DIMSUM

500 220 56
                                    

Terkadang kenangan bukan hanya untuk disimpan hingga akhirnya menyisakan debu. Tetapi, ia bisa menjadi kekuatan untuk bisa bertahan dihidup selanjutnya.

***

Azan subuh sudah berkumandang di masjid dekat rumah Mala. Setelah menunaikan 2 rakaat Mala bergegas menyiapkan dimsum yang akan segera dijemput oleh mbak Kiki seperti biasa. Mbak Kiki yang akan mengantarkan dimsum dengan berbagai rasa itu ke kantin perusahaan. Mala hanya mengandalkan bang Miki, tetangga sebelah rumahnya yang sudah menjadi langganan ojek untuk berangkat kerja. Sehingga Mala tidak bisa membawa dua kontainer besar itu dengan motor bang Miki.

"Assalamualaikum," salam mbak Kiki dari balik pintu.

"Wa'alaikumussalam," jawab Mala dan bingung melihat mbak Kiki yang datang sendiri.

"Pak De mana, Mbak?" tanya Mala.

"Lagi di kampung, ini sama Mamas, Mbak." Mbak Kiki malu-malu menjawabnya.

"Oh... sama Mas Abdul," teriak Kumala.

"Berisik!" seru Abdul yang melihat dari kaca spion van putih yang terparkir di depan pagarnya.

"Hari ini 200pcs aja ya, Mbak udangnya juga kosong. Soalnya kemarin aku belum sempat belanja,"

"Yah, nggak ada dimsum udang. Kasian Pak Arif hari ini nggak bisa sarapan kesukaannya,"

"Oh ya? Pak Arif suka dimsum udang ya Mbak?" Kaget Mala dengan wajah sumringah.

"Banget, Mbak. Nggak pernah absen, kalau kosong biasanya dia cuma beli roti isi." Ucapan mbak Kiki pun membuat Mala diam-diam tersipu malu. Sudah pasti wanita yang masih berpiyama itu tersenyum lebar.

"Kalau gitu aku permisi dulu ya, Mbak." Mbak Kiki lekas meraih dua kontainer di hadapannya itu. Mala pun langsung berteriak sambil tertawa kecil.

"Mau dibantuin nggak, tuh, sama Mas Abdul, berat, nih!!" seru Mala dengan suara nyaring.

"Siaaap!!" teriak Abdul dan bergegas turun dari mobil. Dengan sigap pria yang memakai kaos oblong itu merebut kontainer dari tangan mbak Kiki. Melihat Abdul yang begitu bersemangat, Mala turut bahagia.

"Ciyeeh.., ciyeeh..!" Godaan Mala membuat wajah Abdul merah padam.

Teringat saat Abdul berkisah tentang pertama kali jantungnya berdebar. Melihat mbak Kiki yang begitu kuat dan tegar menjalani hidup di kota perantauan ini. Waktu itu, Abdul mencari penjaga kantin setelah Bu Marni memilih kembali ke kampung halamannya. Wanita berusia 52 tahun itu, merekomendasikan mbak Kiki sebagai penggantinya. Setelah bekerja selama 2 minggu Abdul melihat kinerja dan kesigapan mbak Kiki dalam bekerja.

Dia selalu ramah dan tersenyum kepada siapapun dan dalam keadaan apapun.
Sore itu setelah menerima telepon dari kampung tiba-tiba saja, wajahnya bermuram durja. Namun, selang beberapa detik saja, dia kembali melayani para karyawan termasuk Abdul dengan senyuman tulus bahagia. Pukul 3 sore itu, mbak Kiki berganti shift dengan Saleh. Abdul menghampirinya ketika dia menuju parkiran motor.

"Ada apa mas?" tanya wanita bertubuh gembul itu.

"Mbak Kiki baik-baik aja?" tanya Abdul.

"Iya, saya nggak apa-apa kok. Emangnya saya keliatan nggak baik-baik aja ya, Mas?"

"Saya melihat tadi Mbak kayak sedih gitu. Habis menerima telepon, kenapa Mbak?"

"Iya Mas, Bapak saya sakit di kampung kangen saya katanya. Saya belum juga sebulan di sini masa iya saya balik ke kampung." Mbak Kiki tetap tersenyum.

"Sabar ya Mbak. Sakitnya parah?"

"Enggak kok Mas, cuma demam malarindu." Mbak Kiki masih menjawab dengan candanya yang receh.

DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang