Ruang operasi 2 sore ini sedikit sibuk. Meski operasi berjalan lancar di bawah pimpinan Dokter Hana. Para perawat hilir mudik menyediakan kasa dan kapas yang dibutuhkan. Beberapa menyiapkan kantung-kantung darah bila diperlukan. Beberapa dokter koas dan magang ikut memperhatikan. Asisten dokter cekatan menyodorkan alat-alat yang disebutkan oleh dokter utama.
Sore yang sibuk di ruang operasi 2. Gadis itu terus fokus membantu jalannya operasi. Berusaha tidak terpengaruh, meski matanya tak bisa dipungkiri acap kali melirik jam analog di atas monitor. Sadar atau tidak. Keringat di keningnya baru saja dibersihkan oleh seorang perawat di sebelahnya. Tangan lembut dengan jemari lentik itu cekatan mengikat benang jahit di tubuh pasien.
"Hari ini, kan?" tanya Dokter Hana tiba-tiba.
Hening. Tidak ada yang mengerti arah pertanyaan dokter mereka.
"Dokter Kinara, ini adalah harinya, kan?" ulang Dokter Hana.
Dia yang mendengar namanya disebut mengangkat kepala, berusaha mencerna apa yang dokternya bicarakan. Sedetik kemudian ia menyadarinya. Detik berikutnya semua mata menatapnya yang hari ini menjadi asisten utama dokter Hana.
"Benar, Dokter." Dokter Kinara mengangguk.
"Pukul berapa?"
Dokter Kinara meminta poole suction cannula CVD untuk menyedot cairan yang menghalanginya untuk mulai menjahit.
"Pergilah, kurasa ini sudah waktunya," ujar Dokter Hana.
"Benang."
Perawat memberikan benang pada Dokter Kinara.
"Pergilah, Dokter Kinara, atau kau akan terlambat."
"Tidak, Dok, keselamatan pasien adalah tanggung jawabku juga. Aku tidak ingin meninggalkan ruang operasi selagi belum selesai."
"Tinggalkan saja, aku akan membereskannya untukmu. Lagi pula operasinya memang sudah selesai, kita hanya perlu menutup lukanya dan sudah."
Dokter Kinara melirik jam analog selintas, "Tidak, Dokter, aku akan selesaikan ini. Tak butuh waktu lama—"
"Nalla," Dokter Hana memanggil dengan nama kecilnya. "Pergi, atau jangan pernah ikut operasiku lagi."
Beberapa detik menimbang, melirik jam sekali lagi, akhirnya dokter fellow itu mengangguk. Ia bergegas melepas semua alat yang dipegangnya, juga atribud operasinya dan melangkah ke pintu.
"Sampaikan salamku pada Lily. Katakan padanya bahwa aku senang pernah mengenalnya," ujar Dokter Hana.
Dokter Kinara mengangguk lagi. Setelah mengucap terimakasih, gadis itu keluar dari ruangan, dan segera berlari ke ruangan di mana kakaknya berada. Mengabaikan senyum sapa suster-suster yang berpapasan dengannya, mengabaikan lambai tangan teman-temannya. Tiba di lift terdekat dalam waktu singkat. Terlalu lama menunggu lift tak kunjung terbuka untuknya, gadis itu berlarian di tangga darurat menuju lantai tujuh. Berlarian di sepanjang lorong dan koridor.
Hingga akhirnya ia tiba di ruangan kakaknya dirawat. Semua orang sudah berkumpul. Mama menangis dalam dekapan papanya di sudut sofa. Ruby dan Jessica, kakak kedua dan pertamanya, juga berpelukan di samping mereka. Dokter John dan suster Ness berdiri di dekat jendela. Sedangkan Anne, kakak ketiganya ada di sisi ranjang. Membisikkan entah apa pada Lily.
Dokter Kinara menghela napas panjang. Suasana ini... Mengapa muram sekali? Ruangan yang luas dan berpendingin ruangan ini mengapa terasa sesak? Dadanya juga mengapa seperti berat sekali? Semua orang menangis, semua orang bersedih. Kecuali dia yang terbaring di sana setelah sekian lama tanpa sekali pun membuka mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shades of Broken Heart
Short StorySetiap hati memiliki definisi 'patah hati' yang berbeda. Yang pasti, ketika ia 'patah', tidak ada satu hati pun yang baik-baik saja. Kumpulan Kisah Singkat Dengan Definisi Patah Hati Yang Berbeda