22. Jika

4 2 0
                                    




Ibu,

Hujan turun dengan lebat di sini. Apa di tempatmu juga demikian? Aku tersungkur di lapangan. Sendiran. Kehujanan. Tidak ada yang datang menolongku. Semua hanya memandangku dalam diam. Pandangan mengolok, mencela, satu-dua menyayangkan, kasihan… kecewa.

Di antara mereka, Bu Wins ada di sana. Tatapannya bertemu dengan mataku, kulihat sorot kekecewaan hebat dalam pandangannya. Dia ada, dia hanya diam. Ah… aku mendesah pelan. Setelah babak belur dihajar Pak Surya, aku pasti dihajar pula dengan petuah-petuahnya setelah ini, mungkin sambil membersihkan dan mengobati luka-lukaku.

Tapi aku salah. Tidak… Bu Wins sama sekali tidak menghampiriku. Dia tidak menolongku. Dia pergi, begitu saja berlalu. Seperti yang lainnya.

Dua orang mendekat ke arahku, dua-duanya perempuan. Suaranya familiar… tapi siapa? Mataku kabur sejak tadi. Berdua mereka menyeretku yang terkulai tak berdaya menuju bagunan sekolah lantai dua. Mereka kesusahan saat membawaku. Salah satu dari mereka berseru, menyuruhku menjejak lantai supaya lebih mudah membawaku. Aku mendengus, bernapas saja aku perlu bersusah payah kok!

Akhirnya kami sampai, di lorong terpanjang sekolah kami. Kami berhenti di ujung lorong. Salah satu dari dua orang yang membawaku tadi membuka pintu, lantas kembali memapahku masuk ke dalam. UKS?

Dua orang itu meletakkanku di atas tikar tipis di lantai yang dingin. Mereka berdiri, menatapku sendu.

“Kamu lihat? Pintunya tidak dikunci, tidak juga berslot. Kamu bisa kabur kapanpun kamu mau dengan mudah dan tidak akan ada yang menghalangi," ujar salah satunya.

“Kamu banyak bertanya soal ruangan ini saat pertama kali melihatnya. Kami bahkan juga menjelaskan padamu apa dan kenapa ruangan ini ada. Tapi kenapa kamu malah mencicipi bermalam di sini, Fal?” terdengar isak lirih dari kakak itu.

Ruangan ini? Ruangan yang pintunya tidak ada kunci? Ah, aku ingat. Ruang renungan-kah?

Ruangan yang satu ini merupakan penjara bagi siswa-siswi yang bersalah dan melakukan pelanggaran berat. Tidak ada satu pun lampu di sana. Ruangan itu lebarnya hanya tiga kali tiga meter. Tanpa ranjang, tanpa perabot apa pun selain paragon kecil berisi mukenah dan sarung, juga tikar pandan yang terhampar di lantai. Pintunya merupakan pintu kaca buram dengan krei berwarna coklat. Tidak ada lubang kunci, pun tidak ada gembok. Ada jendela, namun letaknya jauh di atas, cukup sebagai ventilasi udara. Membuat ruangan itu tidak pengap.

“Ini beneran penjara modelnya begini?” tanyaku kala itu.

“Iyes,” jawab Kak Revo.

“Nggak digembok, nggak dikunci, gampang dong kaburnya? Tinggal buka pintu doang?”

“Betul.”

“Terus apa seremnya?”

“Ruangan ini nggak dibangun untuk bikin siswa-siswi takut, tapi untuk membuat jera. Biar mereka merenungkan apa yang mereka lakukan. Instrospeksi diri gitu lah.”

“Kok bisa?”

“Di saat yang bersangkutan udah ngelakuin kesalahan fatal, ruangan ini selalu jadi titik baliknya. Kenapa? Kayak yang kamu bilang tadi, ruangan ini nggak digembok, nggak dikunci juga. Jadi kalau mau kabur ya tinggal kabur. Tapi…” Kak Candy menghentikan ucapannya.

“Tapi?”

Kedua senior itu saling tatap.

“Kenapa, sih?” aku penasaran.

“Ini diantara kita bertiga aja, ya.” Kak Revo berbicara dengan suara pelan. “Cuma kamu loh siswa baru yang kita kasih tahu. Kamu jangan bilang siapa-siapa tapi! Soalnya dari sekian ratus siswa yang ikut Pendasi, cuma kamu yang nanyain ini.”

“Emang gua nanya apa?”

“Ya kamu nanya kenapa nggak ada kunci di ruangan ini.”

“Lah, masa nggak ada yang nanya dari kemaren?”

Kedua senior itu menggeleng.

“Mungkin mereka berpikir, ‘wah asik nih nggak ada kuncinya, gampang kaburnya’ seperti yang kamu tanyain tadi,” jawab Kak Candy.

“Emang kenapa sih nggak ada kuncinya?”

“Ruangan ini sengaja nggak dikunci, itu dimaksudkan untuk emm… apa ya istilahnya? Memunculkan sisa kejujuran di dalam hati… mungkin?”

“Kok pake mungkin? Gimana sih jawabnya, ih?”

“Gini lho, Fal,” Kak Candy mengambil alih. “Yang bersangkutan memang bisa aja kabur dari ruangan ini kalau mau. Seperti yang kamu bilang tadi, gampang, Cuma buka pintu doang. Tapi, asal kamu tahu, sekali yang bersangkutan ini divonis masuk ke ruang renungan ini, satu sekolah pasti pada tahu.”

“Ya terus?”

“Iya, jadi kalau seandainya yang bersangkutan ini nekat kabur dari ruang renungan dan keluyuran, satu sekolah otomatis tahu dong. Dan kamu tahu konsekuensinya apa? Nggak akan ada satu orang pun yang bakalan peduliin dia. Seolah-olah dia itu nggak ada. Kalau diajak ngomong, kita wajib diam. Ya udah aja gitu. Kaya nggak ada satu orang pun yang lihat dia.”

“Itu namanya sanksi sosial.”

“Oooh. Tau gitu kenapa nggak dikeluarin aja sekalian?”

“Nggak bisa. Sekolah kita nggak pernah sekali pun nge-DO murid. Kata Pak Kiyai, sekolah itu adalah tempat di mana orang tua menitipkan anak-anak mereka, untuk dididik di sini. Nah, kita pegang kepercayaan para orang tua itu. Kalau kita DO anak mereka, artinya kita sama nggak mampunya dengan mereka mendidik anak-anak itu dong? Bener nggak?”

“Iya juga sih. Ya tapi kalo emang anaknya bengal gimana?”

“Itulah tugas mulia Pak Kiyai kita. Beliau menciptakan system dan gaya mengajar yang baik, berbeda, yang bisa bikin gimana caranya anak ini bisa jadi lebih baik.”

“Yep. Kita di sini tinggal sebagai keluarga. Nggak bisa dan nggak boleh egois. Harus saling mengingatkan, kami sebagai senior dituntut untuk menjadi contoh atau teladan untuk junior. Karena junior macam kalian ini sifatnya kan masih pada labil nih ya, kita, kakak-kakakmu ini harus terus siaga satu ngawasin kalian.”

“Hmmm… begono.” aku manggut-manggut.

“Ho’oh. Begono,” Kak Candy ikut menggut-manggut. “lah, ngapa aku jadi ikutan kamu?”

“Yo ndak tau, kok tanya saya…”

Kami bertiga tertawa dan melanjutkan perjalanan mengunjungi ruangan-ruangan lainnya.

Terlintas kembali ingatanku satu tahun yang lalu. Dua orang yang membawaku ke ruangan ini… mereka-kah Kak Candy dan Kak Revo? Kubuka mulutku berharap dapat mengeluarkan suara untuk sekedar menyapa, tapi yang keluar hanya gumaman.

Kedua kakak itu berbalik dan menutup pintu kaca, lalu melangkah beriringan meninggalkanku yang sekarat di atas tikar pandan lusuh ruang renungan. Ah, akhirnya aku mencicipi bermalam di ruangan ini.

Jika saja aku tidak ketahuan minum di tempat jemuran…
Jika saja aku tidak menyelundupkan minuman haram dan rokok-rokok itu ke asrama…
Jika saja sahabat-sahabatku tidak berkhianat…
Jika saja Ibu tidak memasukkanku ke asrama…
Jika saja Ibu lebih baik memperlakukanku…
Jika saja Bapak saat mati membawaku bersamanya…
Jika saja…
Jika saja…





Jika saja aku tidak pernah lahir di dunia…












---------------------------------
Lamongan, 02 Oktober 2022

-B.R

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang