Tyo sampai di pantai kala langit sudah menghitam. Lelaki itu menyusuri sepanjang pinggir pantai. Dia tidak menemukan Mala. Ponselnya masih terus berdering. Panggilan itu kini dari Arif. Dengan berat hati Tyo harus menjawabnya. Seseorang memukul pundaknya dari belakang.
"Mas," ucap pria itu.
"Mala udah pulang," ucap pria itu. Mata Tyo membesar. Dia lebih memilih untuk segera pergi meninggalkan Ibra tanpa sepatah katapun.
Tyo segera menghampiri motor dan menyalakannya. Mobil Arif baru saja sampai dan melihat Tyo di sana. Langkah kaki Tyo sungguh berat untuk mendekati Arif. Dia lebih memilih untuk menunggu. Begitu memarkirkan mobilnya, Arif segera berlari menuju Tyo.
"Gimana, Mas? Ketemu Mala?"
"Sepertinya dia di rumah, Mas."
"Aku udah dari rumah. Maya juga belum pulang"
"Lagian udah malam juga, Mala nggak akan berkeliaran malam begini,"
Arif mencoba memegang kata-kata Tyo. Dia memilih untuk kembali ke rumah. Abdul masih mencari di penjuru sudut kafe. Mungkin saja Mala sedang ingin menikmati kopi sendiri. Merindukan dirinya sendiri. Tetapi, yang dia temukan adalah Maya. Gadis itu duduk di sudut kafe dekat kost Tyo. Matanya sembab. Tidak pernah Maya duduk sendiri. Dia lebih memilih untuk pulang dan tidur. Terlalu memalukan untuk bersandar di depan banyak orang. Kini, wajahnya menggambarkan luka yang begitu dalam. Tersesat. Tidak tahu rumah mana untuk dia kembali pulang. Abdul duduk di hadapannya. Maya buru-buru memasang senyum tipis di wajahnya. Tetap saja, tidak menghapus kesedihan yang sebenarnya.
"Kenapa lagi?" tanya Abdul.
"Kenapa apanya?"
"Berantem sama Mas Tyo?"
"Nggak juga, cuma capek."
"Kenapa nggak telepon gue? Bisa, kok bikin Lo ketawa garing, nggak bayar! Grraaatissss!!' seru Abdul.
"Hati gue yang manggil, buktinya Lo muncul,"
Abdul tidak bisa menanyakan keberadaan Mala kini. Hanya akan menambah pusing kepala Mala yang kini sedang penuh dengan rasa lelah. Dia juga sudah mendapat pesan dari Arif, bahwa kini abangnya itu sedang dalam perjalanan menuju rumah Mala.
"Nggak perlu di sembunyikan May, kesedihan, kecewa atau hal yang ganggu pikiran lo, kita bukan orang lain lagi, kan? Lo anggap gue keluarga Lo, kan?"
"Gue.. gue cemburu Dul, sama..,"
"Kak Mala?" tanya Abdul. Maya hanya menganggukkan pelan.
"Di sisi lain gue merasa bersalah. Harusnya gue nggak merasa begitu, kan?"
"Nggak salah, kok. Gue juga cemburu. Gue pikir Mas Arif akan melakukan apapun buat dia. Hal yang nggak menjadi diri dia, bukan kesukaannya, bahkan menyingkirkan gue. Tapi, selam itu buat dia senang, lama-lama perasaan itu tersingkirkan."
"Gue paham. Tapi, gue beda. Kak Mala orang yang gue sayang, Mas Tyo orang yang gue cinta. Tapi, keduanya seperti udah melewati batas,"
"Menurut gue juga, sih. Tapi kita nggak paham apa yang udah mereka lewati, cuma mereka yang bisa saling mengerti satu sama lain. Kita cuma jadi penonton yang nggak bisa protes dengan jalannya kisah mereka. Tapi, gue yakin itu bukan kisah cinta yang nggak tersampaikan. Lo paham kan maksud gue?"
"Nggak,"
"Lo inget ertemuan kali ini di restoran tempat pertama kali kita makan malam bersama? Di situ Kak Mala begitu memahami apapun yang menjadi menu favorit kita, tanpa tanya lagi ke kita. Karena bener-bener memahami kita. Terus apa kita paham tentang dia seratus persen? Tujuh puluh lima persen? Bahkan lima puluh persen nggak sampek, kan?"
"Mas Tyo paham, Dul."
"Itu maksud gue. Kak Mala memahami kita, tapi kita nggak. Cuma Mas Tyo yang bener-bener memahami dia. Itu yang sebenarnya membuat kita iri. Kenapa mereka bisa saling memahami? Terus dengan mudahnya otak kotor kita menyangka ada perasaan yang mereka sembunyikan. Cinta. Padahal, perasaan mereka jauh lebih murni dibandingkan cinta,"
"Kok lo bisa ngomong gitu?"
"Cinta itu penuh kecewa, May. Amarah, egois, dan yang paling nggak bisa kita lawan adalah alasan-alasan yang nggak masuk akal, mengatasnamakan cinta. Membuat kita melakukan apapun diluar nalar. Gue kasih tahu lo ini supaya lo nggak terjebak di dalamnya."
"Gue rasa gue udah terjebak, Dul,"
"Nggak! Lo dan Mas Arif sedang memperjuangkannya. Gue nggak akan membiarkan kalian terjebak seperti gue, Kak Mala dan Mas Tyo. Tenang aja, Mau ada gue."
Keyakinan Abdul yang begitu kuat seketika memudarkan rasa cemas dalam dada Maya. Pria yang biasanya hanya menggerutu dengan segala ocehan Arif, malam ini berubah menjadi malaikat pelindung Maya. Abdul segera memesan bakso hangat untuk mengakhiri malam ini. Maya pun memutuskan untuk pulang ke rumah Mala.
******
Selama perjalanan menuju rumah Mala, Arif dilanda rasa kekhawatiran yang kian mengguncang. Dia tiada henti memencet tombol klakson dan mengendarai mobil dengan kecepatan 80 km/jam. Begitu pula Tyo, dia ingin segera memastikan Mala benar kembali ke rumah dan tidak ada Ibra lagi yang mengikutinya.
Akhirnya, Arif sampai di depan gerbang Mala. Langit sudah menurunkan gerimis yang membasahi kepalanya saat terburu-buru menuju teras rumah Mala. Arif menggedor pintu Mala dengan kencang. Mobil Mala sudah terparkir di rumah. Satu kelegaan. Tetapi, belum melihat wajah Mala, Arif tidak akan tenang.
Pintu itu terbuka dengan wajah Mala yang pucat. Dia memakai piayama berwarna biru.
"Mas?" ucap Mala dengan wajah kebingungan. Arif langsung meraih tubuhnya. Wajah kekhawatiran itu terpancar dari Arif. Jauh lebih ketakutan dibandingkan kejadian di pantai malam kemarin. Arif memeluknya erat-erat. Sungguh erat. Mala merasakan kelegaan yang begitu lapang. Sungguh hari ini dia telah menemukan kelegaan yang tiada tara sejak beberapa tahun terakhir.
*****
TERIMA KASIH RAANGERS, SUDAH MEMBACA EPISODE INI, PANTAU TERUS YAA✌️
Jika berkenan mohon kritik dan saran membangun ☺️ ambil sisi positif dan buang negatifnya ya😂 semoga kalian terhibur membaca kisah ini.
Follow akun penulis Storial/ Ig/ Twitter @raakrtk ✌️
KAMU SEDANG MEMBACA
DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓
RomanceIG/TIKTOK: @raakrtk SUDAH TERBIT (ORDER DI TOKO SHOPEE: PENERBIT.LOVRINZOFFICIAL) **** Batam, 02 Juli 2022 Setelah kehilangan yang melubangi hatinya, pertemuan tak terduga mengubah hari-hari Mala yang menyedihkan. Perempuan yang pertama kali dipata...