21. Kisah Kita

10 3 0
                                    

Aroma kopi menguar di ruangan bernuansa cokelat itu. Harum berbagai macam pastri langsung menyambut ketika pertama kali masuk. Membuat siapa pun tidak bisa menolaknya meskipun niat awal mereka hanya ingin mendapatkan segelas kopi.

Suara lonceng terdengar setiap kali pintu dibuka. Beberapa orang memilih singgah sebentar di kafe dengan plang bertuliskan Dreams Cafe itu. Orang-orang biasa menyebutnya D'Cafe. Mereka sedang ingin menikmati malam senin untuk sementara waktu, sebelum segala rutinitas melelahkan di esok hari.

Musik mengalun, di tengah kafe ada yang sedang asyik mengobrol, ada juga yang sedang membaca buku di dekat jendela, sesekali melihat keluar, mungkin sedang menunggu seseorang. Sementara di sudut ruangan laki-laki itu tidak beranjak sedikit pun dari posisinya sejak tadi. Pandangannya masih tertuju pada perempuan berambut sepundak di depannya.

Arsa berdeham, memecah hening di antata mereka. "Kayaknya tulisan kamu lebih menarik daripada aku, ya?"

Perempuan yang sedari tadi fokus pada laptopnya itu langsung mengangkat kepala. "Eh, sorry, Ar. Nanggung. Ini idenya lagi deres, nggak bisa ditunda. Kalau dibiarin nanti keburu hilang."

Arsa hanya menggeleng dengan senyum kecil di bibirnya.

"Dari dulu kamu selalu gitu, Je. Kalau lagi nulis dunia serasa milik sendiri."

Jean tertawa. "Dikit lagi, deh."

Perempuan itu masih menyelesaikan kalimat demi kalimat dari novel yang sedang diatulis. Kalau boleh jujur, sebenarnya Arsa tidak keberatan sama sekali jika harus menemani perempuan itu. Dia bisa menunggu lebih lama lagi. Bahkan dia sudah terbiasa menunggunya.

"Oke udah, nih." Jean mmenggeser laptopnya ke samping setelah selesai dengan tulisannya. Perempuan itu mengalihkan perhatiannya pada Arsa sembari meminum Avocado Coffee-nya yang mulai dingin. "Jadi gimana?"

Arsa mengernyit, untuk sesaat dia terpaku pada tatapan perempuan itu. Sebelum di detik berikutnya tersadar akan tujuan awal pertemuan mereka.

"Aku setuju untuk gabung di project novel kamu. Kamu tinggal bilang mau ilustrasi yang gimana nanti aku buatin."

Jean mengambil pensil dan sketch book milik Arsa yang ada di depan laki-laki itu. Tangannya mengetuk pencil di meja menciptakan irama, sembari berpikir. Sementara Arsa masih setia memperhatikannya.

"Karena tema dari novelnya tentang kehilangan dan merelakan, aku mau ilustrasi yang deep tapi sederhana." Jean mulai menggoreskan pensil di atas sketch book. "Alurnya nanti bakal aku buat maju-mundur. Jadi aku mau tiap chapter-nya punya ilustrasi yang mewakili isi chapter itu."

Arsa mendengarkan dengan baik tiap kalimat yang diucapkan perempuan itu. Dia memperhatikan sketch book. Jean hanya menggambar garis luar dari rencananya itu, tapi Arsa bisa memahaminya.

"Emang isi ceritanya gimana?" tanya Arsa.

"Ceritanya tentang perjalanan hidup seorang perempuan, di mana dia mengalami beberapa fsse kehilangan dalam hidupnya. Yang membuat dia akhirnya berpikir bahwa bahagia itu ada dalam dirinya sendiri, bukan orang lain."

Seulas senyum mucul di bibir Arsa. Selalu menyenangkan mendengar Jean berbicara. Sejak kecil perempuan itu sering membacakannya cerita jika ia baru dibelikan buku baru. Dan itu menjadi salah satu kenangan berharga yang Arsa simpan dalam persahabatan mereka.

"Aku mau tanya boleh, nggak?" Jean mengangkat alis. "Apa kamu pernah mengalami apa yang ada di tulisan kamu? Apa kamu mendapat ide untuk tulisan-tulisan itu dari pengalaman kamu sendiri?"

Jean tertawa kecil. "Enggaklah. Beberapa memang ada yang dari pengalamanku. Tapi nggak semua, termasuk cerita ini."

"Terus idenya dari mana?"

Shades of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang