COFFEE

285 91 5
                                    

"Cinta memang begitu, kadang dia menampakkan bayang harapan yang manis untuk bisa bertahan. Tetapi, akhirnya kenyataan pahit yang harus ditelan."

***

Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata kecelakaan tempo lalu benar sesuatu yang disengaja. Mau bagaimana pun, seseorang yang Arif kenal terlibat di dalamnya. Begitu pula pemuda bertubuh besar itu. Dia tersangka utamanya. Abdul geram melihat tatapan tajamnya yang sama sekali tidak ada penyesalan. Sudah dipastikan dia akan segera hidup di balik jeruji.
"Lo sama sekali nggak ada rasa bersalah, sebenarnya lo iblis berkedok manusia atau manusia yang berkedok iblis?" Abdul mengernyit menatap wajah itu. Api yang kian membara dalamnya tertahan saat Mala menggenggam tangannya. Pemuda itu sama sekali tidak menjawab.
"Apa pun maksud dibalik perbuatan lo itu, semoga setelah ini lo paham apa arti sebuah menjadi seorang manusia, orang yang berusaha lo jahatin, udah maafin dan minta hukuman lo diringankan." Mala dan Abdul bergegas pergi meninggalkan lelaki itu di balik jeruji besi.
"Maafkan saya," ucap bibir lelaki membuat langkah mereka terhenti. Tetapi, sungguh tidak sudi untuk melihat wajahnyanya lagi.
Setelah dari kantor polisi, Abdul kembali ke kantor karena benar-benar disibukkan dengan pekerjaan Arif. Masalah keuangan, sumber daya manusia, pemasaran, operasional, sampai administrasi. Sementara, kini Mala melaksanakan tugas Abdul. Mereka harus pulang lebih lambat dari biasanya. Meski begitu, hal ini membuat jam di dinding terasa cepat berputar. Setiap jam 9 malam mereka baru sempat mengunjungi Arif yang selalu ditemani Maya yang harus mengambil shift malam untuk bekerja dan bolos setiap mata kuliah sesi kedua

***
Arif baru saja selesai makan malam. Maya memberi beberapa obat yang harus dia teguk. Beberapa saat kemudian, perawat menghampiri untuk mengecek tekanan darahnya. Perawat berhijab itu memberi tahu, besok Arif sudah boleh pulang. Kondisi luka di kepalanya sudah membaik. Hanya perlu istirahat, minum obat dan sudah bisa perawatan di rumah.

"Pasti Kak Mala seneng banget dengernya, and finally gue udah bisa resign jadi perawat lo," senang Maya.

"Jadi selama ini lo nggak ikhlas?" tanya Arif dengan nada sinis.

"Kan, yang namanya ikhlas nggak perlu disebut-sebut. Yang penting cair," balas Maya.

"Sama aja lo kayak Abdul," ucap Arif sambil meraih ponsel di samping kasurnya.

"Gue juga adek lo, kan?" tanya Maya. Pertanyaan yang selama ini selalu dia tanyakan tetapi, jawaban Arif selalu sama.

"Bukan," jawab Arif santai.

"Jahat banget, sih." Maya membereskan bekas piring makan Arif tadi. Wajahnya berubah muram. Sementara Arif berkali-kali mengecek ponselnya. Belum ada jawaban dari Mala. Maya kembali dan mengemas beberapa pakaian Arif dengan cepat.

"Tyo nggak pernah mampir?" tanya Arif tiba-tiba.

"Dia datang, kok," jawab Maya sambil mengemas tidak melihat wajah Arif.

"Kapan?"

"Beberapa kali. Waktu lo tidur!" Jawaban Maya dengan nada yang masih kesal.

"Lo udah jadian sama dia?" Pertanyaan Arif tidak dapat Maya jawab. Maya memandang wajah Arif. Perempuan itu membuang rasa kesalnya seketika. Lalu duduk di samping kasur berwarna biru itu.

"Gue mau tanya pendapat lo," ucap Maya ragu-ragu.

"Silakan," balas Arif.

"Kalau ternyata, Kak Mala belum bener-bener move on, lo gimana?”
"Dia udah baik-baik aja, kok,"

"Kalau..,kalau belum.., dengerin dong kalimat gue,"

"Gue bakal berusaha membantu dia menyembuhkan segala lukanya. Nggak perlu maksa. Karena kalau dipaksa, dia bisa tambah terluka. Memang butuh waktu. Jadi, harus sabar," jelas Arif.

"Cinta itu sabar, May," tambahnya lagi.

"Gue tahu kalimat terakhir itu, petuah Kak Mala," balas Maya. Mereka tertawa kecil.

Di balik tawa itu, masih ada seribu kekhawatiran di dalam dada mereka. Takut akan kalah menghadapi kenyataan. Takut kalah bertarung dengan harapan yang suka sekali berbohong. Meskipun begitu, dua orang yang saling mengenal di rumah sakit itu, berusaha untuk meyakini sebuah rasa di hati mereka. Cinta. Cinta memang begitu, kadang dia menampakkan bayang harapan yang manis untuk bisa bertahan.

Tetapi, akhirnya kenyataan pahit yang harus ditelan. Seperti empat cangkir kopi yang kini ada di genggaman Abdul. Bersama Mala, dia sudah sampai di depan kamar Arif. Melihat Arif dan Maya yang sedang bersenda gurau, keduanya merasa tenang. Arif sudah membaik. Maya segera memberi tahu besok Arif sudah bisa pulang.

“Alhamdulillah,” kompak Mala dan Abdul.
Mereka tidak mau membahas tentang seseorang dibalik kecelakaan itu. Om Faisal sudah mengurusnya dan meminta agar Arif tidak pernah tahu. Apalagi perkerjaan yang menumpuk di kantor hingga membuat goyah keuangan perusahaan. Abdul segera menyelesaikan apa yang dimulai Maya tadi. Mala tentu saja langsung menggusur kedudukan Maya di kursi samping kasur Arif.

“Mulaaai deh,” goda Maya.

“Kangen tahu! Udah berapa jam coba? Sejak jam 1 kemarin malam,”

“Idiih nggak sampai dua belas jam juga!” sambar Abdul.

“Dua puluh jam empat belas menit tiga puluh satu detik!” seru Mala.

“Ceritanya udah jadian, nih? Traktirannya mana??!” Maya mengomel. Arif dan Mala hanya saling menatap penuh rona merah muda di wajah mereka. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar.

“Mas Tyo!” seru Maya tersenyum.

Dia langsung berlari menghampiri Tyo dan menggandeng tangan besar itu untuk segera masuk. Arif memandang Maya yang kini jauh lebih tenang. Mereka duduk di sofa menikmati kopi yang Abdul bawa. Arif sendiri masih duduk di atas kursi roda di samping Mala.

Saat sedang bercerita tentang masa kecil mereka, tiba-tiba ponsel Abdul berdering. Panggilan itu telepon dari Mbak Kiki. Abdul segera menjauh dari mereka. Dia berdiri di sudut ruangan menghadap jendela. Suaranya terdengar parau. Sesekali dia terdengar menahan tangis. Setelah menutup telepon itu tiba-tiba wajah Abdul berubah. Hilanglah rasa tenang beberapa saat lalu, kini kembali rasa khawatir memenuhi wajahnya. Dia terduduk lemas di samping Tyo.

“Kenapa muka lo begitu?” tanya Arif.
“Mbak Kiki, besok mau pulang kampung. Abah minta dia bertemu dengan calon ... suaminya,” jawab Abdul pelan. Dia segera meneguk kopi yang masih panas itu.
“Uhuk..uhuk..” Abdul tersedak. Lidahnya terbakar. Sama seperti hatinya saat ini.
“Kopi, kalau diminum buru-buru lidah lo terbakar, tapi kalo diminum sedikit-sedikit, lo juga nggak bisa menikmati rasa kopi itu sendiri,” ucap Mala.
“Terus gimana, Kak?” tanya Maya tidak memahami maksud Mala.
“Diminum pelan-pelan, sampai lo bisa ngerasain nikmatnya kopi itu. Dari rasa manis sampai ke pahitnya. Lo terlalu lama buat Mbak Kiki nunggu kepastian, ya udah jelas dia lebih memilih pilihan terbaik dari Abah, lo nggak jelas,” jelas Mala.
"Lo tahu ini, Kak?" tanya Abdul dan Mala mengangguk. Abdul berdiri dan keluar kamar. Mala mengejarnya. Mana mungkin membiarkan Abdul terluka sendirian. Abdul berdiri di depan jendela yang terbuka. Mala menepuk pundaknya pelan.
"Gue.. gue nggak mau melangkahi Mas Arif. Sampai gue tahu pasti kalau kalian  benar-benar yakin sama perasaan kalian. Gue nggak mau meninggalkan Mas Arif sendirian. Harus ada lo di sampingnya," jelas Abdul.
"Lo cinta sama Mas Arif, Kak?" tanya Abdul. Mala mengangguk pelan.
"Jawab yang lantang, dong!" seru Abdul dengan nada tinggi.
"IYA!" bentak Mala.
"Jadi, udah saatnya lo memperjuangkan cinta lo sendiri, Dul. Gue, dan kita semua bakal dukung lo sampai Mbak Kiki, jatuh ke pelukan lo," jelas Mala menghibur Abdul yang hanya bisa tersenyum dengan sisa remahan harapan yang berjatuhan di lantai.

Hatinya remuk sekali lagi. Setelah sekian lama dia lupa rasanya patah hati. Ternyata, rasanya masih sakit, meski bukan yang pertama kali. Terulang sekali lagi dengan perempuan yang berbeda. Ya, benar. Abdul pula korban patah hati cinta pertama. Satu hal yang membuatnya menjadi begitu dekat dengan Mala. Mereka memiliki luka yang sama. Mereka ingin kembali membangun mimpi yang sama. Menemukan bahagia sama.

“Gue nggak tahu apa yang lebih menyedihkan lagi, dibanding melihat orang yang lo sayang dalam keadaan susah, dan lo nggak bisa berbuat apa-apa, disaat itu lo menjadi manusia paling menyedihkan di seluruh dunia,” keluh Abdul.
“Emang siapa yang susah, Dul?” tanya Mala.

“Mas Arif belum menemukan kebahagiaannya, Kak. Lo juga, kalian sama-sama ragu dengan perasaan kalian. Sama-sama takut untuk memulai. Terlalu khawatir sama apa yang terjadi besok bakal terulang lagi, seperti mimpi buruk yang udah pernah terjadi,” balas mulai menaikkan nada suaranya.

“Gue lagi berusaha, Dul. Gue nggak pernah seyakin ini setelah apa yang terjadi,”
“Apa yang udah terjadi, Kak? Udahlah! Capek, kan! Di buang aja ke tong sampah!” Abdul semakin menaikkan suaranya
“Udah! Udah gue BUANG!” Mala membalas lebih tegas. Mendengar itu, Abdul mulai menghela napas.
“Jangan sampek lo patah lagi, lo harus kasih tahu gue. Gue bakal jadi orang pertama yang bakal membuat lo bangkit lagi,” balas Abdul mulai menurunkan nada suaranya.
Mendengar kata-kata Abdul, Mala hanya bisa menatapnya penuh binar-binar yang terpancar dari kedua bola mata hitamnya. Dia ingin tersenyum tetapi, nanti Abdul akan mengejeknya. Kadang kala Abdul yang sering merengek, membuat Mala begitu terusik.

Tetapi, tidak saat ini. Abdul sedang menjadi adik pelindung yang menambah kekuatan Mala untuk bisa percaya lagi tentang satu ketulusan. Akhirnya Mala tidak dapat menahan keinginannya untuk meraih tubuh Abdul. Lelaki itu kini bisa merasa tenang. Dia mengelus rambut Mala yang sudah mulai memanjang itu.


***

TERIMA KASIH RAANGERS, SUDAH MEMBACA EPISODE INI, PANTAU TERUS YAA✌️

Jika berkenan mohon kritik dan saran membangun ☺️ ambil sisi positif dan buang negatifnya ya😂 semoga kalian terhibur membaca kisah ini.

Follow akun penulis Storial/ Ig/ Twitter @raakrtk ✌️

DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang