BREAKFAST

830 261 130
                                    

"Aku maafin kamu bukan karena mau melupakan kesalahan kamu, tapi aku tahu hidup penuh rasa bersalah itu NGGAK ENAK!"

***

Di balik dinding kaca, butiran embun masih melekat saat langit masih gelap. Sehingga langit perlahan mulai membiru. Mala masih menyantap roti isi keju dengan segelas kopi susu panas. Kopi punya keseruan yang berbeda untuk memulai hari yang panjang. Hal apa pun yang terjadi hari ini, bisa saja tidak begitu menyenangkan seperti kemarin. Bisa saja lebih melelahkan, bisa saja lebih memusingkan bahkan jauh dari keberuntungan. Maka tidak perlu lagi menyalahkan takdir, aroma kopi sudah menenangkan lebih awal. Dia masih duduk sendiri di ujung meja kantin. Sebuah meja keramat yang tidak pernah diduduki karyawan lain. Perempuan itu memasang headset pada telinga kirinya.

“Pagi, Bu..,” sapa beberapa karyawan yang berlalu-lalang silih berganti melewati mejanya dengan senyuman.

“Pagi..,” sambut Mala menggerakkan sedikit bibirnya. Langit pagi ini tidak mampu membuatnya tersenyum. Seperti biasa. Tiba-tiba suara lelaki menyapa dengan khas medok sambil memegang semangkuk bubur ayam dan secangkir kopi hitam. Tak lupa menebar senyum lugu nan polos di wajah itu.

“Pagi, Bu Kumala.” Suara berat Wisnu melantun pelan dan Mala hanya membalas dengan senyuman yang sama.

Sekilas sebuah wajah yang dia pernah kenal memandangnya dan berdiri termangu di sebelah Wisnu. Lelaki berambut berantakan itu tidak berkedip. Mala bergegas memasukkan headset, ponsel, buku catatan dan pena tinta hijau itu ke dalam ransel kecilnya. Lelaki bertubuh tegap itu, berjalan menuju meja Mala. Lalu dia duduk dan meletakkan secangkir kopi instan dan sebungkus rokok di atas meja Mala.

“Kamu Kumala, kan? Saya Mas Setyo, kamu masih ingat?” ucap lelaki itu.

“Maaf, saya nggak kenal.” Mala beranjak pergi meninggalkan meja dengan sepotong roti yang masih tersisa. Langkahnya cepat.

“Kamu bener Kumala, kan?” tanya Setyo lagi. “La!!” teriak Tyo dan langkah Mala terhenti. Dia berbalik. Tyo segera berdiri dari kursinya.

“Gue nggak kenal sama lo  dan nama gue bukan La,” pungkasnya. Tyo hanya bisa menatap Kumala yang meninggalkannya dengan langkah yang cepat. Mata itu berubah sendu dan rasa penyesalan memenuhi wajahnya. Dia menuju meja Wisnu dan duduk di sana. Tyo sudah kehilangan selera untuk menyeruput kopinya.

“Tenan iki Mas, kamu kenal karo Bu Mala?” tanya Wisnu dengan mata yang melotot segera menelan bubur di dalam mulutnya.

“Kok kamu panggil dia Ibu? Dia masih muda, belum menikah juga,” jawab Tyo masih memandangi langkah Mala.

“Ibu Manajer, loh, Mas.” Wisnu membuat mata Tyo melebar.

“Tenan, Boy? Alhamdulillah.” Balas Tyo sumringah. Dia melihat benda yang tidak asing di sana. Tergantung pada ransel Mala. Tapi Tyo masih mencoba mengingatnya.

“Tenan. Ibu Manajer moso iyo aku panggil sayang,” balas Wisnu sambil tertawa kecil.

“Ndasmu!!” cetus Tyo tersenyum.  Saat Mala berjalan menuju pintu keluar kantin, gantungan kunci di ransel Mala melambai dan Tyo akhirnya mengingat benda kecil itu. Saat pertama kali dia memberikan hadiah ucapan terima kasih untuk Mala. Semalaman Mala sudah menjadi pundaknya waktu itu. Saat di mana dia tidak bisa bersembunyi untuk menangis.

Mala masih memakai gantungan kunci itu pada tasnya. Tyo pun bergegas mengejar Mala yang sedang menuju loker. Loker baris pertama. Dia tak menemukan Mala yang mengenakan blazer putih. Ke kanan dan ke kiri dia menoleh. Kemudian langkah kaki yang mengenakan sepatu cats hitam putih itu terhenti. Saat matanya menemukan Mala, gadis itu masih sibuk meletakkan ransel kecil itu ke dalam lokernya. Nomor 33. Kumala mengenakan badge dengan tali merah dan mengambil beberapa berkas. Warna tali itu menandakan benar dia bekerja di bagian office utama. Saat dia bergegas mengunci loker dan pergi, Tyo mulai bersuara.

“Maafin aku, La.” Ucapannya membuat kaki Mala terhenti. Dan ia berbalik. “Lo ngikutin gue?”

“Aku cuma mau minta maaf.”

“Hah..? Gue aja nggak kenal sama lo,” balas Mala hanya menoleh sedikit.

“Aku tahu aku salah. Aku ndak dateng saat pertunangan kamu. Waktu itu aku udah beli tiket untuk balik ke Solo, jadi aku putuskan untuk ndak datang. Aku ndak mau buat kamu tambah kecewa saat aku pergi lagi,” jelas Tyo, “pertemuan ini, pertemuan pertama dan terakhir kita. Aku tahu kamu ndak mau ketemu sama aku lagi--,” tambah Setyo tetapi Mala berbalik langsung memotong perkataannya.

“Gue nggak kenal sama lo! Batang hidung lo jangan pernah muncul lagi di depan gue, ngerti lo!” tegas Mala. Dia meninggalkan Tyo hingga pria itu terdiam.


******

Sesampai di ruangannya Mala kebingungan mencari bando yang biasa dia kenakan selama jam bekerja. Pena warna-warni yang selalu dia letakkan di depan komputer pun menghilang entah ke mana. Dia membuka laci meja satu persatu, bando putih itu belum menampakkan dirinya. Tak lama Abdul pun menghampiri dengan suara nyaring seperti biasa.

“Cari apaan, sih, Kak? Sibuk banget gue lihat dari jauh,” kata Abdul berdiri di samping meja Mala.

“Kak? Ibu! Gue ini Ibu Manajer,” cetus Mala dan bola matanya membesar.

“Masih Asisten Manajer tapi merangkap jadi Ibu Manajer,” jelas Abdul dengan senyuman lebar. “Pagi-pagi udah ngomel, lagi PMS?! Ya, udah cari apaan? Biar gue bantu,” tambah Abdul.

“Ini masih jam kerja, bicara itu yang formal. Paham?” Mala menggerutu.

“Siap, Bu!” Abdul bertingkah bak prajurit di depan komandan. Dua detik berlalu dia tertawa. Mala ingin sekali melayangkan tumpukan berkas ke kepala Abdul. Tetapi, dia masih sadar kini mereka sedang bekerja. Saat ini harus menjadi partner yang profesional. Bukan saatnya untuk beradu bak tikus dan kucing. Ya, meskipun tak jarang saling mengeluarkan taring untuk bersaing agar mendapat perhatian dari pimpinan. Muhammad Arif Anggara.

Arif keluar dari ruangannya dan memanggil staff di ruang office untuk segera berkumpul karena akan briefing di ruangannya. Kedua tangan Mala dengan sigap menyusun berkas. Bersama Abdul, dia segera menuju ruangan Arif. Pria yang mengenakan kemeja putih di balik jas hitamnya. Arif menunjuk Mala dan Abdul untuk memantau perkembangan para trainer dan karyawan baru di bagian produksi sebagaimana mereka mengemban tugas sebagai tim HRD.

“Oke, cukup rapat kita pada pagi ini, semoga minggu depan kita sudah bisa mulai produksi untuk produk baru. Terus semangat untuk teman-teman semua. Walaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh,” tutup Arif. Satu persatu karyawan membubarkan diri dan kembali ke area kerja mereka masing-masing. Mala menyerahkan berkas yang sudah dia selesaikan kemarin. Seperti biasa Arif menyambut Kumala dengan senyuman yang lebar dari wajah yang berseri. Sementara Mala segera meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa.

“Ada masalah, Mbak Mala?” tanya Arif melihat wajah Mala yang kebingungan.

“Saya lagi cari bando, saya lupa menyimpannya di mana, Pak,” kata Mala tersenyum kecil.

“Lagi? Pantas saja ada yang berbeda pagi ini, tapi tetap bisa kerja, dong meskipun nggak pakai jimat?” kata Arif tertawa kecil.

“Kalo nggak pakai jimat, bisa nggak jalan produksi line 12, Pak,” sambung Abdul.

“Waduh! Bahaya dong, gimana kalau saya panggilkan damkar?” canda pria berhidung mancung itu sambil tertawa kecil.

“Nggak perlu panggil damkar kok, Pak. Kalau saya terawang, mungkin keselip di laci. Saya permisi dulu, Pak,” jawab Mala tersenyum lebar. Mala kembali menuju meja kerjanya.

Lagi. Lelucon garing Arif tidak bisa menahan Mala lebih lama. Selain alasan pekerjaan, Arif tidak punya materi lain untuk bisa berbincang lebih jauh dengan gadis bermata cokelat itu. Abdul menyayangkan kesempatan yang dilewatkan Arif untuk mengajak Mala makan siang bersama. Tanpa basa-basi. Hal yang bukan menjadi kebiasaan Mala. Memang pada dasarnya Mala selalu to the point. Jika bukan hal penting, Mala lebih suka membungkam mulutnya Bahkan bisa disebut membeku. Bak es batu dikutub Utara yang sulit mencair. Tetapi, tidak ada yang tidak mungkin seperti pepatah jadul.

“Hadeh, sampai kapan mau ditunda terus, Mas? Kalau udah ditikung aja, baru, deh, lo heboh!” Abdul terabaikan karena Arif sibuk memandang Mala dari balik dinding kaca. Perempuan yang selalu memakai sepatu block heels itu berjalan cepat menuju mejanya. Tentu saja dia langsung mencari jimatnya. Dan benar saja, bando putih itu terselip di balik berkas. Melihat senyuman di wajah cantik itu, Arif tak bisa menahan bunga-bunga bermekaran di dadanya.

“Kacang goreng!! Kalau udah kasmaran gue jadi nyamuk!” seru Abdul kesal dan memilih meninggalkan ruangan.


*****

Peluh mengucur keringat dari dahi Tyo menuju pelipis hingga menyentuh alis tebalnya. Kotak material ini, kotak terakhir yang harus dia cek sebelum istirahat makan siang. Dia pun teringat sesuatu.

“Mas Boy, jam piro sampeyan break?” tanya Setyo.

“Siji Mas, sampeyan rolas ‘kan?” balas Wisnu sambil merapikan kotak di rak.

“Gantian ae yo, Mas. Soalnya jam dua belas material terakhir datang,” jelas Setyo.

“Saya saja Mas yang cek, sik.” Balas Wisnu

“Nggak usah, Mas saya sekalian laporan karo Bu Mel,” ucap Tyo meyakinkan rekannya lagi.

“Iyo, Mas tim office break jam siji. Ora opo-opo yo, Mas?” Wisnu merasa tidak enak hati jika mendahului seniornya itu.

“Aman. Tenang aee.” Tyo bergegas menyelesaikan pekerjaannya lalu menuju lantai dua. Langkah kaki terhenti di depan pintu ruangan Mala. Kumala terlihat masih sibuk bekerja. Dia pun berbalik dengan wajah lesu menuju smoking area.

Sambil menghisap sebatang rokok, Tyo terus memikirkan berbagai cara untuk bisa memahami perasaan Mala saat ini. Mungkin dia masih sama. Mala yang keras kepala tapi berhati lembut. Atau bisa saja dia sudah menjadi wanita yang lebih kuat dan tidak peduli dengan Tyo lagi. Sesal di dadanya semakin sesak dan membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Bayang-bayang masa lalu berkeliaran di kepalanya. Selesai menghisap batang pertama, Tyo mengeluarkan sekotak rokok dari saku kemeja abu-abunya. Dia mengambil sebatang lagi. Saat menyalakan mancis, sedetik saja membakar ujung batang rokok itu. Hembusan asap pertama memunculkan pertanyaan lain di kepalanya. Apa masih bisa untuk kembali di sisi Mala? Apakah dia baik-baik saja?

“Aku mesti cari tahu jawaban ne,” ucapan dalam pikirannya.


*****

Detik jam di dinding kantin bergema. Hanya Mala yang duduk di meja keramatnya. Mbak Kiki sibuk membereskan isi steling. Kesunyian saat ini adalah kesukaan Mala setiap pagi. Kopi instan di atas meja bersama roti lapis isi daging menemani Mala. Sambil menikmati musik Beethoven  dengan headset pink di telinganya.

“Assalamualaikum,” salam Tyo tiba-tiba muncul dengan kopi hitam dan tersenyum, dia langsung duduk di hadapan Kumala.

“Siapa yang bilang kalau lo boleh duduk di sini?” ketus Mala.

“Masih pagi La, jangan ngomel dulu sarapan sek, toh,”

“Pergi!” seru Mala.

“Ada yang mau aku omongin La, tapi aku habisin kopi ini dulu, habisin juga sarapan kamu, ya.” Tyo mencoba menenangkan Mala dengan suara pelan. Kumala meletakkan ransel berwarna maroon di hadapannya, memisahkan wajahnya dan wajah Tyo. Pria berjaket jeans itu kaget lalu akhirnya tersenyum. Kali ini Mala memberinya kesempatan.

Pilihan sarapan Arif masih dimsum udang dengan kopi instan karamel, kopi favorite Kumala. Pantas saja, dia selalu memperhatikan Mala tanpa memiliki kesempatan untuk mendekatinya. Lebih tepatnya belum berani mendekatinya. Abdul yang selalu memegang nampan dua porsi dimsum dan dua cangkir kopi instan melangkah ke barisan meja Kumala, berjarak 3 kursi dari kanannya. Wajah semangat Arif berubah saat melihat suasana canggung Mala dan Tyo. Abdul yang baru saja duduk menoleh ke arah Mala.

“Kalem.. kalem.., Mas. Duduk dulu.” Abdul mencoba menenangkan Arif. Lelaki berambut cokelat itu menarik napas dalam-dalam. Perasaannya kalah dengan rasa khawatir yang tak jelas. Beberapa keraguan terselip di antara bunga cinta di hatinya. Kini perasaannya tak keruan.

“Udah abis sarapan gue, udah abis kopi lo, waktu lo Cuma 1 menit,” cetus Mala, setelah dia mengambil tas itu dari hadap Setyo. Pria berkulit sawo matang itu merapikan kata-kata yang akan dia ucapkan.

“Sekali lagi aku minta maaf, La.” Ucapannya terlalu pelan dan tidak meyakinkan.

“Udah itu aja?” tanya Mala. Dia langsung menyandang tas itu di bahunya.

“Apa bisa kita seperti dulu lagi?” tanya Tyo dengan wajah yang tampak gusar.



“Dulu yang gimana? Pas nyokap gue lagi sakit sampai meninggal lo malah ngilang di telan bumi?!” geram Mala dengan wajah yang membara. Lalu Mala terdiam. Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca menahan sekuat tenaga agar air mata itu tidak terjatuh. Sesak itu kembali terasa. Tyo kehilangan akal dan kata-kata yang telah dia rangkai di dalam kepalanya. Dia menarik napas perlahan. Beberapa detik menatap mata Mala.

“Kasih aku satu kesempatan untuk memulai lagi dari awal. Aku tahu nggak akan bisa memperbaiki apa yang udah aku hancurkan, aku Cuma mau ada di sisi kamu lagi,” jelas Tyo.

“Nggak perlu!” sambar Mala. Wanita itu terdiam sejenak, segala cacian bergema di kepalanya. Namun, tetap saja sebagian dinding hati yang membatu kalah dengan hatinya yang masih tidak bisa membenci kesalahan apa pun. Siapa pun.

“Anggap aja aku udah maafin kamu. Aku maafin kamu bukan karena mau melupakan kesalahan kamu, tapi aku tahu hidup penuh rasa bersalah itu NGGAK ENAK!” berang Mala. Setyo pun hanya menatapnya lebih dalam lagi, sudah tidak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkannya, Kumala meninggalkannya. Rasa bersalah yang tiada habisnya. Ratusan hari terasa sama.

☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕

TERIMA KASIH RAANGERS, SUDAH MEMBACA EPISODE INI, PANTAU TERUS YAA✌️

Jika berkenan mohon kritik dan saran membangun ☺️ ambil sisi positif dan buang negatifnya ya😂 semoga kalian terhibur membaca kisah ini.

Follow akun penulis Storial/ Ig/ Twitter @raakrtk ✌️

DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang