MAIN COURSE

365 126 36
                                    

"Cinta itu apa, sih, May? Yang penting kamu berbuat hal tulus. Nggak usah mengharap orang lain membalas kebaikan kamu. Udah. Itu, tok.

***

Kondisi jalan raya tidak mendukung perjalanan Arif dan Mala menuju restoran yang akan mereka kunjungi. Tetapi, lalu lintas yang ramai dan suara klakson yang berbunyi sana-sini, tidak lagi di hiraukan Mala. Cukup memandangi Arif diam-diam, entah mengapa bisa membuat hati Mala menjadi tenang.

"Ini kita mau ke mana, Mas?" tanya Mala.

"Saya pengen makan mi tarempa. Kamu tahu?" balas Arif.

"Tahu banget, makanan favorite saya urutan nomor tujuh," jawab Mala.

"Yang di daerah KCB yang paling enak, Mas. Rebusan minya nggak terlalu matang, dan nggak berasa mentah juga. Pass! Bumbunya juga berasa banget, nggak pakai micin. Dan yang pasti, Mas bisa request nggak pedes." Mala sudah membayangkan seporsi mi goreng Tarempa yang sudah beberapa bulan tidak menghampiri lidahnya.

"Ya, udah kita langsung ke sana aja." Arif membalas dengan semangat. Mala dengan cepat mengangguk sambil tersenyum dan menaikkan alis hitamnya.

Sesampainya di depan restoran bertema serba kayu itu, pikiran Mala melayang. Kembali ke masa beberapa tahun lalu. Tepatnya, saat Mala dan tunangannya yang waktu itu telah seharian mengikuti tes dan wawancara pekerjaan tidak jauh dari restoran itu. Wajah Abi masih teringat jelas. Lelah dan kelaparan seperti Arif saat ini. Dan dia sangat menginginkan menyantap mi goreng itu. Meja nomor lima. Tepat di pinggir jendela. Arif mengajak Mala untuk duduk di sana. Mala memilih untuk duduk di meja luar. Dia tidak ingin tenggelam dalam kenangannya. Tetapi, bagaimana bisa? Mala masih saja menatap meja itu. Meja yang menjadi saksi perdebatan mereka. Benar. Selalu terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat dengan Abi. Tidak ada yang mau mengalah.

Empat tahun lalu

(Ada di novel versi cetak 😊)

***
Saat Arif menyentuh tangan Mala, dia kembali ke masa ini. Tersadar Arif yang ada di sampingnya sedang membaca menu.

"Kamu makan apa?" tanya Arif.

"Sama aja, Mas," jawab Mala pelan. Arif menyebutkan pesanan yang sama pada waitress berseragam cokelat itu.

"Sebelumnya aku minta maaf soal Bang Miki. Enggak konfirmasi sama kamu lebih dulu,"

"Iya, nggak apa-apa, Mas. Yang penting Bang Miki tetap ada pemasukan. Usia istrinya itu di bawah aku, dia nggak bekerja. Anaknya yang baru lahir itu, sering sakit-sakitan. Sementara, dia kerja di perusahaan kapal itu, sudah nggak aku tahu pasti capek banget," jelas Mala.

"Tapi, dia masih mau cari sampingan. Kalau aku kasih uang aja dia nggak mau terima, makanya dia nawarin untuk jadi ojek langganan aku." Mendengar penjelasan Mala, Arif semakin sadar bahwa ia baru memahami perempuan yang ada di dalam hatinya itu.

"Ternyata kamu care juga dengan orang yang di sekitar kamu. Setahu aku kamu itu, NGGAK PEKAAA!"

"Biasa aja kali ngomong 'nggak peka'. Mas nggak ngaca?"

"Ngaca dong, ganteng, kan?" balas Arif melebarkan senyuman. Auch.

Lengkungan bibir itu membuat hati Mala tergetar. Jantungnya mulai terguncang lagi. Dia berusaha mengelak, dengan menarik napas dalam-dalam. Tetap saja, pipi itu kian merona. Mala mencoba membalas dengan senyuman kecil.

"Maksud aku, Mas jauh lebih nggak peka. Karyawan nyapa aja, bukan dibales. Disenyumin aja nggak," tambah Mala.

"Masa, sih?"

DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang