SATU

79K 3.8K 353
                                    

Bestiehhh jangan pelit vote sama komennya ya!

Pokoknya gak boleh pelit harus rameinnn!👊🏻

Happy reading❤️

"Jangan remehkan orang yang mempunyai trauma di masa lalunya. Karna sebetulnya mereka sedang berusaha menyembuhkan trauma nya sendiri." — Dia Matahari

Aksa yang merupakan anak SMA Cendrawasih dengan berumur 18 tahun itu telah masuk ke dalam kamarnya Matahari. Pintu yang sudah terbuka lebar. Dengan yang ia pandang penuh semua buku-buku yang berserakan dimana-mana. Membuat Aksa memungut satu persatu buku-buku punya Adiknya, lalu ia taruh di meja belajar; di pinggir Adiknya yang sedang tertidur pulas.

Tangan kanannya terangkat untuk mengelus pucuk kepala Adiknya. Namun hal itu membuat Matahari terbangun dari tidurnya.

"Eh, Abang."

"Yah, Abang ganggu kamu tidur ya? Maafin Abang."

Matahari menggeleng. "Enggak kok," ucap Matahari mengulas senyum tipisnya ke Aksa.

Pandangan Aksa langsung tertuju ke tangan Matahari. Satu tangan gadis itu lebam membuat Aksa mengernyit.

"Ini tangan kamu kenapa lebam? Habis dipukul sama Ayah? Atau sama Mama?" tanya Aksa.

Matahari menatapnya. Sejenak ia terdiam. Lalu kembali menenggak menatap ke arah Aksa. "Enggak kok. Ini kejedot. Tadi, Matahari enggak mau diam. Jadinya gini." alibi gadis kecil yang berumur 10 tahun itu.

Matahari merupakan orang yang tak mau jujur ke siapapun itu. Ia lebih memilih menutup rasa sakitnya, bahkan ke Kakaknya sekalipun. Di umur Matahari ini seharusnya tidak terlalu dikekang atau dituntut dengan keras. Di umur Matahari biasanya banyak anak-anak seusianya lebih sering bermain. Bahkan jaman sekarang banyak orang di usianya juga sudah bermain gadget.

Tidak semua orang tua menuntut, tapi beberapa orang tua seperti itu.

Mereka memang ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun bukan berarti harus dikeraskan. Karna mental anak pun perlu dikhawatirkan juga.

"Mau coba bohongin Abang?" Aksa seolah menatap dingin ke Adiknya. Ia tak marah. Hanya saja ia kesal dengan Adiknya yang selalu menutupi rasa sakitnya itu.

"Susah ya bohongin Abang." Matahari menunduk.

"Kenapa, hm?"

Matahari mencari beberapa kertas ujian yang sudah Aksa rapihkan di bagian pinggirnya. Mencari-cari beberapa nilainya yang menurun dengan ia perlihatkan ke Aksa.

"Tujuh semua nilai kamu?" tanya Aksa membuat Matahari mengangguk.

"Terus Mama sama Ayah marah?" Matahari kembali mengangguk lagi.

"Siapa yang pukul kamu?" Matahari terdiam. Untuk pertanyaan satu ini Matahari tak bisa untuk menjawabnya.

"Ayah ya?" Matahari tetap diam. Itu artinya tebakan Aksa benar bahwa Ayahnya yang telah memukul Matahari hanya karna sebuah nilai.

Padahal menurut dirinya, nilai bukanlah patokan untuk sukses. Nilai itu hanya sebuah angka yang tidak perlu terlalu dikejar. Dan seharusnya jika mereka ingin anaknya mendapatkan nilai sesuai kemauan mereka, semestinya membantu. Bukan dengan secara dipukul sampai lebam seperti itu.

DIA MATAHARI [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang