Chapter 30 - Ikatan Jiwa

27 5 0
                                    

Apa yang lebih erat dibanding sebuah ikatan simpul mati, tuan? Ikatan jiwa, yang terhubung antara dua raga dengan satu jiwa.
~

Siang itu Bu Indri mengajak Anin bertemu, di sebuah restoran yang merupakan salah satu langganan si ibu yang kini tengah memancarkan raut bahagia.

"Cafe gimana Nin, lancar?" tanya pembuka si ibu membiarkan Anin melepaskan sling bagnya.

Anin menyunggingkan senyumnya mendengar pertanyaan si ibu. "Alhamdulillah bu lancar kok," jawabnya seramah mungkin.

Bu Indri langsung mengangguk. Beralih mengangsurkan buku menu ke hadapan Anin. "Pesen dulu ya sambil kita ngobrol Nin," ujar si ibu membuat Anin seketika mengangguk.

Jika dilogikakan, harusnya mereka bisa berbincang di cafe Anin, saja kan? Tapi berhubung Anin teramat menghomati ibu yang merupakan malaikatnya Daffin, Anin tak kuasa menolak.

"Rasanya sekarang beda loh Nin ketemu kamu sebagai calonnya Daffin. Makasih yah Nak."

Anin yang baru selesai memesan, menatap Bu Indri dengan bingung. Ia sedikit tertegun sebenarnya mendengar kalimat pertama Bu Indri, tapi seketika dilanda penasaran mendengarkan ucapan terima kasih sang ibu. Memangnya dia habis berbuat apa?

"Makasih ya Nak, berkat kamu Daffin jadi mau pulang ke rumah."

"Gimana bu?" tanya Anin benar-benar tak mengerti sekarang.

Tatapan sendu seketika Anin dapatkan. Membuatnya tertegun, karena baru pertama kali ini ia melihat sosok lain dari diri Bu Indri setelah sekian lama. "Kamu udah tahu Daffin dari lama, dan ternyata selama itu dia enggak pernah terbuka sama kamu, Nin."

Anin sempat terdiam. Membenarkan perkataan itu yang kerap kali membuat Anin bingung akan sosok yang selama ia mendampinginya.

"Daffin sudah lama tinggal di apartmennya sendiri Nin. Dia bersedia pulang jika ada acara keluarga aja. Dan kemarin, adalah pertama kalinya Daffin pulang sebelum bawa kamu ke rumah."

Anin memainkan ujung jilbabnya dengan gusar. Masih meraba-raba kemana arah pembicaraannya sekarang. "Aku, benar-benar enggak tahu hal-hal dasar mengenai Daffin bu. Bisa bantu kasih tahu aku selebihnya?" tanya Anin tiba-tiba, membuat senyum tipis Bu Indri terlihat, sebelum tiba-tiba berubah getir.

Bu Indri tampak menerawang, menghiraukan kebisingan yang tercipta di sekitar karena sekarang sudah masuk jam makan siang. "Daffin bukan anak kandung ibu, Nin. Makanya dia pilih hidup terpisah karena sadar ada beberapa dari keluarga ibu yang belum bisa terima dia."

"Hah?"

Bu Indri teramat memaklumi respons yang Anin berikan. Ia sudah menduga, senyaman apapun Daffin dengan perempuan di hadapannya, Daffin tak seyakin itu untuk mengungkapkan latar belakangnya.

"Iyah Nin, dulu ibu adopsi Daffin karena ibu memang selemah itu jadi perempuan. Tapi mau gimana lagi, selamanya Daffin tetap anak ibu, apapun kenyataannya."

Dan kini Anin paham mengapa Daffin sendiri mengatakan jika ia tak pernah mengenal Daffin. Karena ia memang sebuta itu akan sosok yang selama ini diam-diam membuatnya bahagia.

Selalu menyembunyikan diri, dan terus memprioritaskan Anin tanpa disadari.

***

Siang yang terik, hari minggu ketiga dalam bulan ini. Hari di mana cafe akan sesak dipenuhi pengunjung, dan para rekannya akan kewalahan menghadapi konsumen. Jadilah di sini Anin sekarang. Di belakang bar, membantu Melvin yang sayangnya hari ini harus berpamitan.

Yah, Melvin betulan resign. Dan sebisa mungkin, Anin akan meluangkan waktunya guna mencetak kenangan yang tak mungkin ia lupakan.

Melvin bukan hanya sekedar barista di cafenya, dia juga seorang kakak, juga sahabat yang paling mengerti Anin. Jadi wajar, kan jika Anin sedikit merasa kehilangan saat sadar Melvin tak bisa lagi ia jangkau? Terlepas dari semua kerumitan yang menyangkut mereka berdua, Anin benar-benar merasa kehilangan sekarang.

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang