PROLOG

241 14 0
                                    

Daffin tak juga mengalihkan perhatiannya. Teman-temannya yang masih tak berhenti mengenang masa sekolahnya, kesibukan para waitres yang terus mengantarkan pesanan, sang barista yang lagi-lagi menampilkan lesung pipitnya saat memberikan kopi racikannya, juga interior cafe yang membuatnya merasa pulang ke rumah. Nyaman, menguarkan rasa lelah yang tadi masih menempelinya, juga memberikan ketenangan yang biasanya hanya ia dapatkan saat menikmati kopi buatan sang ibu yang ia santap setiap harinya.

“Anin ke mana deh? Masa kita dicuekin gini sih, orang special ... tapi enggak dapet tempat VVIP lagi,” gerutu Zanna yang membuat teman-temannya mendengus sebal karena tak sabaran.

Jujur, Daffin tak mengingat siapa itu Anin. Sedalam apapun dahinya mengernyit dalam untuk mengingat siapa itu Anin, pikirannya seolah buntu. Harusnya wajar, karena ia termasuk orang luar yang diam-diam menyusup ke acara reuni yang diadakan Lingga bersama para anggotanya. Dan Daffin mau-mau saja diajak reuni, mengingat keakrabannya dengan teman Lingga semasa sekolah dulu.

Lingga meletakkan gelas Americanonya secara perlahan. Menatap sekeliling cafe yang terlihat ramai di sore yang cerah ini. “Nyadar enggak sih Na kalau nih cafe sekarang lagi ramai? Pasti lah si Anin lagi bantuin rekan-rekannya. Kalau enggak, dia lagi nyiapin makanan special buat kita,” respons Lingga mencoba menenangkan Zanna yang memang kelihatan begitu merindukan sahabatnya. Maklum, sudah dua tahun ia tak bertemu dengan Anin, begitu pun dengan Lingga.

Tepat saat Esha menunjukkan hasil bidikannya yang berisi seorang Zanna, Zanna kembali diam, mengagumi hasil potretan Esha yang begitu memukau—Anin datang menghampiri mereka dengan sebuah kue cokelat yang harumnya begitu menggugah selera, masih dengan apron yang melekat di tubuh mungilnya.

Sorry sorry, gua telat banget yah?” tanya Anin setelah meletakkan kue tadi di tengah-tengah meja, dengan tatapan meminta maaf yang begitu kentara.

Sekali lagi, Daffin tak bisa mengalihkan perhatiannya. Perempuan berjilbab krem yang dilengkapi kacamata yang bertengger di hidung mancungnya itu membuatnya tertegun. Ia seolah dibawa ke zaman di mana dulu ia sering bertemu tanpa benar-benar mengajaknya bicara sedikit pun. Senyumnya semakin menawan, dan astaga—Daffin tak bisa mengelak aura ketenangan yang Daffin tangkap setelah Anin datang.

Dalva langsung memeluk Anin tanpa aba-aba setelahnya. “Gua kangen banget sama lo Anin. Gua paham kok kalau lo lagi kewalahan ngadepin konsumen makanya kita diduakan. Kita bahkan enggak dapet tempat VVIP nih,” ungkap Dalva dengan kerucutan bibirnya yang hanya ditanggapi tawa geli Anin dengan lepasnya.

“Iyah, lo jahat banget baru ngeluarin kue kesukaan gua sekarang. Enggak tahu lo kalau gua udah kelaperan Nin?” tanya Zanna yang ikut-ikutan memeluk Anin dengan eratnya.

Esha, Lingga, juga Maga hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kedua sahabatnya yang begitu riweh saat bertemu Anin. Maklum, kedua anak inilah yang mencetuskan reuni dadakan yang diam-diam mereka nantikan.

“Eht Nin, sejak kapan lo pakai kacamata? Jadi tambah imut kan lo jadinya,” ucap Maga yang membuat Anin mendengus, dan Daffin tiba-tiba memicingkan matanya ... menelisik kedekatan Maga dengan Anin.

Esha langsung menyentil dahi Maga setelahnya. Membuat Maga justru terkekeh karenanya. “Kelakuan lo emang enggak berubah ya Ga. Kalau beneran suka tuh bilang, enggak perlu gombal-gombal receh kek gini dah.”

“Sha, jangan mulai deh!” peringatnya sembari melirik Maga yang hanya tersenyum geli melihat responsnya. “Kebanyakan natap laptop Ga, tahukan lo? Na, Va, udah ah lepasin. Nanti kalian ikut bau keringet deh kaya gua,” ucap Anin sembari menurunkan kedua tangan sahabatnya yang masih tak rela melepasnya.

Zanna hanya mendengus, Maga hanya mengangguk, dan Lingga langsung menolehkan kepalanya menatap Daffin—yang sedari tadi hanya diam dengan cepatnya. Dan ia benar-benar tak menyangka Daffin akan seserius itu memperhatikan seorang Anin.

“Eht Nin, lo inget Daffin kan, yang dulu sering gabung sama kita? Enggak apa kan gua ngajak dia?” tanya Lingga yang tiba-tiba saja merubah suasana di antara mereka. Yang tadinya ramai langsung senyap seketika. “Fin, lo inget kan siapa Anin sekarang? Dia ini yang punya Cafe Solvit loh,” lanjutnya sembari menatap Daffin dengan pandangan tersiratnya—yang hanya ditanggapi anggukan mantap, lengkap dengan senyum tipisnya.

Manik cokelat di balik kacamata itu langsung berlabuh ke arahnya, dan Daffin tak sedikit pun gentar karenanya. Ia justru menatap balik tatapan Anin yang terlihat terkejut saat melihatnya.

“Ya, enggak masalah kok.”

Daffin benar-benar mengepalkan tangan kanannya di bawah meja. Senyum yang bisa menenangkan hatinya itu ia lihat lagi. Dan sekarang ia ingat betul siapa Anindira Triazhara ini. Salah satu sahabat Lingga yang paling pendiam, dan paling menarik perhatiannya sedari dulu.

“Ehem, udahan ah tatap-tatapannya, lo enggak kangen nih sama gua Nin?” tanya Maga yang seketika memutus tatapan di antara mereka berdua. Kali ini Lingga lah yang melayangkan tangannya untuk menyikut Maga, dan Dalva yang melayangkan tatapan peringatannya.

Daffin langsung menarik kedua sudut bibirnya. Menikmati raut wajah Anin yang tak ia duga, juga mengabaikan dengusan geli seorang Lingga.

***

Hey hey, apa kabar para penunggu setia Dhani versi dewasa?

Masih sabar nda ya? Tenang, kalian udah nda perlu nunggu-nunggu lagi nih. Karena, mulai minggu ini aku udah balik lagi nih ke dunia orange. Menuntaskan rindu kalian pada para krucil-krucilku yang begitu menawan. Atau, kalian justru rindu aku yah? Wkwk.

Ok ok, tanpa babibu, aku mempersilahkan kalian mengarungi dunianya Anin dan Daffin. Penasaran kan gimana ceritanya mereka? Stay tuned terus ya.

Salam hangat,
Lanti

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang