupku jadi seru." Gadis itu mengulang kalimat terakhir sahabatnya lirih.

Dibandingkan bapak, ia memang tidak ada apa-apanya di mata ibu. Tetapi, ya Tuhan... setelah dipukuli bagaikan kasur dijemur, dimaki bagaikan domba peliharaan, diperlakukan seperti pembantu, kemudian dicampakan seperti sampah di tempat pembuangan, setelah semua penghinaan... ternyata semua yang mereka alami tidak cukup kuat untuk mendepak penjahat itu dari hidup ibu.

Kenapa, ya Tuhan?




--------------------------------------

Lamongan, 12 Juni 2022

-

B.R

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang