DUA PULUH LIMA

28.4K 1.7K 460
                                    

Jangan lupa follow dulu, terus vote dan ramein pake komen kalian😻

Happy reading🤍

"I know, you are too sick with my treatment." — Dewangga Putra Alvarez

Dewa terus menatap Matahari yang sedari tadi gelagatnya sudah aneh. Tangannya tidak mau diam begitu juga kakinya. Ia meremas bagian roknya sendiri membuat Dewa berinisiatif mengambil tangan gadis itu agar ia bisa tenang. Namun nyatanya tidak. Matahari langsung menoleh sekaligus menetralkan jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang.

"Kenapa?"

Matahari menggigit bibir bawahnya dengan kuat-kuat.

Dewa berdecak. "Ngomong, jangan digigit. Bibir lo bisa berdarah."

"Anu ... ini kita pacaran? Tapi aku nggak ada bilang iya ke kamu." kata gadis itu. Rupanya Matahari masih merasa nervous ketika Dewa menganggap dirinya sebagai kekasihnya. Padahal tadi sudah jelas Dewa menembaknya. Hanya saja cowok itu tidak memberi Matahari kesempatan untuk ia memilih.

Antara Matahari harus menerima atau menolaknya.

"Menurut lo?"

"Tapi kan kalo cowok nembak itu biasanya dikasih pilihan."

"Ya, trus?"

"Aku nggak dikasih pilihan?"

"Untuk lo, nggak perlu kayaknya gue kasih pilihan." Dahi gadis itu berkerut bingung. "Kurang jelas yang gue bilang tadi? Gue nggak suka penolakan. Apalagi dari lo."

Berbeda. Dewa yang dulu dengan Dewa yang sekarang agak sedikit berbeda. Setelah ia mempunyai sifat jail. Ternyata dia orangnya pemaksa. Memaksa Matahari untuk menjadi kekasihnya sekarang. Tanpa dikasih pilihan sedikitpun olehnya.

"Tapi aku takut,"

"Takut? Apa yang lo takutin? Gue nggak segalak itu. Gue juga nggak bakal gigit lo. Jadi ngapain lo takut?"

"Bukan itu maksud aku!"

"Gimana?"

Matahari menarik napasnya pelan-pelan. Tangan yang sempat digenggam erat oleh Dewa ia lepas agar ia bisa lebih tenang untuk kondisi jantungnya. Karna yang ia rasakan saat digenggam tadi Dewa mengelus tangannya dengan lembut sambil menunggu dirinya yang akan menjawab kembali.

"Aku belum siap," jeda gadis itu sambil melirik Dewa yang masih menunggu jawaban dari Matahari. "Belum siap dibully lagi." katanya memalingkan wajahnya pada Dewa.

"Gitu?"

Dahinya berkerut heran. Lalu persekian detik Matahari mengangguk kecil.

"Coba liat ke gue jangan liat ke bawah terus. Lantainya lebih ganteng dari gue emang?" ucapnya dengan percaya diri membuat Matahari memberanikan diri untuk menatap mata Dewa.

"Iya, ini liat ke kamu."

Dewa membenarkan posisinya agar bisa lebih nyaman untuk berhadapan dengan Matahari.

"Siapapun yang ganggu milik gue nggak akan gue biarin dia hidup. Dan orang itu akan berhadapan sama gue."

"Maksud kamu?"

Dewa terdiam sebentar. Kadang Matahari memang susah untuk mengerti sama kalimatnya sendiri. Sepertinya ia harus pelan-pelan memberitahu gadis itu agar bisa mengerti.

"Selama gue kenal lo, ternyata ngomong sama lo itu harus pelan-pelan ya?" tanya cowok itu.

Matahari merasa bersalah, "Maaf."

DIA MATAHARI [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang