10. Keputusan Bodoh

8 3 0
                                    


•́  ‿  •̀





“Li, besok aku lamaran.” ujar J sambil tersipu.

“Lamaran? Yang bener hei?”

“Katamu lebih cepat lebih baik? Datang ke rumahku, ya? Biar aku nggak sendirian.”

Aku berpikir sejenak, “Tapi besok si Lim juga mau ngelamar ceweknya, gimana dong? Masa aku sebagai adiknya nggak datang ke lamaran kakakku sendiri?”

J cemberut, “Hmmm… masa kamu tega biarin aku nervous sendiri? Tapi ya udah deh kalo memang kamu nggak bisa, nggak apa-apa.”

Aku mencebik. Dasar! Aku tahu manyunnya itu cuma acting, dia tahu aku tidak akan pernah bisa menolaknya.

“Iya udah deh, iya. Kamu lamarannya jam berapa sih? Biar aku nemenin kamu dulu abis itu baru pergi sama Lim. Deal?”

Jennie tersenyum. “Deal!”

(´ . .̫ . ')


Esok paginya, aku bergegas ke rumah J pukul delapan pagi. Aku sudah siap dengan stelan kemeja biru, blue jeans dan sepatu sneakers warna putih bergambar kucing lucu—asal tahu saja sepatu itu adalah sepatu J yang kuculik saat ulang tahunku beberapa bulan yang lalu.

J pagi ini… astaga, mau bilang apa? Dia benar-benar anggun mengenakan gaun berwarna biru yang dibelinya seminggu yang lalu denganku.

Dua tahun sudah J berpisah dengan Kim. Kim bahkan sudah melangsungkan pernikahan dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah. Siapa pun orangnya, dia pasti sudah berusaha keras untuk mencairkan hati gadis bermata kucing ini.

Lihatlah J hari ini, dia cantik sekali. Dan hei… dia tersenyum padaku, manisnya! And by the way, I’m late. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu rumah J. Lim dan Chaeng juga ada, sepertinya J mengundang mereka juga.

“Li,”

Chaeng menyenggol lenganku dengan sikunya, menyadarkanku dari lamunan. Gadis itu mengedikkan dagunya menyuruhku duduk. Baiklah, aku mengambil posisi di sebelahnya. Aku mengedarkan pandangan, menatap wajah saudara-saudaraku. Yang mau lamaran kan J, kenapa Lim ikutan tegang? Dan kapankah calon suami J tiba? Aku penasaran dengan tampangnya.

“Selamat pagi, Bapak, Ibu,” Lim menyapa orangtua J.

Kedua orangtua itu tersenyum menjawab salam Lim.

“Barangkali kalian sudah mengenalku, tapi ijinkan aku memperkenalkan diri sekali lagi.”

Aku melirik Lim, lagi kenapa sih nih anak? Pagi-pagi ngajakin kenalan kaya sama siapa aja.

“Namaku Lim. Aku sulung dari tiga bersaudara, Li dan Chaeng adalah adikku. Kami berasal dari Korea, berpindah ke Indonesia sejak usia yang masih sangat muda karena tuntutan pekerjaan orangtua kami yang kini telah tiada.”

Aku mendadak tremor mendengar penuturan Lim. Apa dia minum alkohol pagi ini? Kenapa aku tiba-tiba mencium sesuatu yang tidak beres dari mulut saudaraku ini?

“Semenjak kepergian orangtua kami, tak sekalipun aku memikirkan hal selain adik-adikku. Aku berusaha yang terbaik agar mereka hidup dengan nyaman. Aku berusaha melindungi mereka dengan segenap nyawa. Namun dua tahun belakangan ini, ada wajah lain yang begitu saja melintas di benakku. Wajah yang dulunya selalu ceria mendadak murung. Aku merasa aku harus mengembalikan ceria yang hilang itu padanya. Seperti kewajiban tersendiri untuk membahagiakannya. Hingga aku sadar, aku telah jatuh cinta.”

“Lalu, Lim, apakah tujuanmu menghadirkan kami semua pagi ini?” tanya Bapak J.

“Bapak, aku hadir pagi ini untuk meminta restu kepada Bapak, Ibu, aku ingin meminang J. Ingin menjadikannya pendamping hidupku. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun untuk J. Tidak ada jaminan dia akan bahagia hidup denganku, tapi... aku ingin mengajaknya mencari kebahagiaan itu. Lebih dari apa pun, aku ingin dia menjadi istriku—”

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang