Chapter 34 - Lika-Liku

26 3 0
                                    

Persimpangan itu memang membingungkan, membuat kita dituntut berpikir cepat, sebelum tergerus arus yang setia berjalan apapun kondisinya.
~

Anin mengaduk nasi goreng di hadapannya dengan tidak bersemangat. Lain dengan Ade yang menyantap nasi gorengnya begitu lahap, seakan ia tak menyuap sedikit pun makanan malam sebelumnya. Lain lagi dengan sang ayah yang masih sibuk dengan koran di hadapannya, lengkap dengan secangkir.kopi yang uapnya sudah hilang entah ke mana.

"Sini deh, suka banget kamu buang makanan Nin," ucap Ade yang menyadarkan Anin dari lamunannya.

Tanpa menunggu jawaban Anin, Ade langsung menarik paksa piring Anin yang hanya disantap seperempat isinya oleh sang adik.

"Kamu sakit Nak?" tanya Gustin dengan nada khawatir begitu melihat wajah lelah, kantung mata yang menghitam, juga aura yang terasa begitu kelam.

Anin seketika menggeleng. Menandaskan tehnya yang sudah berubah dingin, lalu menatap sang Ayah mencoba memastikan. "Lagi banyak kerjaan aja Yah."

"Lah, emang kamu ngapain aja deh Nin? Kayaknya cuma duduk-duduk aja perasaan," sela Ade yang membuat Anin seketika mendelik.

"Enak aja. Aku sering bantuin anak-anak yah kak," bela Anin yang membuat Ade langsung menutup kedua telinganya. Menolak jawaban Anin yang tak diinginkannya.

Melihatnya, Gustin hanya bisa menyunggingkan senyum tipisnya. Ia pasti akan merindukan momen seperti ini. Dulu Anin memang sempat tinggal bersama keluarganya di Yogyakarta. Hanya sampai lulus SMK, lalu ia lebih memilih menyusul sang kakak sembari menyelesaikan kuliahnya. Lalu berlanjut hingga ia bisa mendirikan cafe yang namanya sudah terkenal di mana-mana.

Jadi sangatlah maklum, jika Gustin harus memanfaatkan momen langka ini sebaik mungkin. Karena bagaimana pun Gustin mencoba meyakinkannya, Anin akan tetap segan tinggal di rumah yang belum bisa menjadi 'rumah'nya.

"Nanti siang Ayah mau pulang. Kebetulan, pekerjaan Ayah sudah selesai semuanya. Waktu Daffin enggak lagi tersita karena Ayah, Nin."

Ucapan itu membuat Anin mengernyit heran, lain dengan Ade yang sudah tergelak di tempatnya.

"Kamu baik-baik di sini. Jagain adikmu, De. Jangan keseringan lembur ninggal Anin sendirian. Kalau Anin pulang malam, usahakan kamu bisa jemput adikmu," peringat Gustin yang membuat Anin sedikit mencebikkan bibirnya, dan Ade menatapnya tak suka.

Detik berikutnya Ade langsung mengalihkan perhatian. "Kan udah ada Daffin Yah, ngapain aku masih jadi supirnya Anin? Kesenengan Daffin nanti loh."

"Apa si kak!" sela Anin cepat, sebelum lanturan Ade menjalar ke mana-mana.

"Udah-udah. Kalian tuh udah besar loh. Masih aja ribut begini," lerai Gustin mencoba menenangkan. "Owh yah, kebetulan Ayahmu masih di sini Nin. Kalau kamu luang, jangan lupa kunjungin dia ya. Minta Daffin temenin aja kalau enggak mau sendiri," lanjut Gustin begitu santai, membuat Anin tersentak, dan Ade langsung menoleh penasaran.

Anin menatap Gustin tak setuju. "Yah ... Ayah tahu sendiri aku enggak bakal mau," jawabnya tak berpikir panjang, membuat dua lelaki di hadapannya sama-sama mengembuskan napas lelah.

"Anin, lihat gua!" perintah Ade tegas, membuat Anin setengah hati menatap sang kakak yang bisa-bisanya belum memakai kemejanya di jam yang sudah mepet sekarang. "Kapan lagi lo bakal ketemu Ayah lo, yang sukarela nyamperin lo, buat memperbaiki semuanya hm? Mau sampai kapan juga lo kucing-kucingan begini eht? Beneran niat gantungin Daffin yah lo?"

Dan Anin tak bisa menahan maniknya agar tidak berotasi kemudian. "Kakak tahu alasannya. Enggak mungkin aku tiba-tiba nyamperin dia begitu aja Kak Ade."

"Kan ada Daffin yang nemenin lo. Ngapain takut si, Nin? Kalau pun Ayah lo ngapa-ngapain lo, dia bakal kehilangan lo, kan?"

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang