Kehilangan.
Adalah satu hal yang masih belum bisa gadis itu pahami. Setidaknya, hingga di usia yang ke sebelas.
Dulu, yang dia tahu kehilangan hanya sebatas pena yang tidak lagi bisa ditemukan dalam kotak pensil, atau semburat jingga cahaya senja yang lenyap ditelan gelapnya malam. Sesederhana itu.
Tidak pernah sekali pun terbayang jika dia akan kehilangan harta paling berharga dalam hidupnya. Tidak terlintas sedikit pun dalam benak jika hari-hari dia lalui tanpa sosok berharganya.
Terkadang kenyataan memang setega itu.
Wajah gadis itu menengadah ke langit. Gelap. Iris cokelat madunya memejam. Suram kini tidak hanya tergambar pada langit malam. Tapi juga hatinya. Kelam. Karena satu-satunya cahaya yang dimiliki telah hilang direnggut oleh semesta.
Tetes air hujan perlahan turun, satu-dua jatuh mengenai pipinya. Dia tidak menangis. Tidak sebelum hujan datang membangkitkan kembali lukanya. Membuat suara-suara itu kembali terngiang di kepala.
“Dia mengalami kecelakaan mobil seminggu yang lalu. Kedua orang tuanya meninggal. Dia satu-satunya yang selamat.”
“Alhamdulillah, dia baik-baik aja. Hanya sedikit luka.”
Tubuhnya memang baik-baik saja. Namun, hatinya hancur tidak bersisa. Anak mana yang tidak terluka saat kehilangan kedua orang tuanya? Tepat di hari yang spesial untuknya.
Hari itu seharusnya menjadi hari yang membahagiakan. Kue ulang tahun dengan lilin angka sebelas, perayaan sederhana dengan hadiah-hadiah kecil, juga mama dan papa bersamanya. Semua terasa sempurna. Dia bahagia.
Tapi, Tuhan ternyata lebih menyayangi kedua orang tuanya. Perjalanan yang dia pikir akan dipenuhi oleh canda dan tawa, ternyata menjadi luka. Hari ulang tahun yang seharusnya menjadi hari bahagia, pada akhirnya menjadi hari yang paling menyakitkan baginya.
Hari terakhirnya bersama mama dan papa.
Setelah hari itu, dia mengerti arti dari kehilangan. Mengerti sakitnya kehilangan sosok yang paling dia cinta. Mengerti bahwa waktu dapat mengubah segalanya secepat kedipan mata. Jika saat ini dia bisa merasakan tatapan hangat dari kedua orang tuanya, lalu di detik berikutnya mata itu telah terpejam, dan tidak pernah lagi terbuka untuk memancarkan binar hangatnya.
Masih teringat dengan jelas tiap kenangan yang dia lalui bersama mereka. Nasihat mama ketika dia berbuat salah, peluk hangat papa di kala dirinya akan terlelap. Bagaimana panggilan “sayang” amat dia rindukan. Dan bagaimana kehadiran mereka membuatnya merasa memiliki tempat untuk pulang.
Semua terasa nyata. Sampai waktu merubahnya menjadi kenangan yang hanya bisa dia rindukan saja.
Gadis itu menangis, bersamaan dengan hujan yang mulai menderas. Dia tidak peduli pada tubuhnya yang basah, juga luka di dahi yang masih tertutup perban. Karena nyatanya, hujan telah memberi luka abadi yang harus gadis itu hadapi. Sendirian.
Matanya terbuka, mengadah menatap rinai hujan yang berloma-lomba untuk lebih dulu menemui bumi. Seperti melontarkan pertanyaan pada langit malam. Mengapa semesta tidak membawanya pergi juga? Mengapa harus meninggalkannya sendiri, membiarkannya melalui semua ini tanpa sosok yang bisa dia jadikan sandaran? Tidakkah semesta tahu jika mereka adalah dunianya? Dan sekarang... dirinya telah kehilangan arah.
“Dia anak tunggal, enggak punya saudara ataupun keluarga di sini.”
“Nggak ada satupun keluarga jauhnya yang datang untuk menemani.”
“Kasihan sekali.”
“Dia ditinggal sendiri.”
Gadis itu menyeka wajahnya yang basah karena rintik hujan dan air mata. Dia benar-benar tidak punya siapa-siapa. Tidak saudara ataupun keluarga. Bahkan mereka tidak ada di sisinya di saat dia baru saja kehilangan kedua orang tuanya. Saat dirinya butuh keluarga untuk jadi tempat menumpahkan air mata.
Ternyata semesta memang tidak berpihak padanya.
Tubuhnya bergetar. Isaknya tidak henti keluar kala gadis itu mengingat kembali kalimat yang baru saja dia dengar. Kalimat yang semakin menambah rasa sakit yang dia rasakan.
“Nggak ada keluarga yang ingin mengasuhnya.”
Seburuk itukah dia hingga semua meninggalkannya dan tidak ingin bersamanya? Bukankah mama dan papa berjanji untuk selalu menemaninya? Lantas mengapa sekarang mereka pergi meninggalkannya?
“Sebelum meninggal saat di rumah sakit, mamanya sempat menyampaikan pesan untuk menitipkan dia di panti ini. Karena dia tidak punya siapa-siapa lagi.”
Gadis itu menggeleng. Bukan karena tidak percaya dengan pesan mamanya. Namun, karena dia tidak lagi punya rumah untuk tempat pulang. Lebih tepatnya, tidak menginginkan rumah yang lain. Gadis itu ingin bersama kedua orang tuanya. Bukan bangunan bercat putih yang disebut panti asuhan di belakangnya.
Tetapi, seberapa keras keinginannya, sekuat apa pun usaha untuk meminta semesta mengembalikan mama dan papa, pada akhirnya ini adalah takdir yang harus dia jalani. Dia menolak. Tapi waktu tidak bisa dielak. Sampai lelah pun dia menangis, orang tuanya tidak akan datang untuk memeluknya, walau hanya sesaat sekadar memberi kehangatan dari dingin yang membelenggunya.
---
20 Juli 2022
-P
KAMU SEDANG MEMBACA
Shades of Broken Heart
Short StorySetiap hati memiliki definisi 'patah hati' yang berbeda. Yang pasti, ketika ia 'patah', tidak ada satu hati pun yang baik-baik saja. Kumpulan Kisah Singkat Dengan Definisi Patah Hati Yang Berbeda