14. Terima Kasih

3 2 0
                                    




•́ ‿ •̀





Terima kasih.

Terima kasih untuk segalanya. Kenangan di antara kita yang pernah tercipta. Entah kau menganggapnya penting atau sekedar salah satu sampah dalam hidupmu, dalam hati aku bahagia mengenangnya.

Sedikit tentang kau dan aku. Bukankah kita dulu pernah dekat? Beri tahu aku, bagaimana sebaiknya aku menyampaikan kedekatan kita? Atau sekedar membantumu mengingatnya? Atau... awal dari pertemuan kita? Hmmm, baiklah. Akan kumulai dari sana. Ide yang bagus!

Awal dari segalanya.

Sebelum itu aku tak pernah mengenalmu, tak pernah pula bertemu denganmu. Tapi hari itu, di siang hari yang terik, kau begitu saja lewat di hadapanku ketika aku dan seorang temanku menuruni tangga dari kelasku.

Kau berjalan dengan anggun sesuai prosedur 'kode etik' dan tak sedikitpun melirik ke arahku. Aku pun begitu, tak sedikit pun melirikmu. Aku bahkan tak tahu kau lewat jika saja Gun tidak berbisik padaku.

"Ada guru baru," katanya.

"Oh ya?" tanyaku."Mana?"

"Itu barusan lewat!" ujar Gun sambil menunjuk kerumunan kakak kelas yang seperti hewan ternak di sepanjang koridor.

Tentu saja kau sudah tidak terlihat. Tubuhmu yang seperti kotak korek api mana bisa kulihat ditengah sekerumun domba berseragam SMA itu.

"Mana?" ulangku.

"Ya udah nggak kelihatan, dong! Lagian emang kamu nggak lihat?"

"Enggak tuh." Aku mengedikkan bahu cuek. "Ngajar kita?"

"Enggak, dia guru baru buat anak kelas tiga."

"Oh, bagus deh." jawabku lempeng. Tanpa kusadari itu akan menjadi kalimat yang akan kusesali di kemudian hari.

Aku mulai sering bertemu denganmu. Aku mulai familiar dengan namamu. Bukan kenal sih, tapi namamu sering di sebut-sebut oleh orang-orang di sekitarku. Kau yang ini lah... kau yang itu lah... kau yang begini lah... kau yang begitu... kau yang masih ini... kau yang sudah itu... bla bla bla sebagainya tentang dirimu. Aku hampir tahu segela tentangmu dari mulut semua orang, tapi aku bahkan tidak pernah melihat wajahmu.

Hingga kemudian teman-temanku menunjukkan tampangmu di hadapanku. Menunjuk-nunjuk dirimu dari jauh. Biasa saja. Tidak ada istimewanya. Cantik juga tidak. Biasa saja.

Perasaanku padamu pun biasa saja, tidak ada istimewanya. Aku bahkan tak pernah menganggapmu ada, walau kita sering berpapasan, atau antri membayar di kantin, antri setor buku di perpustakaan. Aku pun sering melihatmu digoda anak-anak laki-laki yang tidak tahu adab. Dari kelas satu hingga kelas tiga.

Satu dua dari mereka suka curi-curi perhatian padamu dengan menanyakan hal-hal yang sepele, bahkan terkadang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelajaran yang kau ajarkan. Tapi tidak jarang pula yang terang-terangan menyatakan suka padamu. Dan mulai memanggilmu dengan panggilan tidak sopan.

Aku tahu, tapi tidak peduli. Saat kau dikerumuni oleh anak lelaki yang menatapmu seperti kerbau yang tidak minum satu tahun dan tiba-tiba menemukan danau penuh air, aku hanya melengos dan meneruskan langkah.

Hingga satu tragedi menimpa guruku. Ia tidak akan pernah lagi hadir ke kelasku. Dan hal itu memaksa kepala sekolah untuk membawamu masuk ke kelasku untuk menggantikan beliau.
God!! Aku benci sekali padamu saat pertama kali kau masuk ke kelasku.

Aku benar-benar tidak suka padamu. Aku mengajak teman-temanku untuk sengaja memboikot jam pelajaranmu. Saat kau masuk kelas, aku dan beberapa konco kenthel-ku sengaja izin keluar sebentar. Pamitnya ke toilet, nangkringnya di warung dekat sekolah, dan kembali saat jam pelajaranmu hampir habis. Berbulan-bulan kulakukan semua itu, hingga tak terhitung lagi berapa kali aku mangkir dari jam-mu.

Dan... semua itu berubah ketika musim hujan tiba di kota kita.

Hari itu, gerimis sejak pagi membungkus kota, membuat suasana mendung kelabu, dingin membeku. Hari ini jam pertama kelasku diisi oleh guru paling killer yang namanya sudah tercatat dalam Book Galaxy Of Record sebagai guru terkejam yang pernah ada. Mana tadi aku pun bangun kesiangan. Ya Tuhaaaaann...

Aku berlari-lari menuju lobi sekolah menghindari gerimis yang makin menderas setelah memarkirkan motor kesayanganku di parkiran. Bersamaan denganmu yang juga baru datang. Sesaat sebelum menyentuh gagang pintu kaca koridor, kau tiba-tiba terpeleset. Dan aku yang tepat di belakangmu pun reflek begitu saja menangkap tubuhmu. Pandang mata kita bertemu.

Dan seperti yang bisa kau duga, saat itulah muncul sesuatu yang aneh di dadaku. Aku terpaku menatap wajahmu. Ya tuhan... wajah pucat menahan kaget itu... well, ia memang tidak cantik. Tetapi mata itu... mirip sekali dengan mata mendiang ibu, betapa indahnya...
Kesadaran kembali menyergapku ketika kau bangun dari dekapanku. Aku yang sedang salah tingkah pura-pura memperbaiki pakaianku.

"Kamu tidak apa-apa, Zayn? Maaf, saya terpeleset." ujarmu kala itu.

Jantungku berdebar-debar tak keruan. Ya Tuhan, dia memanggilku Zayn? Dia memanggilku dengan nama tengahku seperti ibu memanggilku.

"Iya, Bu, nggak papa. Saya buru-buru, duluan ya." kataku sambil berlalu meninggalkanmu.

Aku bergegas secepat mungkin menuju kelasku sebelum keduluan guru killer tersebut. Namun naas, aku tetap saja terlambat, dan guru itu tidak mengijinkanku masuk kelas. Aku pun memutuskan pergi saja ke kantin untuk sarapan.

Sambil menunggu pesananku tiba, aku memikirkanmu dalam diam. Memikirkan sosok yang tak pernah kuanggap eksistensinya, namun hari itu berhasil mendobrak gerbang hatiku. Suaranya yang lembut seolah membelai dan mengetuk lembut kalbu.

Sejak saat itu kita jadi sedikit lebih dekat. Kau sering menegurku ketika berpapasan. Bukan hal spesial, tetapi mengingat sebelum ini kita sama-sama acuh, itu cukup menyenangkan hatiku. Aku berusaha untuk tidak kaku lagi di hadapanmu, berusaha membuat kau nyaman di sisiku, supaya kita bisa lebih lama mengobrol atau memancingmu menjelaskan bagian pelajaran yang tak kumengerti.

Dan aku tak bisa berpaling darimu.
Setiap saat selalu memikirkanmu. Aku tahu, aku yang memiliki perasaan itu, aku yang ingin bersamamu, bukan sebaliknya. Karena itulah tak pernah kuutarakan perasaan ini pada siapa pun. Bahkan tak berani kuucapkan walau lewat bisikan pada diri sendiri di tengah sepi.

Pengecut, memang. Tetapi aku tahu norma yang ada. Dan aku jelas sadar siapa aku ini. Dibandingkan dia, pria yang kau puja. Kau yang telah menambatkan hatimu pada satu dermaga, dan aku hanya sampan buruk rupa tidak ada nilainya dibawah sebuah pesiar megah laiknya dia.

Hingga hari ini, aku menetapkan hati untuk sendiri. Aku hanya memiliki satu cinta, dan itu sudah untukmu semua. Aku tak pernah menyesali keputusanku untuk mencintaimu. Tidak masalah meski tetap tak pernah walau sedetik aku memilikimu. Karena cinta itu sendiri saja sudah demikian indah, lebih dari apa yang kuharapkan.

Senja yang hadir tak lagi kurasakan hangat. Sepi... sendiri... sunyi kelabu di hari kepergianmu. Diam membisu... terduduk aku di pusaramu, mengenang dengan bahagia indah kisah bersamamu.

Demi Tuhan aku mencintaimu, maafkan jika itu terdengar mengganggu. Tetapi tak pernah terbersit di pikiranku untuk merebutmu darinya, aku tahu itu akan membuatmu terluka. Aku tak ingin setetes pun air matamu jatuh karena ulahku. Aku tahu pedoman itu, aturan, dan norma-norma.

Sungguh aku mencintaimu, Sayangku... Cintaku padamu takkan pernah menipis, takkan pernah terkikis. Mencintaimu dalam angan... memilikimu dalam kenangan... tak pernah memberatkan hatiku, sungguh. Karena aku tahu.




























































































Mencintaimu... harus dengan cara yang benar.





---------------------------------------
Lamongan, 24 Juli 2022

-B.R

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang