19. Menunggu Hujan Reda

10 2 0
                                    

"Kenapa bulan purnama cuma ada sebulan sekali?"

Kamu melempar sebuah tebak-tebakan. Aku sudah hafal betul dengan hobimu yang satu itu. Kamu suka bermain teka-teki, yang terkadang menurutku tidak nyambung antara pertanyaan dan jawabannya. Tapi itulah kamu.

Aku pura-pura berpikir, seperti biasa. "Nggak tahu. Emang kenapa?"

"Karena kalau ada setiap hari itu aku buat kamu."

Selanjutnya bisa ditebak. Kamu mengatakan itu diiringi senyuman khas yang terukir di bibirmu. Sementara aku tertawa geli karena tidak habis pikir dengan jawaban dari tebak-tebakanmu. Itu terdengar seperti gombalan ketimbang tebak-tebakan.

Padahal sedang hujan. Langit tidak menampakkan satu pun bintang di sana, apalagi bulan purnama. Tapi kamu bisa-bisanya kepikiran tentang bulan purnama.

"Aku itu ibarat pujangga setiap bersama kamu. Selalu punya kata-kata yang puitis, manis dan romantis," katamu penuh percaya diri.

"Kadang juga narsis," kelakarku.

Kita larut dalam tawa bahagia. Di bawah halte bus dekat kampus, di bawah derai hujan yang berlomba-lomba menemui bumi. Tempat di mana kita sering menghabiskan waktu ketika hujan tiba-tiba datang, untuk berteduh. Walaupun mungkin bisa saja kita menerobos hujan untuk pulang, tapi kamu lebih memilih untuk diam di sini, menunggu hujan reda sembari menciptakan momen bersama.

Tempat di mana kamu pertama kali mengutarakan perasaanmu.

Aku masih ingat waktu itu. Entahlah, setiap kali kita berteduh di bawah halte bus ini, kenangan tentang hari itu selalu muncul begitu saja. Mungkin karena kenangan itu terlalu manis untukku. Dan semesta selalu jadi saksi akan tiap kenangan yang tercipta di antara kita.

Lucu, ya? Bagaimana kita selalu menanti saat-saat seperti ini. Duduk di bawah halte bus untuk berteduh dari hujan. Bahkan kamu berharap hujan selalu turun saat kita akan pulang dari kampus, agar kita bisa memiliki momen seperti ini setiap hari.

"Biar bisa sama kamu terus," lagi-lagi kamu mengatakan hal itu.

Aku hendak memukul pundakmu karena terus-terusan menggombal, tetapi kamu menahan tanganku lalu menggenggamnya. "Aku serius." Ketika kamu sudah bilang begitu, aku tahu kamu tidak bercanda.

"Aku serius." Genggamanmu kian erat. "Jangan tinggalin aku, ya, Kasih."

Detik itu aku terpaku pada tatapanmu yang selalu mampu membuatku luluh. Aku suka setiap kali kamu menyebut namaku. Membuatku merasa seperti begitu dicintai.

"Aku tahu, aku nggak bisa mengatur takdir. Tapi aku nggak pernah berhenti berharap, agar aku bisa menepati janjiku untuk terus bersama kamu, Ga."

Jemari kelingking yang saling bertaut, aku tahu itu tidak akan berarti apa-apa. Meskipun semesta menyaksikan, di bawah hujan kita saling mengucap janji. Tapi kita tetap tidak bisa mengubah takdir.

Galih, aku menepati janjiku. Aku menepati janjiku untuk tidak meninggalkanmu. Sampai akhirnya kamu yang meninggalkanku.

Aku menengadah pada langit kelabu yang menjadi kesukaanmu. Hebat ya, Ga. Bagaimana hujan bisa membawamu kembali padaku, dalam bentuk kenangan yang begitu jelas di mataku. Seolah kamu masih di sini, duduk bersamaku di halte bus untuk berteduh dari hujan, menggenggam tanganku, seakan aku bisa mendengar lagi gombalanmu yang sekarang begitu kurindukan.

Katamu kamu akan selalu ada setiap hari untukku. Seharusnya kamu ada di sini sekarang, seharusnya kita menghabiskan waktu bersama seperti yang sering kita lakukan dulu, seharusnya aku tidak sendiri duduk di bawah halte bus menunggu hujan reda. Seharusnya….

Ga, bisakah kamu menjelma menjadi bintang? Agar aku bisa melihatmu di setiap malam-malam sepiku. Atau menjadi bulan purnama? Meski hanya bisa kulihat sebulan sekali. 

Namun jika semua itu terlalu mustahil, sekali saja, sekali saja aku ingin melihatmu lagi, Ga. Agar aku bisa meyakinkan diriku sendiri, bahwa kamu memang telah pergi, dan tidak lagi bisa bersamaku, untuk waktu yang lama.

---

7 September 2022
-P

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang