Medan, 2013
Air dari langit menyentuh kulit pergelangan tangan gadis itu. Setetes. Kemudian dua tetes. Lalu, semakin banyak air yang menetes. Dia mengadah ke langit yang masih cerah. Bingung. Langit cerah, tapi meneteskan air mata. Apa mungkin air mata bahagia? Sementara, pemuda di depannya terfokus pada jalanan yang ramai. Siswa-siswi SMA Negeri 51, khususnya kelas IPA sedang berhamburan di jalanan. Mereka sibuk mencari narasumber untuk materi Biologi.
Mala dan Erwin satu dari para siswa itu. Mala sudah menyelesaikan wawancaranya dengan salah satu peneliti. Erwin sendiri masih santai menemani kekasihnya daripada sibuk mencari narasumber.
“Emang Nana nggak marah kamu sibuk nganterin aku tapi nggak ikut mereka cari narasumber?” tanya gadis berambut panjang itu dari belakang punggung Erwin.
“Tugas aku cuma satu,” balas Erwin.
“Apa?”
“Mencintaimu... Ciyaaah..!” goda pemuda bertubuh besar itu.Dia memutar gas pada stang motornya. Mereka melaju pada kecepatan hampir 60 kilo meter per jam. Hujan sudah turun deras. Terpaksa mereka berhenti di halte yang sudah ramai siswa SMA.
Mala segera turun dan berteduh. Erwin membuka jaket abu-abunya dan mengenakannya pada tubuh Mala yang sudah basah. Mala hanya memandangi lelaki itu tanpa berkedip. Dia tersenyum dalam hati. Lalu, lelaki yang itu membuka seragam putihnya. Lalu meletakkannya di jok motor kemudian dia mengambil jaket abu-abu gelap. Dia kembali berteduh ke halte dan memakai jaket tadi.
“Selalu siap sedia, ya!” ucap Mala yang sedari tadi sudah memandangi setiap pergerakan Erwin.
“Namanya juga anak nongkrong harus sedia cadangan. Jadi, kalau mau nongki nggak harus pulang dulu, nggak pake mandi, langsung ganti aja, cusss!” seru Erwin tertawa kecil.
Abel tiba-tiba menarik lengan Mala dan membisikkan kata-kata yang sebenernya Mala tidak paham. Mereka berlari menuju gerobak abang gorengan. Teman-teman yang lain, mengikuti mereka. Erwin pun ikut menyusul.
“Tahu goreng 5, bakwan 5..,” ucap Abel pada abang gorengan.
“Tambah lagi tahunya, Bel. Bakwannya jadi 10, emang kau aja yang mau makan,” sambar Marlin dengan logat Bataknya.
“Karena aku perhatian sama kelen semua, makanya aku mau campur-campur semua gorengan Abang goreng ini, aku mau beli lima puluh ribu! Bilang apa kelen semua sama aku?!” cerocos gadis berambut cokelat panjang itu.
“Malah beli gorengan, mampir di warung sop Wak Amin aja,” ucap Erwin.
“Udah ditraktirin banyak minta lagi!” sewot Abel.
“Masa pacar aku dikasih junk food! Makanan yang bergizi dong, biar tetep ranking satu nggak kayak kau, jogal !” seru Erwin.
“Kau yang jogal! Latihan futsal terus, kalah telak terus!” balas Abel tertawa puas.Teman-teman mengejek Erwin yang super bucin. Mala hanya tersenyum kecil. Tetapi, di dalam hatinya, dia meloncat kegirangan. Setelah memborong gorengan, mereka berlarian ke warung Wak Amin. Seporsi sop daging untuk Mala dan Erwin, cukup menghangatkan tubuh mereka. Tidak terasa sudah pukul 17:30, hujan belum kunjung reda. Hal itu membuat mereka menikmati suasana hangat bersama. Sepertinya langit ikut menikmati, hingga enggan menghentikan tetesan hujan.
“Udah mau Magrib, nih. Kita terobos aja, ya, sayang,” ucap Erwin mulai khawatir.
Dia sudah mendapati pesan singkat dari Bunda. Mala menggangguk cepat dan mereka bergegas pulang walau harus kebasahan.
Sesampainya di teras rumah Mala, Erwin harus bergegas pulang. Tetapi, dia tidak pernah lupa untuk menemui Mama terlebih dahulu. Mama Mala sedang memasak di dapur. Erwin membuka sepatu dan memasuki rumah. Dia meraih tangan Mama dan menempelkan pada dahinya yang sudah kedinginan. Beberapa saat lelaki itu bergegas menuju motornya yang terparkir di depan pagar putih itu.
“Ayah belum pulang, ya?” bisik Erwin dan Mala membalas dengan wajah sendu.
Tangan besar itu mengelus rambut Mala yang basah. Tatapan matanya cukup memberi Mala kekuatan untuk tetap tersenyum di balik tanya yang begitu besar. Mengapa Ayah pergi tanpa kabar? Tidak meninggalkan pesan, dan membuat Mama penuh kekhawatiran hingga lupa makan dan meminum obatnya. Kehadiran Erwin saat ini cukup membuat Mala menyingkirkan segala prasangka buruk pada Ayah. Mala segera kembali menutup pagar.
“Langsung mandi, abis Magrib aku telepon, ya,” ucap Erwin. Lelaki itu kembali mengingatkan pada Mala. Dengan senyuman dia berlalu. Mala hanya memandangi hingga lelaki itu benar-benar tidak lagi menampakkan bayangan. Di sisi lain dia berharap Ayah kembali pulang setelah dua hari satu malam belum menginjakkan kaki ke rumah.
***
Tyo mengejar Mala hanya sampai depan toilet. Dia juga mengetahui wajah itu. Jantungnya pun ikut berdebar. Kekhawatiran itu kembali datang. Seperti angin yang kencang yang akan segera merontokkan daun-daun hingga menumbangkan pepohonan. Kali ini, Mala mungkin akan segera tumbang. Beberapa saat kemudian Tyo mendengar suara rintihan. Suara itu datang pergi. Mungkin itu hanya ada dalam pikirannya.
Lalu dia menempelkan telinga di depan pintu. Benar saja, itu suara tangisan. Mala tersedu-sedu di balik bilik toilet. Jantungnya berdebar-debar. Tetapi, sangat terasa sakitnya hingga menusuk ke dalam dadanya yang berlubang. Luka itu kembali menganga. Ponsel Mala terus berdering. Arif sudah menunggunya di depan gerbang. Begitu pula dengan ponsel Tyo. Beberapa kali Abdul meneleponnya. Dia hanya bisa menggenggam ponsel itu sambil menggigit bibirnya.
“Maaf, Mas, saya mau masuk,” ucap seorang wanita berhijab pada Tyo yang masih berdiri tegak di depan pintu toilet.
“Toiletnya rusak, Mbak. Tadi temen saya baru masuk, pakai toilet yang di ujung lorong sebelah kanan aja, Mbak.” Tyo berusaha mengalihkan, sementara Mala masih belum keluar. Dia mengangkat telepon dari Abdul.
“Mala nggak bisa ikut malam ini, Dul. Soalnya tiba-tiba sakit perut, sampaikan ke Pak Arif, yo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓
RomanceIG/TIKTOK: @raakrtk SUDAH TERBIT (ORDER DI TOKO SHOPEE: PENERBIT.LOVRINZOFFICIAL) **** Batam, 02 Juli 2022 Setelah kehilangan yang melubangi hatinya, pertemuan tak terduga mengubah hari-hari Mala yang menyedihkan. Perempuan yang pertama kali dipata...