THE TABLE

474 195 41
                                    

"Ada yang bilang, cinta itu seperti hantu. Dia ada tapi nggak kelihatan. Tapi sebenarnya hantu yang seperti cinta, selalu mengganggu tapi nggak mau menampakkan dirinya,"

"Terlalu pengecut."

***

Bulan malam tadi segera berganti matahari pagi cerah. Sangat mendukung semangat Mala untuk membujuk Arif agar tidak bersikap masam atas perlakuannya tadi malam. Memang pernah Arif bersikap masam? Sama sekali, tidak. Kondisi seperti apa pun di kantor yang menganggu kesehatan 'hati', Arif selalu tersenyum jika sudah memandang wajah Mala. Begitu juga pagi ini. Mala yang terburu-buru meletakkan tasnya di loker, di hampiri Arif tanpa rasa kesal sedikit pun. Wajahnya cerah menyapa Mala.

"Nggak sarapan?" tanya Arif dengan senyuman itu membuat dompet dalam genggaman Mala terjatuh. Mala segera meraih dompet cokelat itu dari lantai.

"Udah sahur tadi, Pak." Cengir bibir Mala sedikit bergetar. Jantungnya berdebar. Terdengar suara detik bom yang segera meledak di kepalanya.

"Permisi, Pak!" seru Mala langsung menghilang. Dia berjalan cepat mengambil langkah seribu. Arif yang tercengang, meninggalkan senyuman kecil di bibirnya. Tingkah Mala yang aneh, suatu yang menggemaskan hingga membuatnya terlupa tentang dirinya terabaikan tadi malam.

Hari ini Mala harus lembur bekerja. Banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Saat melewati kantin, Mala memilih untuk makan malam lebih awal. Dia membeli beberapa bungkus keripik kentang, malkist dan air jeruk dengan 1000 miligram vitamin C. Perempuan berbaju cokelat muda itu menuju meja yang berada di barisan tengah.

Dia tidak lagi duduk di meja keramat. Mulai saat ini, Mala memilih untuk meninggalkan meja itu. Bersama kenangan tentang kepiluan, kekecewaan, dan kesedihan yang pernah dia bawa di meja itu. Sudah saatnya Mala memilih untuk memikirkan bagaimana cara membuat dirinya bebas dari semua kenangan lama. Meski begitu, Mala tetap saja tidak bisa mengubah raut wajahnya. Setiap orang yang menyapa harus terlebih dahulu tersenyum padanya. Dia masih belum bisa memulai untuk menjadi seseorang yang lebih ceria. Mungkin belum saatnya.

Sambil menonton film korea horor, Mala masih mengunyah keripik itu. Sebuah suara terdengar dari belakang.

"Kenapa kamu pindah meja, Mbak?" Ternyata itu Abdul dengan sebotol minuman teh melati dan nasi bungkus.

"Cari angin," jawab Mala singkat. Abdul mengadahkan kepalanya. AC itu tepat di atas kepala Mala.

"Tapi gue boleh duduk di sini, kan?" balas Abdul.

"Enggak." Mala masih menatap serius layar ponselnya.

Abdul memilih membawa kembali nasi bungkus yang ada di tangannya dan memilih meja yang berada dekat dengan steling mbak Kiki. Setelah seharian hanya bertegur pagi tadi, Arif yang juga harus lembur akhirnya memilih untuk menghampiri Mala dengan penuh keberanian. Perempuan itu, masih duduk sendiri menikmati adegan jumpscare di film horor itu dengan tenang.

"Astaghfirullah!!" Arif kaget tanpa sengaja melihat adegan yang berada di ponsel mala. Perempuan itu malah terkejut mendengar suara pria yang tiba-tiba ada di sampingnya.

"Udah mau magrib gini malah nonton film horor, Mbak??" Arif masih menghela napas. Jantungnya masih berkejar-kejaran.

"Cari ketenangan, Pak. Biar bisa nyelesain kerjaan hari ini." Mala membalas kalimat Arif tanpa melihat wajahnya.

"Film hantu begini bikin tenang? Bukan nonton drama komedi atau cinta-cintaan yang bikin lebih entertaining, ya? tanya Arif mengernyitkan dahi.

"Saya nggak suka, Pak. Karena nggak nyata," jawab Mala masih dengan wajah tegang menatap ponselnya.

DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang