Chapter 36 - Para Pendatang

29 3 0
                                    

Yang datang tak seharusnya kaupersilahkan masuk dengan mudahnya. Dan yang sudah pergi, tak seharusnya kaunanti kepulangannya.
~

Seperti kebiasaannya, malam minggu ketiga di bulan ini Anin berkumpul bersama sahabatnya. Di lantai dua rumah Esha, yang sejak dulu sudah ditetapkan sang pemilik rumah menjadi daerah kekuasaan mereka. Anin sudah melepas kacamatanya. Merasa pusing, juga ngilu pada hidungnya karena terlalu lama menatap laptop. Lain lagi dengan para cewek yang fokus menonton drama Thailand berjudul Remember 15, yang sudah lebih dulu Anin tonton episode awalnya. Membiarkan mereka sesekali tercengang, melihat adegan yang begitu ekstrem.

Anin kembali melirik jarum jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam sepuluh, tapi Maga dan Lingga belum juga sampai. Padahal setahu Anin, mereka berdua terlalu enggan untuk mengambil jatah limbur di malam minggu seperti ini. Tapi sepertinya hanya Anin yang menyadari keabsenan mereka berdua. Karena yang lain terlalu sibuk, hingga mengabaikan Anin yang menatap sayang puding cokelat yang sengaja dibawanya dari cafe sudah tandas entah dimakan siapa.

"Kenapa dihabisin sih? Kan tadi gua bilang buat sisain sepotong aja deh enggak masalah," ucap Anin yang langsung mendapat tatapan tanya dari ketiga sahabatnya. Anin seketika memutar bola matanya jengah, lalu menunjuk piring yang sudah bersih di hadapan mereka dengan dagunya.

Seketika mereka langsung menampilkan cengiran khasnya. Membuat Anin mendengkus, lalu beralih mengambil keripik kentang yang tengah disantap Zanna begitu saja.

"Dih, lagi dimakan gu-ARGH," Anin tersentak, begitupun dengan kedua sahabatnya yang langsung berjengit mendengar teriakan Zanna.

"Apa sih Na, ngagetin aja deh," protes Dalva menepuk dadanya. Menormalkan detak jantungnya agar tak berdetak berlebihan.

Zanna tampak meneguk salivanya. Menunjuk layar televisi menggunakan dagunya, kala melihat sebuah isi perut manusia yang tak sedikitpun disensor itu dengan wajah syoknya. Anin terkikik, ia lupa jika Zanna itu begitu tak kuat melihat hal seperti itu, makanya ia lebih suka menonton film romance dibanding mengikuti jejak keempat sahabatnya yang suka menonton genre thriller seperti ini.

Dalva seketika berdecak. Menutup kepala Zanna dengan selimut yang tadi membungkus perempuan itu, supaya tak lagi melihat hal lebih jauh yang kemungkinan bisa membuat Zana lari terbirit-birit.

"Kan tadi gua udah bilang, ini tuh genrenya thriller Na, lo aja yang masih nekat nonton," cibir Esha yang membuat Zanna seketika merengut.

"Ya, kan gua penasaran. Mana aktornya ganteng begitu Sha. Sayang kalau dilewatin," sahutnya begitu santai yang langsung dihadiahi sentilan di dahi mulusnya.

"Percuma ganteng kalau enggak bisa dimilikin Na. Lagian ya-"

"Enak banget ya kalian bercanda di sini, sedangkan Daffin lagi sakit-sakitan sendirian di sana."

Kalimat sentakan itu seketika membuat para cewek terdiam. Apalagi Anin yang langsung menatap Maga penuh tanda tanya.

"Duh Ga, kalau datang tuh baiknya salam dulu. Mana bicara ngawur begitu lagi," ucap Dalva mencoba mengisi kesunyian yang justru dibalas Maga dengan decakan.

Mendengarnya, Lingga langsung menarik Maga untuk duduk di sofa yang sedari tadi digunakan para cewek untuk bersandar. "Tadi gua dapet telepon dari temen kerjanya Daffin, katanya Daffin sakit, yang enggak mungkin bisa pulang sendiri. Jadilah tadi kita berdua mampir dulu jemput Daffin. Dia demam. Efek kelelahan karena kebanyakan handle proyek."

Anin seketika terdiam. Menyandarkan punggungnya, merasa bersalah karena tak menanyakan keadaan Daffin seharian ini. Padahal terkhir kali bertemu, Anin jelas menyadari jika Daffin memang seharusnya membutuhkan istirahat.

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang