Chapter 28 - Pengenalan

23 4 0
                                    

Kamu yang aku kenal itu versi pencitraan, atau ketulusan, tuan?
~

Siang ini cuaca sedikit panas. Membuat cafe tampak dipadati para insan yang tengah kehausan. Jadilah Anin ikut turun tangan, membantu Melvin yang tampak kewalahan membuat pesanan para konsumen.

"Lagi enggak sibuk dek?" tanya Melvin memecah keheningan, setelah menyelesaikan pesanan terakhir.

Anin menolehkan kepalanya. Mendorong sedikit kacamatanya, lalu menatap Melvin yang tengah melipat kemeja kotak-kotaknya. Memang sedari awal bekerja di sini, Melvin selalu menggunakan pakaian casual yang jelas bisa menarik perhatian. Apalagi dengan tampangnya yang bisa dibilang rupawan, Anin tak bisa menutup matanya.

"Ada si laporan yang belum aku periksa, tapi bisa nanti deh bang," jawab Anin tersenyum tipis, sembari membenarkan salah satu sisi jilbabnya yang sudah terlepas dari kaitan.

Melvin menganggukkan kepalanya. "Daffin lagi sibuk yah makanya enggak ke sini?"

"Hm?"

Kekehan geli Melvin seketika terdengar begitu melihat ekspresi Anin yang begitu lucu. "Udah lama loh semenjak pertama kali abang lihat Daffin ke sini, masih belum jelas juga?"

Kini gantian Anin yang terkekeh. Sudah lama sekali Anin tak melihat senyum itu. Walaupun datang ke cafe setiap hari, tapi belakangan ini Anin sibuk menyiapkan project, dan kini ia tengah sibuk dengan beberapa laporan, jadilah ia sedikit mengabaikan kehadiran para rekan yang membantunya. "Udah lebih jelas kok dari sebelumnya," jawab Anin mantap, membuat binar di manik Melvin sedikit berubah.

Hanya beberapa detik, sebelum tatapan itu berubah menjadi lembut seperti biasanya. "Kayaknya abang emang udah enggak punya kesempatan lagi ya dek," gumamnya lirih membuat Anin seketika tersentak. "Kemarin Ando telepon abang, katanya dia udah enggak bisa lagi handle pekerjaan. Sekarang dia pure harus fokus sama kuliahnya. Menurutmu gimana, dek?" lanjut Melvin meminta pendapat, yang mau tak mau membuat Anin sedikit kehilangan pijakan.

Ia langsung menarik kursi yang tadi di singkirkannya. Takut tak bisa lama-lama berdiri menyadari topik pembicaraan yang menurutnya sangatlah riskan. "Udah berapa tahun ya abang di sini? Udah lama banget. Dan ... mau gimanapun abang tetep punya tanggung jawab buat pekerjaan yang di sana. Abang ... enggak serius kan sama alasan yang dulu Ando bilang waktu ke sini?" tanya Anin balik, setelah mengumpulkan niat yang sangat teramat.

Melvin tak langsung menjawab. Keriuhan yang ada di sekitarnya karena para pengunjung yang makin asik dengan obrolannya, tak sedikitpun membuat perhatian Melvin beralih. "Awalnya iyha. Tapi setelah lihat gimana terbukanya kamu nganggep abang Cuma sebagai 'saudara', abang enggak bisa maksa. Lama kelamaan jadi terbiasa sama semua kesibukan ini, dan abang ngerasa ada yang hilang kalau sehari enggak hirup aroma kopi ... juga lihat kamu yang bisa senyum dengan bebas, Nin."

Panggilan nama itu, Anin jelas tahu artinya. Melvin tengah serius dengan ucapannya. Dan Anin masih tak bisa menerima fakta, jika selama ini ia sudah menyakiti Melvin hingga sejauh itu.

Jadilah ia langsung menundukkan kepalanya, tak berani menatap manik yang masih saja menatapnya selembut itu. "Maaf."

Anin mengucapkannya teramat lirih. Tapi bisa didengar Melvin begitu jelas, hingga membuat si barista langsung mengusap puncak kepala Anin guna menenangkan. "Enggak ada yang salah dek. Kamu berhak memilih, begitu juga sama abang. Dan sayangnya abang pilih berjuang dalam diam, sampai akhirnya kamu bertemu Daffin yang abang percaya bisa jagain kamu," ucapan singkat itu makin membuat Anin merasa bersalah. "Kalau sekarang abang pilih fokus sama tanggung jawab abang, kamu enggak papa?"

Langsung saja Anin meneguk salivanya. Mendongakkan kepala, hanya untuk mendapati tatapan Melvin yang tengah meminta persetujuan. Anin merasakan ketidakrelaan. Tapi bagaimanapun juga ia tak berhak menahan Melvin untuk terus-terusan di sini, kan? Itu hanya akan membuat Melvin merasa kesakitan.

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang