Chapter 31 - Titik Terang

32 2 0
                                    

Bisakah kaumengatakan semua, agar aku tak terus-terusan berkubang pada prasangka yang menghanyutkan?
~

Malam ini terlihat cerah. Seperti suasana hati Anin yang sedari pagi begitu tentram karena mendapati kepadatan di cafenya yang tidak membuat sakit kepala. Tentu saja setelah kedatangan barista baru, Anin menjadi tak sesibuk dulu saat Melvin baru saja resign dari cafenya.

Ia memandang Maga penuh kernyitan, di mana sang sahabat tengah bercengkerama dengan sang barista baru dengan leluasanya. Begitu akrab, seolah mereka kawan lama yang baru berjumpa.

"Kok di sini?" tanya Anin penasaran begitu sampai di samping Maga.

Maga, objek yang sedari tadi menjadi fokus Anin seketika menoleh. Menampilkan senyum hangatnya, yang dibalas kernyitan oleh sang sahabat. "Mau jemput lo lah. Ya kali mau jemput Azkia," sahut Maga membuat kesal, yang tentu direspons Anin dengan cubitan di pinggangnya.

"Ampun deh. Suka banget si lo nganiaya gua. Gua aduin nih ke Daffin yah?" ancam Maga yang membuat Anin seketika terdiam.

Mengabaikan raut heran Maga, Anin lebih memilih merubah haluan ke arah Azkia yang tengah kerepotan membawa beberapa piring.

"Tumben banget si Maga jemput lo? Bang Ade sama Daffin beneran pergi berdua?"

Anin langsung menoleh. Menatap Azkia dengan raut bertanya-tanya. "Lah Maga belum bilang? Katanya Om Gustin sama Bang Ade lagi pergi sama Daffin? Mau ke mana tuh Nin?" tanya Azkia sekali lagi, membuat Anin langsung menatap Maga yang tampak sedang berdebat dengan si barista.

Ia langsung mengembuskan napasnya pelan. Ternyata apa yang ia dengar tadi pagi tidak salah. Anin menduga jika ketiga orang itu tengah pergi 'ke sana'. Berterima kasihlah pada gawainya yang tadi pagi tertinggal di meja makan, sehingga ia bisa mencuri dengar tentang obrolan sang kakak yang meminta ayahnya supaya Daffin segera menyelesaikan pekerjaannya, agar mereka bisa berangkat hari ini juga.

Seketika, ia menjadi penasaran, mengapa orang terdekatnya gemar sekali membujuk Anin untuk bertemu dia. Padahal Anin tak sedikitpun berminat, apalagi berkeinginan mencari tahu keberadaan dia yang sudah lama pergi dari hidup Anin.

Tapi ternyata Gustin begitu bersikeras, membuat Ade juga Daffin mendadak jadi satu kubu dengannya, yang otomatis membuat Anin seketika merasa pening. Untuk apa mereka bersusah payah, padahal Anin pun yakin jika dia takkan mungkin mau kembali apapun alasannya.

Anin tak ingin, karena ia tak mau lagi berharap pada sesuatu yang belum pasti seperti ini. Takut tak bisa bangkit, membuat ibu dan orang terdekatnya makin sakit hati karena perbuatannya.

"Ayo pulang," ajak Maga, membuyarkan lamunan Anin yang sudah melayang terlalu jauh.

"Kakak sama Daffin ke mana, Ga?"

"Lah gua, kan belum bilang. Lo ... tahu dari mana mereka lagi pergi?" tanya Maga bingung, padahal Daffin sudah mewanti-wantinya supaya Anin tidak mengetahui ke mana tujuan mereka pergi.

Anin menghela napasnya. "Azkia. Gua--juga denger pembicaraan kakak sama ayah tadi pagi."

Kini giliran Maga yang menghela napas. Memejamkan matanya, menenangkan diri supaya tak terlihat gugup di hadapan Anin. "Gua mana tahu. Daffin cuma telepon, minta tolong gua buat jemput lo karena dia lagi ada urusan. Gitu aja."

Tentu saja Anin tak percaya. "Kenapa Daffin enggak ngabarin gua juga si Ga? Harus lewat lo banget?" tanya Anin lagi, membuat Maga menatap Anin dengan frustasi.

"Gua enggak tahu ya Nin. Kalau lo penasaran, tanya sendiri deh sama Daffin kenapa enggak ngabarin lo. Heran deh, yang resah siapa, yang disalahin siapa. Cepetan bangun deh Nin, gua enggak mau ya kelewatan nonton bola cuma gara-gara lo."

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang