EPILOG

139 5 0
                                    

Anin memandang haru prosesi pernikahan yang berlangsung di hadapannya. Sebelumnya, ia tak pernah membayangkan akan menghadiri pernikahan Ruha bersama Daffin.

Tentu saja, Ruha dan Anin dulu pernah merangkai masa depan. Di mana di dalamnya Ruha mengucap janji suci satu kali dalam hidupnya untuk menjaga Anin. Tapi ternyata semesta berkata lain. Mereka berdua harus sama-sama bersanding dengan orang lain, yang terhitung masih berada di bawah atap yang sama.

"Udah rela, kan lihat Mas Ruha ngucap ijab qabul buat cewek lain?" tanya Daffin yang membuat Anin seketika mendengkus.

Menatap lelaki yang kali ini memakai batik dengan motif yang sama dengan rok lipit yang ia pakai dengan tatapan tajamnya, Anin bahkan sampai melupakan reaksi orang terdekatnya yang sempat mendengar pertanyaan Daffin. "Kalau enggak rela emang mau ngapain? Aku udah duduk di sini, pakai batik yang sama, duduk di samping kamu juga loh," ucap Anin seakan menyadarkan Daffin di mana ia berada.

Para sahabat yang berada di sampingnya pun seketika memutar bola matanya jengah. Sudah panggilannya berubah, kini mereka pun begitu tak merasa bersalah mengumbar kemesraan yang membuat orang di sekitarnya seketika terkikik geli.

"Nin, Daf, ke depan dulu yuk ikut foto," ajak sang ibunda Daffin melerai perdebatan yang mungkin akan berbuntut panjang. Membuat para sahabat Anin mengembuskan napas lega, tak harus melihat kekacauan di hari bahagia Ruha.

Memang, waktu cepat sekali berubah. Seiring Anin yang berjalan dengan Daffin, anak-anak dituntut ikhlas menerima kenyataan. Secara, sebentar lagi mereka akan betulan menjadi keluarga dua lelaki yang suka sekali merecoki hidup Anin.

Dan sepertinya Anin kini betulan bahagia. Senyum di wajahnya seperti bersinar sekarang. Di kelilingi keluarga besar Daffin yang mengapit Ruha dan sang istri, Anin pun jadi ketularan rasa bahagianya. Efek sering mengunjungi Bu Indri dengan dalih membawa Daffin pulang, ia otomatis jadi dekat dengan keluarga sang calon imam.

"Deketan sini kenapa. Takut banget lo Anin deket sama gua Daf? Gua enggak bakalan bawa kabur Anin astaga," ujar Ruha kala melihat Daffin terus menahan Anin agar tak bergeser mendekat ke arahnya.

Daffin menatap Ruha tajam. "Bukan mukhrim, enggak usah deket-deket lah.”

"Nin pinjemin dah cermin yang biasa lo bawa-bawa. Kasih lihat kalau yang bilang juga belum jadi imam lo kali," sahut Ruha santai yang mendapat respons cekikikan dari para keluarganya.

Daffin langsung menatap Ruha tak terima. Menukar posisi Anin agar berada di sebelah kirinya, sedang Ruha di sebelah kanannya. "Enak aja. Nih lihat, gua sengaja enggak bilang-bilang ke lo Mas biar lo enggak ngerusuh," ucap Daffin sembari mengangkat tangannya yang tengah menggenggan jemari Anin. Memamerkan sebuah cincin sederhana yang melingkari jari manisnya.

Ruha membelakakkan maniknya, pun dengan beberapa anggota keluarga yang kaget melihat Anin tiba-tiba memakai cincin di jari manisnya. "Heh kapan kalian lamaran? Kok gua kagak tahu? Diam-diam pasti ya lo?" tuding Ruha yang membuat Daffin tersenyum tipis.

"Heem. Emang sengaja enggak bilang-bilang. Biar nanti pas nikah kalian lebih kaget lagi," jawaban santainya itu seketika mendapat bonus jitakan di keningnya yang kali ini ditutupi rambut yang tak ia sugar ke belakang.

"Kelamaan gabung sama mereka otak lo jadi berporos ke Anin aja nih. Mana ada orang mau nikah dadakan begitu Daffin? Dipikir lo enggak punya keluarga kali makanya perlu diam-diam. Lo juga Nin, kenapa kabar baik begini malah disembunyiin coba? Tuh, kan. Kalian berdua jadi ngerusak mood di hari pernikahan gua," dumel Ruha yang sontak diberikan usapan pada lengannya oleh sang istri. Menenangkan suaminya yang masih syok mendengar pengakuan Daffin.

Melihatnya Anin langsung menyuruh Daffin mundur. "Bukan gitu Mas Ruha. Gua sama Daffin emang sengaja lamaran ngundang keluarga aja. Pas hari itu lo lagi di luar kota, udah dikasih tahu juga sama Bu Indri kalau lo enggak akan pulang. Jadilah lo keluarga terkahir yang tahu pertunangan gua," jelas Anin yang membuat Ruha langsung mengacak puncak kepala Anin.

"Udah dewasa ya sekarang Nin. Sampai berani ngambil keputusan tanpa ngasih tahu gua. Awas aja, nanti kalau sepupu gua yang satu ini berulah, ngadu aja ke gua, gua ratain deh dia."

"Kebalik lah Mas," sambar Daffin yang membuat Ruha langsung meringis. Sepertinya Daffin masih dendam perihal masa lalunya bersama Anin

"Udah ah udah, jangan dilanjutin. Kasihan tuh fotografernya nunggu kalian enggak selesai-selesai," potong sang ibunda yang membuat mereka bertiga kompak terdiam.

Memang, Anin dan Daffin sudah resmi sekarang. Hanya mengundang orang terdekatnya, supaya lebih terasa kedekatannya. Bukan untuk menyembunyikan, tapi untuk membatasi masing-masing dari diri Anin dan Daffin untuk makin menjaga diri. Mengingatkan jika kini mereka telah resmi mempunyai ikatan, yang semoga saja bisa bertahan hingga maut menjelang.

Anin sudah memaafkan Ayahnya, pun dengan Ruha yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri. Begitu juga dengan Daffin yang sudah bisa berdamai dengan keluarganya. Berkat kedatangan Anin, yang sering membuat anggota yang lain mendekat. Ingin mengenal lebih jauh siapa Anin yang sudah diajak pulang ke rumah, disaat Daffin tak pernah berniat pulang ke rumahnya setiap hari.

Dan kini mereka paham. Sejauh apapun mereka lari, menjauh dari segala masalah, lenteranya akan tetap di sini. Yang akan menuntun mereka menuju jalan keluar, yang membuat mereka tentu harus berjalan berdampingan. Mengarungi jalan baru yang kembali mempertemukan dua insan yang sedari lama ditakdirkan memiliki akhir yang sama.

Dan Anin merasa bebas sekarang. Seperti apa kata Daffin, yang selalu menuntunnya untuk melepaskan diri. Mengikhlaskan semua yang terjadi, membuat segala beban yang menbebaninya perlahan menghilang kembali ke tempatnya.

***

Akhirnya, setelah sekian lama kisah Anin Daffin sampai di ujung juga ya.

Sebenarnya, cerita ini enggak bisa dibilang fiksi sepenuhnya loh. Sebagiannya, berdasarkah kisah nyata. Yang aku alami, juga seseorang yang enggak bisa aku sebutkan namanya.

Seperti biasa, aku cuma ingin berbagi sesuatu kepada kalian. Entah itu kenangan, atau memori yang tak ingin dilihat. Adanya kenangan yang terkadang bisa menimbulkan sesuatu, juga memori tak diinginkan yang justru membuka jalan yang lain.

Ada yang tahu kenapa aku kasih judul ini Devolver?

Coba deh diingat-ingat, ke manapun Anin pergi, dia pasti akan bertemu Daffin. Dia akan kembali pada seseorang yang sejak dulu dihindarinya. Cerita mereka memang sedikit rumit. Anin yang merupakan mantan sepupu Daffin, justru berakhir menjadi teman hidupnya sendiri.

Jadi, ada yang bisa menangkap garis besar yang ingin aku sampaikan di sini? Iyah, takdir. Sejauh apapun kamu melangkah, sepintar apapun kamu menghindar, jika kamu sudah dihadapkan dengan takdirmu ... kamu pasti akan menemuinya siap tidak siap.

Yah, cinta memang bukan segalanya. Tapi jika kamu menjalankan sesuatu diiringi cinta, semuanya akan lebih mudah.

Mencintai diri sendiri itu keharusan. Mendapat cinta dari orang tua dan keluarga adalah bagian dari kasih sayang. Dan mendapat cinta dari seorang lelaki yang menjadikanmu ratu adalah sebuah keberuntungan.

So, terima kasih untuk yang sudah berkenan singgah. Aku akan menunggu keantusiasan kalian di ceritaku yang lain. See you di next ceritaku kawan.

Aku harap, kalian akan selalu bahagia dengan kehidupan yang sedang kalian jalani.

Salam Sayang,
Lanti

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang