COLD BREW

293 92 4
                                    


Tiba-tiba luka yang lama dia pendam memaksa keluar dan meledak seketika. Tetapi, tidak membunuhnya saat itu juga.

*****

"Makasih, Kak. Lo udah rencanain ini, emang lo yang paling PER..HA..TIAN!" seru Abdul sambil melirik Arif.

"Biasa aja kalee!" Arif membalas dengan sinis.

"Walaupun kalau soal cinta, lo yang paling batu," tambah Abdul. Dahi Mala hanya mengerut kecil.

"Nggak usah sok-sokan pidato, deh. Lusa juga lo balik, kan?" ucap Maya.

"Belum tentu, gue kangen banget sama Ibu. Gue butuh banget pelukan Ibu saat ini, jadi nggak mungkin cuman dua hari," jelas Abdul.

Suasana berubah menjadi sunyi. Tidak ada yang bersuara. Seperti tengah malam di pinggiran danau. Hanya ada gemercik air yang datang dan pergi. Pilu. Baik Mala, Maya atau Tyo sudah tidak bisa lagi memeluk Ibu mereka. Terlalu jauh untuk tergapai. Terlalu banyak rindu yang dipendam. Tidak terasa bertahun terlewati tanpa malaikat berwujud perempuan tua di sisi mereka. Sudah pasti Mala yang paling terluka. Sesak. Tak terkatakan lagi perihnya.

"Lo bener, Kak, nggak semua hal bisa kita terima dengan mudah, pasti ada prosesnya. Saat ini gue berusaha untuk melewati proses itu. Tapi, gue nggak bisa menghadapi itu sendiri," ucap Abdul memandang Mala. Lalu menggenggam tangannya.

"Gue butuh Ibu Wid, Ibu yang udah merawat gue sejak usia 7 hari sampai akhirnya dibawa kabur sama Mas Arif waktu 15 tahun," tambah Abdul lagi. Arif langsung memisahkan tangannya dari tangan Mala.

"Lo yang selalu ngikutin gue! Ibu aja sampai nangis berhari-hari," sambar Arif.

"Karena gue pengen buktiin ke Ibu dan semua anak panti, kalau gue bisa buat Ibu bangga. Kita berdua, bisa jadi orang yang sukses dan membahagiakan dia dengan impian yang kita capai. Walaupun bukan Ibu yang melahirkan kita. Tapi.., dia selalu menjadi Ibu yang terbaik sedunia." Abdul terbata pada kalimat terakhirnya.

Mendengar setiap kalimat yang diucapkan Abdul, mata Maya mulai berkaca dia menyembunyikan wajahnya di balik punggung Tyo. Mala, Tyo dan Arif tetap memasang wajah senyum agar Abdul tidak merasa sedih. Semua makanan di atas meja diakhiri dengan piring kosong dan perut kenyang. Canda dan tawa itu pun mengantarkan kepergian Abdul menuju kota Semarang. Untuk memeluk Ibu.

******

Arif pulang ke rumah dengan kelegaan. Meskipun segala sesuatunya tidak seperti apa yang dia bayangkan sebelumnya. Mala benar-benar menolak lamaran pertamanya. Tetapi, perempuan yang dicintainya itu punya alasan yang membuatnya mengerti bahwa cinta itu harus sabar.

Di atas ranjangnya yang berwarna cokelat tua itu Arif mencampakkan tubuhnya. Lelah. Bukan tubuhnya, melainkan hatinya. Mengingat setiap apa yang telah terjadi. Yang telah terlewati. Kini dia sudah berada di sini. Sudah tidak ada luka. Rasa takut. Apalagi berpikir untuk mundur. Semua itu lenyap termakan oleh waktu saat bahagia bersama Mala. Seberapa banyak waktu, bahkan hanya lima menit sekali pun. Tetap keindahan di matanya. Rindu Ibu. Tentu saja, sama seperti Abdul. Dia mencari ponsel yang dicampakkan entah ke mana. Lalu mencari kontak dan melakukan panggilan. Ibu Peri.

Sama seperti Mala. Dia mengaduk kopi itu hingga dingin. Pikirannya berputar seperti adukan sendok kecil itu. Terlintas apa yang diucapkan Mala padanya tadi sore.

"Aku nggak bisa, Mas," ucap Mala. Tangan Arif masih menggenggam tangannya.

"Kamu nggak punya perasaan yang sama seperti aku, La?" tanya Arif. Kedua bola matanya menatap kedalaman mata Mala. Beberapa saat Mala mengalihkan pandangannya. Bibirnya sibuk mengatur kata tetapi, tidak ada satupun yang terucap. Perempuan itu menatap matanya sekali lagi.

DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang