Chapter 1 - Tanggung Jawab

125 8 0
                                    

Beban di pundak saja kupikul dengan sukarela, lalu mengapa menjagamu menjadi tanggung jawab yang sulit kulakukan wahai pemilik jiwa?
~

Adelard Carlin sudah terbiasa hidup sendiri semenjak ia kuliah. Dan baru sekarang ia merutuk kebiasaannya yang suka mengerjakan tugas di manapun tempat yang membuatnya nyaman, hingga ia melupakan di manakah terakhir ia menyimpan dokumen penting yang harus ia bawa untuk meeting satu jam lagi.

Dasi yang bertengger di bahunya belum ia pasangkan di tempat seharusnya. Kemeja yang seharusnya sudah dimasukkan ke dalam celananya pun masih belum terkancing dengan sempurna. Dan gerutuan yang mengiringi langkahnya saat mencari dokumen benar-benar membuat Anin menggeram dalam diamnya. Mencoba bersabar, menganggap gerutuan sang kakak sebagai pengiring dalam acara memasaknya.

“Nin, lo lihat dokumen gua yang mapnya warna biru enggak?” teriak Ade dari ruang kerjanya, yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat yang tengah dipijakinya.

Panggilan sang kakak pun tak ia hiraukan. Ia tetap melanjutkan kegiatannya, menaruh piring yang sudah berisi nasi goreng di atas meja. Lalu beranjak menyeduh teh, juga segelas kopi untuk dirinya dan sang kakak.

“Nin, denger enggak sih tadi gua tanya apa?” tanya sang kakak sembari mendekati Anin yang juga tak segera membalikkan badannya.

“Nin ....”

Anin langsung membalikkan badannya, meletakkan kedua gelas di atas meja, lalu menatap sang kakak yang tengah menatapnya begitu datar. “Bisa diubah enggak kebiasaan nugasnya di sembarang tempat? Kalau ada yang kelupaan gini siapa yang repot, aku ikutan kena juga kan,” gerutu Anin sembari melangkahkan kakinya ke arah ruang keluarga. Yang tentu diikuti Ade dengan kening berkerut.

“Nih, masih muda mudah banget lupa kayak orang tua. Apa emang udah fakta si, kak?” tanya Anin sembari mengangsurkan dokumen yang dimaksud Ade setelah mengambilnya dari atas meja, tempat di mana ia menemukan beberapa dokumen yang ia duga menjadi teman sang kakak malam kemarin.

Tangan kanan Ade sontak mendarat di puncak kepala Anin, mengacaknya pelan, hingga membuat kerudung Anin menjadi berantakan. “Makasih adikku yang paling cantik,” ucapnya dengan senyum menawan yang membuat Anin melenguh pelan, merasa waktunya memakai kerudung terbuang secara percuma. “Tenang si, gini aja masih kelihatan kok imutnya. Btw, besok kakak mau meeting di cafemu, siapin tempat dulu yah?”

Tak tahan melihat penampilan sang kakak yang begitu berantakan, tangan Anin langsung bergerak menyimpulkan dasi sang kakak. Tentu saja setelah Ade mengancingkan semua kancingnya dengan seharusnya. “Berasa special banget yah sampai harus disiapin tempat? Dateng aja si, kalau enggak ada yang kosong, pakai ruanganku aja. Cepet siap-siap, udah siang. Nanti kakak telat loh,” peringat Anin sembari mendorong Ade untuk segera memasuki kamarnya. Yang ditanggapi Ade dengan senyuman tipis, juga acakan pelan di kepalanya yang membuat kerudungnya semakin berantakan.

“Kak!”

***

Semasa sekolah, di mana ada Anin, di situ pasti akan ada Zanna, Dalva, dan juga Esha. Lingga dan Maga tak selalu ada bersama mereka, tapi hampir sepanjang sekolahnya banyak mereka habiskan bersama empat perempuan tadi dibanding temannya yang lain. Begitu juga dengan sekarang. Selama sahabatnya tengah memiliki waktu luang, maka Anin tak akan segan untuk ikut bergabung melanjutkan reuni kemarin yang hanya mereka habiskan untuk menyantap hidangan, juga menanyakan kabar masing-masing. Mungkin karena ada Daffin, jadi mereka tidak segamblang biasanya.

“Gua kemarin pangling loh sama Daffin. Jadi tambah manly enggak sih?” tanya Zanna terkikik geli. Apalagi setelah melihat respons Dalva juga Esha yang memelotot tak percaya. “Ih beneran. Dulu kan emang udah kelihatan kerennya, sekarang jadi nambah tahu,”

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang