FIRE CHICKEN

547 237 79
                                    

"Cinta itu harus selalu bersungguh-sungguh bukan perasaan yang ragu-ragu,"

***

Cahaya terik matahari memasuki ruang office melalui sela-sela tirai di jendela kaca. Es kopi di meja Mala pun semakin mencair. Kopi hitam plus madu jimat kedua bagi Mala, sebagai penenang pikirannya disaat seperti ini. Pikirannya sedang beradu jotos dengan isi hatinya. Hawa panas ikut menyusup ruangan itu hingga membuat kepala malah semakin gusar untuk menentukan pilihan. Memenangkan pikirannya atau mendengarkan isi hatinya.

"Siang-siang gini malah minum kopi, Kak." Abdul celetuk tanpa ragu.

"Bu Mala," balas Mala pelan.

"Gini aja, kita sepakat gue panggil Mbak Mala. Gue, kan Manajer HR selevel dengan Pak Arif Manajer perusahaan, yang manggil Mbak juga. Gimana? Deal?" papar Abdul dan Mala hanya mengangguk sambil menyeruput kopi yang sudah mencair itu. Arif keluar dari ruangannya dengan berkas di genggamannya. Pria berkulit putih itu segera menyerahkan berkas kepada Mala.

"Jangan lupa laporannya kamu antar ke ruangan saya sebelum break jam 3 nanti, ya." Arif berpesan dengan wajah yang sedikit berbeda. Tidak ada senyuman di sana.

"Siap, Pak!" seru Mala, dia masih tersenyum meski tak berbalas.

"Kamu, kok, masih santai? Kan, sudah jam istirahat. Ayo kita makan siang di Good Morning," tanya Arif merapatkan giginya pada Abdul yang sibuk dengan ponselnya. Sebenarnya dua berharap Mala akan menyambut ajakannya yang tidak langsung itu. Mala hanya melirik Abdul yang juga melirik dirinya yang masih belum bersiap untuk istirahat. Suasana menjadi canggung. Abdul dan Mala bingung menghadapi sikap Arif.

"Ikut, Mb-?" Belum sempat Abdul mengucapkan kalimatnya, Arif segera bertanya pada Mala.

"Kamu ikut Mbak Mala? Maya hari ini shift pagi,"

"Maaf Pak, saya hari ini lagi diet, " jawab Mala tersenyum kecil dan Arif hanya membalas dengan mengangguk pelan dan berusaha tersenyum. Abdul bergegas dari kursinya dan pergi bersama Arif.

"Kirim salam aja sama Maya, Pak!" seru Mala. Arif berbalik dan tersenyum simpul.

Tiba-tiba saja hati Mala menjadi tidak tenang. Terasa semakin canggung. Ada sesuatu yang hilang hari ini dari Arif. Sepertinya dia masih memikirkan beberapa pekerjaan pikir Mala. Wanita berambut sebahu itu merebahkan tubuhnya di sandaran kursi. Terlintas wajah Tyo.

"Apa gue yang egois?" pikirnya.

Kali ini es kopi tidak bekerja dengan baik untuk menenangkan pikirannya. Dia segera menuju musala saat azan baru saja berkumandang. Meraih mukena putih itu setelah berwudu. Dia sungguh berharap kali ini Tuhan akan segera membantunya memutuskan hal ini dengan benar.

Tidak seperti di masa lalu. Dia kehilangan segalanya. Pertama, dia menyesali keputusannya yang begitu cepat untuk melepas 'dia'. Seseorang yang pernah begitu berharga. Mala harus melepaskannya untuk seseorang yang jauh lebih berharga. Mama. Siapa yang tidak akan memilih untuk membahagiakan ibunya sendiri? Meski harus bertaruh kehilangan seseorang.

Pertemuan dengan Tyo, menyingkirkan rasa bersalah yang bergerumul dalam dadanya. Mereka berbagi cerita yang sama tentang hidup ini. Tentang cinta yang hanya semu belaka. Tentang hidup yang terus-menerus memaksa mereka berdiri tegak menahan air mata. Mereka baru paham, dunia memang bekerja seperti itu. Jika terus merengek kesakitan, hanya akan terus terluka. Maka mulai saat itu mereka saling menguatkan untuk sama-sama bertahan.

Pada akhirnya, Tyo pun lebih memilih pergi tanpa alasan jelas. Sekali lagi Mala ditinggalkan. Dia tidak berusaha untuk mencari Tyo. Ada sedikit sesal. Sedikit rasa kecewa, dan banyak rasa marah. Mala harus menyingkirkan semua perasaan itu. Saat itu mama lebih membutuhkan senyuman Mala. Senyuman itu kekuatan untuk mama bisa melewati masa kritis di rumah sakit. Tentu saja Tuhan lebih tahu, menyelamatkan mama dengan mengambilnya dari sisi Mala adalah yang terbaik. Tuhan ingin membanting Mala agar dia menjadi lebih kuat lagi.

DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang