15. Bestie

7 1 0
                                    

Sudah sepuluh tahun bersama, Rian hafal betul tabiat sahabatnya itu. Bersamanya sejak sekolah dasar membuat Rian benar-benar terbiasa dengan semua tingkah lakunya. Bagaimana dia dengan sifat pelupanya yang sudah terlalu akut. Perempuan ceroboh yang bisa dengan mudah kehilangan barang-barangnya kapan saja dan di mana saja.

Tapi bagaimanapun itu, Rian sangat menyayanginya.

Sahabat yang paling mengerti dia–begitu yang dikatakannya. Tidak peduli seberapa menyebalkannya dia, karena nyatanya perempuan itu yang selalu jadi tempat ternyaman baginya setelah keluarga. Rian sudah menjadikan perempuan bermata bulat itu sebagai dunianya.

Rian terlalu menyayanginya. Perasaan sayang yam.ng seharusnya tidak pernah ada dalam persahabatan mereka.

Rani Cantik:
Yanyan… hibur gue please. Gue butuh hiburan.

Selain yang paling mengenal dia, Rian juga paling sabar dan selalu ada untuknya. Rian hanya pasrah saat perempuan itu mengubah sendiri nama kontaknya di ponsel laki-laki itu. Rian sabar ketika perempuan itu mengajaknya chatting-an sampai pukul dua belas lebih lima dini hari, bahkan ketika besok paginya  di sekolah Rian ada ulangan harian di jam pelajaran pertama.

Sementara pembahasan mereka masih sama sejak awal.

Kan dari tadi gue udah ngehibur lo
Yaudah, Ran. Lupain aja
Lo mau gimana lagi?

Tapi gue masih nggak bisa nerima, Yan.

Tidak lupa Rani menyertakan emotikon banjir air mata andalannya. Rian menghela napas. Entah sudah berapa kali Rani mengirim pesan itu. Membacanya saja sudah membuat dada Rian bergemuruh.

Terus lo mau gimana kalo dia sukanya sama cewek lain?
Move on nggak seburuk itu, Ran

Ihhh kok lo ngomongnya gitu sih.

Rian menggeleng, capek sendiri jadinya. Perasaan yang patah hati dia, kenapa jadi laki-laki itu yang lebih merasa patah? Rani cerita kalau laki-laki idamannya malah jadian sama perempuan lain, di saat yang sama Rian menahan sendiri perasaannya yang sudah  dia pendam terlalu lama.

Kenapa selalu laki-laki lain? Kapan perempuan itu bisa membuka mata untuk perasaannya?

Jadian sama gue aja, Ran.

Jantung Rian berdebar membaca pesan yang dia ketik sendiri. Seharusnya dia tidak mengirim pesan itu! Apalagi lima menit berlalu Rani tidak kunjung membalas, padahahal pesannya sudah diabaca. Rian was-was, apa yang dipikirkan perempuan itu di sana? Namun, lima detik kemudian pesan balasan dari Rani muncul. Kalimat di pesan itu seolah menampar Rian dengan sangat keras.

Ish ngaco deh. Ya kali.

Mungkin dia salah menaruh harapan pada sahabatnya itu. Seharusnya dari awal Rian sadar, kalau dalam persahabatan mereka, selamanya posisi dia hanya sebagai sahabat. Tidak lebih. Sahabat yang hanya menjadi rumah singgahnya bukan untuk menetap. 

Selama sepuluh tahun Rian mengenalnya. Dia lupa kapan persisnya perasaan itu hadir. Mungkin sejak pertemuan pertama mereka, atau ketika pertama kali dia menyadari kalau Rani sudah mengambil alih dunianya. Rian tidak tahu harus dia sebut apa perasaannya itu. Tapi yang dia tahu, dia benar-benar takut kehilangan perempuan itu.

Pesan dari Rani muncul lagi.

Oh iya, lo tau Bara, kan? Temen kelas lo
Kenalin dong ke gue.

Rian langsung membanting ponselnya di kasur sewaktu membaca pesan dari Rani. Laki-laki itu menyandarkan diri di sandaran, menggeleng. Tidak habis pikir dengan perempuan itu.

Rian meraih ponselnya, mengetik balasan. Hatinya bergejolak.

Lo gila ya?
Baru tadi lo bilang lagi patah hati, sekarang mau kenalan sama cowok lagi?

Rian menunggu balasan dari Rani dengan perasaan tidak karuan. Karena tidak tahan lagi laki-laki itu langsung menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar di antara heningnya kamar. Sebelum detik berikutnya suara Rani terdengar olehnya.

"Please, Yan. Bantuin gue, ya?" rengek Rani dari balik telepon.

"Kenapa sih, Ran. Lo nggak bisa ya nggak ngomongin cowok terus?" 

"Ih kan elo yang bilang gue harus move on."

"Nggak gitu juga, Rani."

Rian mengacak rambutnya. Laki-laki itu tidak bisa menahan diri untuk tidak meluapkan perasaannya. Ini semua murni dari hati. Bukannya ingin egois, tapi Rian tidak bisa membohongi perasaannya sendiri dan terus-terusan berpura-pura biasa saja. Dia benci setiap kali perempuan itu membahas laki-laki lain saat bersamanya. Rian tidak suka jika Rani dekat dengan laki-laki lain. Rian ingin perempuan itu terus bersamanya. Menjadikan dia satu-satunya lelaki setelah ayahnya yang selalu bisa diandalkan. Seperti seharusnya.

Rian bersumpah dia ingin sekali mengugkapkan perasaannya detik itu juga. Tetapi bibirmya kelu. Dia hanya membisu. Rasanya sulit untuk berkata-kata.

"Ayolah, Yan. Please…." Di sana Rani masih tidak menyerah.

"Tidur, Ran. Udah malem."

Lima detik lengang, sebelum suara Rani kembali terdengar. "Ian…."

Rian berdecak dalam hati. Perempuan itu sangat tahu kelemahannya. Panggilan itu dengan nada merengeknya… bagaimana Rian bisa menolak?

Rian menghela napas berat. "Yaudah, iya," jawab Rian akhirnya.

"Makasih Abang Ganteng." Rani bersorak kegirangan dari balik telepon. Demi apapun, Rian sangat ingin mendengar kebahagiaan dari perempuan itu selalu.

Dan untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi Rian harus menyimpan perasaannya sendiri. Pada akhirnya harus dia yang menahan sakit lagi.

Rian merutuki dirinya sendiri. Harusnnya perasaan itu tidak pernah hadir. Seandainya sejak awal tidak perlu ada status persahabatan di antara mereka, hingga Rian bisa lebih bebas mengungkapkan perasaannya tanpa takut karena dia adalah sahabatnya sendiri.

Pada akhirnya Rian hanya bisa mengikuti sampai sejauh mana perasaannya akan bertahan. Rian terlalu takut untuk mngungkapkannya karena dia tidak ingin mereka menjadi jauh dan asing. Rian benar-benar takut kehilangan Rani yang selama ini selalu bersamanya. Untuk sekarang, bagi Rian memiliki Rani sebagai sahabat sudah cukup.

---

29 Juli 2022
-P

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang