9. Mantan

7 4 2
                                    

Dia Dani Aditya, laki-laki yang dulu selalu bisa membuatku tertawa karena tingkah lakunya. Yang selalu mengusap air mataku ketika sedang terluka. Dan yang selalu sabar menghadapiku jika aku sedang marah.

Tak terhitung berapa malam kuhabiskan hanya untuk merindukannya. Menyisipkan doa dalam setiap sujud agar aku bisa melihatnya selalu. Esok, lusa dan selamanya.

Saat itu aku terlalu naif untuk berharap dia bisa selamanya bersamaku. Menemaniku menjalani hari-hari penuh beban.

Karena tepat di detik pertama, ketika namanya disebut saat Masa Orientasi Siswa, aku langsung tidak bisa memalingkan pandangan dari sosok laki-laki tinggi dengan jaket abu-abu yang memiliki bola mata cokelat seperti madu itu.

Suaranya yang lembut tapi tegas selalu terngiang ketika ia mengatakan, "Dek, itu dasinya dipakai," atau "Kalau ada orang ngomong itu dengerin, jangan ngomong sendiri."

Awal kisah kami sederhana, sebenarnya sedikit memalukan bagiku. Saat itu aku sedang membeli roti di kantin sekolah, dan ternyata aku lupa membawa uang. Lalu dia datang, dengan jaket abu-abu yang selalu dia kenakan, mengeluarkan selembar uang untuk membayar roti yang ingin kumakan.

Aku tahu mungkin itu terlalu picisan. Tapi, hal picisan seperti itu yang mampu membuatku bertahan dengannya. Bukan karena kebaikan yang dia tawarkan di pertemuan pertama, tapi kenyamanan yang ia beri saat kami bersama.

Aku selalu merindukan malam-malam itu, ketika ia mengatakan, "Selamat tidur. Jangan lupa berdoa, sampai ketemu di alam mimpi." lewat telepon genggam sebelum aku beranjak tidur.

Dia memang tidak pernah hilang dari ingatanku. Bahkan ketika momen singkat di pintu masuk Kafe saat ini. Dengan mudahnya kenangan-kenangan itu kembali bermunculan. Memenuhi pikiran dan hatiku begitu saja.

Kakiku terasa enggan untuk beranjak. Mata cokelat madunya seolah mengunci pergerakanku untuk tetap bertahan.

Dia masih seperti dulu, kecuali penampilan yang semakin menarik. Wajahnya yang selalu terlihat tenang, senyumnya yang menawan, binar bola mata cokelat madunya yang mampu membuatku tidak ingin berpaling.

Tapi sekarang situasinya tidak seperti dulu lagi. Setelah hari-hari yang panjang terlalui tanpa kebersamaan lagi, tidak mungkin semuanya bisa kembali seperti masa silam. Mungkin, dulu kita adalah dua orang yang bersama untuk bahagia. Tapi sekarang... kita hanyalah dua orang dengan kenangan masa lalu yang tidak sengaja dipertemukan kembali.

"Permisi," seorang perempuan di belakangnya menegur. Aku mengernyit heran menatap perempuan itu. Pandanganku tak sengaja terarah pada tangan keduanya yang saling tertaut, lalu dengan cepat mengalihkan pandangan. Seperti tersadar aku segera memiringkan badan, memberi celah untuk mereka. Perempuan itu menariknya lebih dulu, berjalan memasuki Kafe, melewatiku yang masih terdiam. Aku masih terpaku pada mata cokelat madunya hingga ia hilang tak terlihat lagi oleh retina. Dan sempat tercium aroma tubuhnya yang dulu selalu bisa membuat nyaman.

Seketika semua rindu yang kupendam selama ini menguap, menimbulkan sesak yang akhirnya membuat bulir air mata mendesak keluar. Selama satu tahun belakangan ini aku sudah berusaha keras untuk menguatkan hati, mewanti-wanti agar tidak mengingatnya lagi. Tapi, semua itu musnah ketika mata cokelatnya tertangkap retina lagi.

Ingin sekali aku memeluknya, meluapkan segala kerinduan yang menyesakkan dada. Tapi sekali lagi, semua sudah berbeda, tidak lagi sama seperti sebelum ia memutuskan untuk menjauh satu sama lain satu tahun lalu.

***

Sebenarnya aku terlalu takut untuk  bertahan dan mengajaknya berbicara. Seolah kami adalah teman yang sudah lama tidak berjumpa. Bukan mantan kekasih yang tidak sengaja kembali berjumpa.

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang