Chapter 17 - Tumpukan Perih

28 4 0
                                    

Bisakah kau memberikanku sedikit jeda untuk merasakan kebebasan? Bebas atas rasa sesak yang semakin menyiksa?
~

Anin masih tak bisa memfokuskan pandangnya. Berkali-kali ia sempat tertangkap tengah menatap Daffin begitu terang-terangan, yang membuat Daffin beberapa kali terkekeh melihat wajah lucu Anin.

"Kalau pengin tanya, enggak usah ditahan gitu deh. Coba deh itu jasnya dipakai sekalian Nin. Dingin pasti kan lo," ucap Daffin terus terang yang membuat Anin langsung menghela napasnya.

Ia bahkan tak pernah bermimpi akan memakai pakaian lelaki selain Maga dan juga Lingga. Apalagi bermimpi akan duduk berdua di salah satu angkringan yang tak jauh dari rumah Ruha, berdua bersama Daffin.

Menurut, Anin langsung merekatkan jas Daffin yang melekat di tubuhnya. Dipandanginya sang lelaki yang sekarang mudah sekali mondar-mandir ke dalam hidupnya. "Sejak kapan lo punya tato Daf?"

Daffin seketika menoleh. Menatap Anin yang tengah menatapnya intens, lalu kekehan gelinya seketika terdengar. "Akhirnya lo perhatiin gua juga," serunya bahagia yang membuat Anin langsung memutar bola matanya. Anak satu ini, diajak serius malah bercanda. "Semenjak kerja. Udah dari lama sebenarnya pengin buat, cuma karena waktu kuliah gua kebanyakan mikir, baru terealisasi waktu gua kagum sama orang lama yang sayangnya udah gua tandain dari lama."

"Lo ngomong apa si Daf?" tanya Anin tak mengerti. Apalagi melihat Daffin yang pandangannya terus terpaku ke depan.

Bukannya menjawab, Daffin justru melipat lengan kausnya hingga tato yang tak sengaja Anin lihat saat sang penolong membuka jasnya terlihat secara keseluruhan. "Lo enggak mau tau arti dari setiap ukiran di sini Nin?" tunjuknya pada jejak tinta yang membuat Anin sedikit tertegun. Apalagi kala melihat Daffin yang begitu santai menunjukkan kepadanya.

Anin langsung mendongakkan kepalanya. Menatap Daffin, yang tengah menatapnya begitu lembut. Bagai menatap seorang yang begitu berarti. "Kenapa enggak lo aja yang jelasin ke gua?" tanyanga balik, yang membuat senyum di wajah Daffin seketika terlihat. Yang lagi-lagi membuat desiran hangat merasuki dada Anin.

"Lengan baja yang ini, melambangkan kekuatan. Gua kagum sama seseorang yang ternyata begitu kuat di balik raga perempuannya. Mata satu ini, mengingatkan gua untuk lihat sesuatu secara lebih dalam. Karena selama kenal dia, gua selalu lihat yang di permukaan aja. Bikin gua sama dia selalu dibentangkan jarak yang enggak pernah gua mau. Roda yang ini, jelas lo tahu arti umumnya. Hidup itu terus berputar Nin. Kalau dulu dia selalu berada di luar jangkauan gua, sekarang gua bahkan bisa lihat senyum dia sedekat itu. Dan pegas ini, gua belajar dari dia, kalau kita harus berbuat baik sama semua orang. Bahkan sama orang yang udah nyakitin kita. Mungkin gua terlalu berlebihan kali ya kagumnya? Tapi nyatanya jejak dia di hidup gua tuh harus banget di beri gambaran Nin. Karena gua enggak mau nyakitin dia barang sedikit pun. Adanya tato ini, bikin gua makin percaya kalau setiap orang selalu punya jalannya masing-masing."

Anin tak mengerti apa yang sebenarnya tengah Daffin bicarakan. Tapi mendengarnya, pikiran Anin seketika terbang ke masa di mana ia pertama kali menangis tersedu-sedu karena kehilangan ayahnya. Mengingat bagaimana sang 'ayah' yang selalu mencoba mendekatinya walau tahu betapa enggannya Anin terhadap dirinya. Mengingat bagaimana kehidupannya yang dulu dan sekarang begitu berubah. Dan bagaimana sang Ibu yang menasehatinya untuk tetap tegar kala Ruha pergi meninggalkannya.

Sial. Anin tak bisa berkata-kata. Setitik air mata seketika meluncur membasahi pipinya. Senyum getirnya seketika tercipta. Membuat Daffin langsung menggenggam tangan Anin kemudian. Memberinya kekuatan yang sedari dulu ingin Daffin berikan.

"Tato lo penuh makna banget Daf. Kagum lo udah naik level dong kalau sampai diabadikan jadi tato gitu," ucap Anin setelah mengusap sudut maniknya. Menutupi rasa perihnya di hadapan Daffin.

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang