Bab 2

1.1K 232 9
                                    

Aku wanti-wanti pokoknya. Baca cerita ini wajib sediain tisu....

Karena ini menyesakkan bangeeedddd

Perpisahan yang paling menyakitkan adalah perpisahan yang tidak pernah bisa bertemu kembali

-----------------------------------------------

Tanpa sadar kamu akan menangis, dan mengeluh atas semua musibah yang menimpa. Namun disaat yang sama kamu akan kuat dengan kedua hal yang sudah kamu lakukan itu.

"AESHA."

Adskhan langsung memanggil nama adik sepupunya ini yang terlihat pucat, duduk di salah satu kursi di bandara bersama beberapa orang lain. Dibeberapa bagian bahkan sudah dipasang garis pembatas dari pihak kepolisian setempat yang dipergunakan oleh keluarga korban untuk menunggu kabar selanjutnya.

"Mas Adskhan," balasnya melirih.

Tangisnya langsung jatuh begitu saja ketika kedua matanya menangkap sosok ketiga kakak sepupunya datang hanya demi menemaninya di sini. Sebelumnya dia hanya seorang diri, menunggu kabar kelanjutan dari musibah ini after landing pekerjaannya hari ini.

Namun setelah kabar ini sampai ke telinga para pemburu berita, mendadak bandar udara Abdul Rachman Saleh menjadi sangat ramai. Diberbagai sudut wartawan sudah memenuhi. Mereka sibuk merekam apapun yang bisa dijadikan berita. Termasuk list penumpang dalam nomor penerbangan musibah kali ini.

"Sstt, sudah jangan nangis."

Adskhan memeluk gadis itu dengan sangat erat. Selayaknya seorang kakak laki-laki, dia pun ikut menitikan air mata jika mengingat Aiz, sepupu sekaligus sahabat yang sering kali disebut sangat mirip dengannya, akan tetapi sampai detik ini belum juga ada kabarnya.

"Aku takut, Mas. Aku takut."

Abi ikut mendekat ketika melihat keduanya menangis. Setelah berhasil menghubungi seseorang, dia mengusap lembut punggung Aesha, seolah berusaha menenangkan adik kecilnya. Sedangkan Zhafir sibuk menerima telepon dari istrinya, yang baru saja mengonfirmasi rumah sakit terdekat yang kemungkinan akan menerima korban atas musibah ini.

"Mas Abi," ringis Aesha, menatapnya takut.

"Kita tunggu sama-sama di sini, ya. Doakan semuanya baik-baik saja."

Aesha mengangguk paham. Namun dibalik ketegarannya, ada tangannya yang gemetar sembari menggenggam erat salah satu bagian jaket yang sedang Adskhan pakai. Sejujurnya dia takut sekali hasil terburuk yang akan dirinya dapatkan.

"Gimana?" tegur Abi, disaat Zhafir ikut bergabung kembali.

Zhafir menatap Aesha, memasang sedikit senyum, lalu mengungkapkan hal-hal penting yang baru saja dikatakan oleh istrinya, Aneska.

"Aneska kirimkan nama-nama rumah sakit terdekat yang menjadi rujukan untuk para korban. Dia juga akan bantu hubungi kepala-kepala rumah sakit tersebut, untuk lebih update menginformasikan kepada kita. Selain itu ...."

"Selain itu?" tatap Abi tajam.

"Dokter Athar akan terbang ke sini. Dia akan terjun langsung membantu ketika dia tahu ada nama keluarga kita yang menjadi penumpang dalam penerbangan tersebut. Gue yakin, jika ada dia, hubungan kita untuk rumah sakit menjadi lebih mudah."

"Gue akan bantu juga, Bang. Walau gue cuma dokter anak, tapi gue yakin dalam penerbangan itu pasti ada anak-anak juga didalamnya."

"Yah, kita semua harus saling membantu," ucap Zhafir dengan tenang. "Dan lo, Aesha, gue dengar lo baru landing kan, lo wajib istirahat dan makan dulu. Kita semua enggak mau lo malah sakit disaat genting kayak gini."

PassegiattaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang