Chapter 37 - Jalan Keluar

86 5 0
                                    

Semua orang mencari jalan keluar untuk membebaskannya dari bahaya kebingungan. Dan harusnya kaupun tak menikmati kegelisahan berada di jalan buntu terus menerus, bukan?
~

Anin tak pernah membayangkan, jika ia akan duduk manis di sofa apartmen Daffin, sembari memperhatikan sang lelaki yang tengah lahap memakan sup yang sengaja ia bawa dari apartmennya.

Memang, setelah insiden demam kemarin, Anin meminta Daffin untuk bernapas sejenak. Toh bosnya tak mungkin melarang Daffin, mengingat prestasi aja yang sudah ia raih dalam kariernya. Mensukseskan proyek besar, juga mengharumkan nama perusahaan dengan usaha yang begitu keras.

Dan untungnya Daffin menurut. Yang Anin tebak juga sebenarnya dirinya sendiri merasa enggan terus-terusan merasa letih karena Daffin sangat kelelahan. Membuatnya harus tetap berbaring tiga hari ini. Dan Anin dengan sabar terus merawatnya, setiap siang menjenguk sang lelaki yang biasanya selalu melarang Anin bertandang ke apartmennya.

"Sadar enggak si, sejak gua sakit lo jadi lebih care sama gua Nin?" pertanyaan itu jelas menyentak Anin. Membuat perempuan yang siang ini memakai hoodie oversize, karena cuaca sedang tak bersahabat, berdecak kemudian.

"Salah terus deh perasaan. Mau dicuekin lagi emangnya?" sungut Anin yang seketika membuat tawa Daffin terdengar. Akhirnya setelah tiga hari melihat wajah tak berdaya Daffin, kini ia kembali melihat senyum yang ia rindukan.

Beralih duduk di sofa, tepat di sebelah Anin, Daffin langsung melingkarkan lengannya ke bahu Anin. "Enggak Nin, enggak. Gua lebih suka Anin yang versi pengertian gini," ungkapnya menyandarkan kepala Anin di bahunya, juga mengusap sisi kanan kepalanya dengan begitu lembut.

Sebenarnya Anin masih tak terbiasa dengan semua sentuhan itu. Love language Daffin yang terkadang membuatnya berpikir, mengapa ada seseorang yang bisa menyayanginya sebesar itu.

"Jadi, gimana perkembangan lo sama Om Beni?"

Pertanyaan itu sebenarnya sangat sederhana. Tapi membuat Anin menegang, yang langsung bisa Daffin sadari hingga si lelaki inisiatif mengusap kembali kepala Anin guna menenangkan. Dan sepertinya usahanya berhasil, karena Anin tak lagi terlihat gelisah.

"Kalau gua bilang, sekarang gua udah bisa maafin Ayah, menurut lo gimana Daf?" tanya Anin balik, dengan suara lirih, yang langsung diangguki Daffin hingga membuat Anin tak nyaman dibuatnya. Tentu saja karena anggukan Daffin membuat posisi kepalanya terguncang karena ia masih nyaman bersandar di bahunya.

Jadilah Anin memutuskan melepaskan diri. Membuat Daffin mengernyit heran kemudian. "Kok lo bisa tenang gitu si Daf? Enggak kaget sama jawaban gua?" tanyanya memastikan yang langsung direspons senyuman oleh lelaki yang kali ini hanya mengenakan kaus pendek yang otomatis memperlihatkan tato yang dulu sempat di jelaskan kepadanya.

Mengerti arah pandangan Anin, Daffin melirik tato yang berada di lengan atasnya. Lalu menatap Anin masih dengan senyum manis di bibirnya. "Ingat apa penjelasan gua mengenai tato ini Nin?"

Dan Anin langsung mengangguk. Mengingat-ingat apa penjelasan Daffin, yang dulu sempat membuatnya terpana. Kagum akan bentuk cinta Daffin pada seorang wanita yang begitu mendalam

"Ya karena ini. Masa lo masih enggak sadar juga kalau tato ini ngingetin gua sama lo? Makanya gua enggak kaget denger jawaban lo," jelasnya yang membuat Anin ternganga dengan lucu kemudian. "Ada masanya lo terpuruk dalam kekecewaan, dan ada masanya juga lo bangkit setelah mengikhlaskan semua Nin. Lo enggak perlu lupa, karena semakin lo lupa, lo akan terus-terusan ingat kesalahan itu. Dan itu yang selama ini lo lakuin. Makanya baru sekarang lo bisa maafin Om Beni, karena baru sekarang lo ngerasa ikhlas setelah tahu apa yang benar, kan?"

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang