3. Jejak Rindu

10 5 0
                                    

Sejauh batas ambang pendengaran, yang terdengar hanya suara dedaunan kering dan rumput liar yamg terinjak. Pohon-pohon dan tumbuhan hijau terbentang. Langit biru di atas tertutup kabut tipis. Aku merapatkan jaket. Daerah ini masih sama seperti saat lima tahun lalu aku kemari. Masih hijau, asri, dengan udaranya yang sejuk.

Aku berjalan perlahan, mengikuti langkah dua orang teman seperjalanan di depan. Tiga orang di belakangku hati-hati melangkahkan kaki mereka di medan yang terjal. Ini sudah satu kilometer, semenjak kami memulai perjalanan pagi tadi. Aldi, pemimpin dalam perjalanan ini menghentikan langkah. Dia menatap kami berlima. "Lebih baik kita istirahat dulu di sini," sarannya yang langsung disetujui oleh kami.

Aku membuka tutup botol, dan hendak meneguk isinya ketika Dila tiba-tiba bertanya. "Sila, apa kamu yakin mau melanjutkan perjalanan?"

Angin sejuk menerpa wajahku, menerbangkan helaian rambut. Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, meminum air sambil merenungkan pertanyaan Dila. Sebelum memutuskan untuk melakukan perjalanan ini, aku sudah memikirkan konsekuensinya. Akan ada banyak kemungkinan. Salah satunya kemungkinan akan kenangan tentang dia datang. "Kenapa nggak yakin?"

"Kamu nggak takut kalau...." Mila menggantungkan kalimatnya, enggan untuk melanjutkan.

Aku tersenyum pada keduanya. Meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja.

Aku paham apa yang mereka takutkan. Aku juga sebenarnya cemas akan hal itu. Tapi ini keputusanku, perjalanan ini harus tetap berlanjut. Apa pun yang terjadi.

Lima tahun yang lalu, jika aku merasa takut, ada dia yang bisa menenangkan. Hadirnya selalu bisa memberi rasa aman. Mengusap punggung tanganku, sembari mengucap kalimat menenangkan. "Engak usah takut. Selagi ada aku, nggak ada yang perlu ditakutin."

Aku tersenyum menatapnya. Rintangan apa pun bisa kuhadapi jika bersama dia.

Dia adalah seseorang yang tidak pernah tidak berhasil membuatku merasa bahwa dunia hanya sebuah permainan. Dengannya aku akan menghadapi permainan itu.

"La? Sila?"

Aku tersadar ketika merasakan guncangan pada bahu. Mengerjapkan mata perlahan, aku menatap sekitar. Mereka berlima menatapku heran. Aku mengusap wajah, menghela napas. Astaga, memori itu tiba-tiba muncul.

"Kamu nggak apa-apa?"  tanya Dila, menatapku khawatir.

Aku berdiri menyampirkan tas, menyusul mereka yang lima langkah di depanku. "Maaf, aku tadi melamun. Aku nggak apa-apa. Ayo kita lanjut."

Perjalanan berlanjut, kali ini Ferdi yang memimpin jalan. Aku berusaha keras untuk tidak kembali larut pada kenangan tentang dia. Dengan mengajak Mila untuk berbicara banyak hal, apa pun, untuk mengenyahkan dia dari pikiran.

Kami berjalan semakin jauh. Sekarang sudah dua kilometer, dan medan semakin sulit. Jalannya licin dan curam. Di tengah perjalanan, saat kami sedang menikmati pemandangan. Tujuan kami masih tiga kilometer lagi. Mataku tak sengaja menatap kumpulan bunga dandelion yang tumbuh liar di antara pepohonan. Kelopak bunganya berterbangan di udara tersapu angin. Terlihat indah di antara pohon-pohon hijau. Aku tertegun. Satu hal kecil yang mampu membangkitkan kenangan tentang dia.

"Kamu lihat bunga dandelion itu, Sila," katanya sambil menunjuk kumpulan dandelion yang berterbangan tertiup angin. "Kamu harus mencontoh dandelion itu."

Aku memandang kumpulan bunga indah itu, kemudian menatapnya meminta penjelasan. "Kenapa aku harus mencontoh dandelion itu, Andi?"

Dia tersenyum memandangi alam hijau yang membentang, "Dunia tempat kita berpijak saat ini penuh degan misteri, banyak hal yang nantinya akan membuatmu jatuh dan terpuruk. Sama seperti alam liar tempat dandelion itu tumbuh." Andi beralih menatapku, sebuah tatapan yang sirat akan makna. "Seperti dandelion yang selalu siap menunggu kapan pun angin datang. Kamu harus siap untuk menerima apa pun yang akan terjadi nanti, baik atau buruk."

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang