DESSERT

316 101 6
                                    

"Kamu, Mas. Kamu orangnya. Maafin aku "

***

Sudah 30 menit Abdul menemani malam di sudut kafe itu. Mbak Kiki tiba-tiba hadir di antara mereka. Seperti biasa dia selalu menebar senyuman. Perempuan rambut sebahu itu duduk di samping Abdul.

"Maaf ya, Bang soalnya tadi ada sedikit masalah di kantin jadi harus balik lagi ke kantin," ucap mbak Kiki.

"Kenapa Mbak?" tanya Mala.

"Itu Mbak, ada makanan yang disemutin terus mbak-mbaknya komplain, heboh banget. Ya, jadi saya konfirmasi lagi ke produsennya supaya besok nggak terulang lagi," jawab mbak Kiki.

"Tapi semua udah baik-baik aja, kan?" tanya Mala lagi.

"Iya Mbak, kebetulan tadi juga ada Pak Arif, jadi pada langsung bubar," jawab mbak Kiki tertawa kecil.

Suasana masih terasa canggung. Mbak Kiki melirik Abdul sebentar, lalu melirik Mala beberapa saat. Keduanya masih belum ada yang ingin mengeluarkan kata-kata. Mbak Kiki menahan diri untuk memulai hal yang sudah dia dan Abdul berbicarakan malam tadi.

"Maaf, Mbak sebelumnya, tapi, boleh nggak saya ngomong tentang hal ini, soal saya dan Bang Abdul?" ucap mbak Kiki dengan wajah sedikit takut. Mala mengangguk pelan.

"Saat ini saya dan Bang Abdul udah merencanakan pertemuan dengan Abah, tapi, Bang Abdul masih belum ada langkah yang pasti. Jadi Abah ragu sama keputusan Bang Abdul, sementara dari dia sendiri belum bisa melangkah karena-" ucap mbak Kiki dipotong Mala.

"Saya dan Mas Arif yang belum jelas?" tanya Mala.

"Maaf, Mbak saya tahu ini bukan urusan saya, tapi-," ucap Kiki lagi, dengan wajah yang semakin bingung.

"Gimana, Bang?" tanya Kiki pelan melihat Abdul yang masih menatap Mala dengan serius.

Mala mengusap dahinya pelan. Segala sesuatunya menjadi rumit dan merujuk kepada dirinya. Seakan semua keputusan berada di tangannya. Sementara di saat hatinya sudah mulai membiarkan Arif masuk kini Mala kembali tersesat. Dia harus memutuskan untuk memulai hidup yang baru. Kisah baru. Sebenarnya dia belum benar-benar siap untuk hal satu ini.

"Saya tahu, untuk memulai suatu hal harus merelakan kenangan lama. Meski nggak bisa kembali dan membuat awal yang baru, saya yakin Mbak bisa memulai lagi dari sekarang dan membuat akhir cerita yang benar-benar baru. Bahagia namanya." Kalimat Kiki terdengar sederhana namun menyentuh relung jiwa Mala dan mengedor pintu yang ada dalam pikirannya.

"Gue nggak mau lo berpikir gue dan Mbak Kiki berkorban untuk lo dan Mas Arif. Tapi, gue pengen lo benar-benar memikirkan hal ini matang-matang, jangan sampai terpaksa atau pada akhirnya sakit hati. Makasih banget sama Kiki mau memahami itu seperti yang lo bilang kalau cinta itu harus sabar," jelas Abdul. Pria itu menggenggam tangan Mala erat. Begitu pula Kiki. Dari kedua tangan itu mengalir kekuatan yang membuat Mala ingin berani melangkah ke tempat yang tepat.

Ponsel Abdul berdering mendapat pesan dari Bang Ardi soal tiket pesawat yang akan ditumpangin dua visitor dari Lampung ternyata terkendala karena cuaca dan harus mengkonfirmasi jadwal pulang keberangkatan berikutnya.

"Mbak, kita langsung aja ke kantornya Bang Ardi ya soalnya tiketnya harus dijadwal ulang," ucap Abdul pada Kiki.

"Tiket siapa?" tanya Mala.

"Visitor dari Lampung kemaren, harusnya mereka berangkat besok, tapi tadi malam pesawatnya nggak jadi terbang jadi bang Ardi minta tolong gue harus dijadwal ulang," jawab Abdul. Pikiran Mala langsung saja terguncang. Dia. Ya, dia ternyata benar-benar segera pergi. Takdir sungguh ingin memukulnya agar Mala segera sadar. Entah apa yang akan dilakukannya.

DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang