Chapter 14 - Lepas

34 7 0
                                    

Mudah untuk sekedar menerima cinta yang siapapun berikan, tapi sulit rasanya melepas cinta untuk yang tersayang.
~

Anin mengeratkan cardigan yang memeluk tubuhnya. Cuaca pagi ini sedikit mendung. Jadi tentu saja, ia akan lebih memilih memakai cardigannya di banding blouse yang biasa ia kenakan sehari-hari.

"Salah waktu banget ya kayaknya ibu ngajak ketemu?" tanya Bu Indri sedikit meringis. Ia pun sebenarnya merasakan tidak sesuai dengan cuaca pagi ini. Yang membuatnya ingin terus bergelung di bawah selimut kala banyak pekerjaan memaksanya untuk segera dituntaskan.

Anin langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Merasa bingung harus berpura-pura ia baik-baik saja atau tidak dengan keadaan sekarang. "Yang penting ibu enggak ngajak lari pagi dingin-dingin begini," sahut Anin bercanda yang membuat Bu Indri seketika terkekeh.

Bu Indri seketika menganggukkan kepalanya dengan semangat. Menyetujui jawaban Anin yang tak mungkin bisa ia realisasikan. "Udah enggak kuat lari-lari ibu, Nin. Udah makin berumur," ucap Bu Indri dengan senyum tipis di wajahnya. Tangannya seketika beralih mengambil secangkir teh di depannya, dan meminumnya secara perlahan. "Kamu tuh yang harusnya banyak olahraga, mumpung masih muda Nin," lanjutnya kala tak mendapati sahutan dari Anin yang sudah sibuk menyantap bubur ayamnya.

Anin buru-buru menelan bubur yang sudah dikunyahnya. Tatapannya langsung ia alihkan pada Bu Indri yang belum juga menurunkan cangkirnya. "Enggak suka aku bu. Udah tiap hari naik turun tangga kok. Udah termasuk olahraga, kan itu," sahut Anin sembari terkekeh kecil.

Bu Indri hanya bisa menggelengkan kepalanya. Detik selanjutnya, ia langsung meletakkan cangkirnya, dan memajukkan tubuhnya kemudian. "Nin, ibu boleh minta tolong?" tanya Bu Indri mencoba kembali ke niat awalnya ingin bertemu Anin.
Anin, yang kebetulan sudah selesai menyantap sarapannya, langsung menatap Bu Indri dengan senyum manis di wajahnya. "Kalau aku bisa bantu, insyallah aku usahakan bu," jawabnya lugas penuh kejujuran.

Senyum Anin ternyata mudah sekali menular ke orang lain. "Bentar lagi sepupu jauh Daffin akan tunangan. Karena ibu sudah terlalu enggan mencari orang yang bisa ibu percaya untuk urusan makanan, bisa kamu bantu ibu, Anin?"

Anin seketika tersedak, menepuk-nepuk dadanya guna menyingkirkan rasa sakit yang menghampirinya. Dengan sigap, Bu Indri langsung mengangsurkan teh hangat milik Anin di detik selanjutnya. "Kamu enggak papa, Nin?"

Masih dengan batuk-batuk kecil, Anin langsung menganggukkan kepalanya. Meyakinkan Bu Indri bahwa ia tidak apa-apa. "Enggak papa kok bu. Aku cuma kaget aja sama permintaan ibu," jawabnya sembari menampilkan senyum terbaiknya. Berharap Bu Indri percaya akan jawabannya.

"Beneran ya enggak papa? Jadi kamu mau, kan Nin bantuin ibu?" tanya Bu Indri mencoba memastikan.

Anin tak langsung menjawab. Diam-diam ia memilin ujung cardigannya dengan penuh kegelisahan. Ia tidak mungkin menolak permintaan Bu Indri yang sudah ia anggap menjadi orang terdekatnya. Tapi memangnya Anin sanggup? Semoga saja Anin tak mempermalukan dirinya sendiri di hari kemudian.

Dengan kedua sudut bibir yang kembali tertarik, juga binar ketertarikan yang menguar dari kedua maniknya, Anin langsung mengangguk. Menyetujui permintaan Bu Indri yang tak mungkin bisa ia tolak. Hidup akan terus berjalan walau Anin terus berdiri di tempatnya sekarang, kan? Anin si jelas tak mau ketinggalan.

Bu Indri langsung menggenggam kedua tangan Anin dengan begitu eratnya. Mengungkapkan rasa senangnya kala permintaannya segera dituruti Anin. "Kamu memang bisa dipercaya Nin," puji Bu Indri dengan binar ketulusan di kedua maniknya. "Terserah kamu mau bikin apa. Ibu yakin pasti orang-orang akan senang dengan masakan kamu," lanjutnya meyakinkan untuk menghandle semuanya.

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang