Lanjut gak?
Kalau gak mau lanjut, aku posting di Karyakarsa aja...
-------------------------------------------------------------
Jangan coba untuk melawan rasa sakit atas kehilangan. Biarlah terlepas dengan ikhlas, agar kenangan indah tidak akan hilang.
Berpakaian rapi, dengan sedikit riasan di wajahnya, Aneska sibuk menatap gerak gerik Aesha yang kini tengah memakai sepatunya di ruang tamu. Memiliki rasa penasaran yang tinggi, Aneska mengajukan pertanyaan sambil berusaha tersenyum dengan baik. Kebetulan sekali siang ini, Nada, ibu mertuanya sedang pergi keluar bersama adik iparnya. Sedangkan ayah mertuanya sendiri tengah sibuk di rumah Aesha, membersihkan rumah tersebut bersama beberapa orang yang diminta untuk membantunya.
"Kamu mau ke mana, Sha?"
"Aku ada urusan sebentar, Mbak."
"Sendirian? Mau diantar sama bang Zhafir?" tanya Aneska sengaja menawarkan bantuan kepada adik sepupu dari suaminya itu agar tidak pergi sendirian. Jika saja Aneska tidak sedang hamil, dia siap mengantarkan Aesha ke mana pun saat ini.
"Enggak usah, Mbak. Bang Zhafir juga lagi di bengkel, kan? Aku pergi naik ojek aja."
"Benar enggak papa? Mbak takut kamu sakit lagi!"
"Aman kok. Aku pergi dulu ya, Mbak. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Kalau ada apa-apa, jangan lupa telepon mbak."
"Iya."
Melangkah santai keluar dari rumah, kedua kaki Aesha sempat terpaku dan terasa berat untuk melewati rumah penuh kenangan itu. Hingga ia sendiri menyadari memang belum ada sedikitpun keikhlasan di hatinya atas musibah yang menimpa keluarganya.
Berusaha untuk tidak menatapnya, Aesha sebisa mungkin menundukkan kepala. Melangkah cepat melewati rumah tersebut.
Agam yang sedang berada di bagian depan, halaman rumah mewah ini hanya menatap gerak gerik Aesha, tanpa berusaha untuk memanggilnya. Dia tahu Aesha masih belum siap menghadapi semua ini. Maka dari itu, dia memang sengaja memberikan Aesha waktu. Setidaknya sampai luka fisiknya sembuh, agar gadis itu lebih fokus mengobati luka hatinya.
Memesan aplikasi ojek dari ponselnya, Aesha membuat janji di depan pintu gerbang utama, perumahan mewah ini. Sempat menunggu sejenak, akhirnya ojek tersebut tiba. Langsung saja naik ke atas motor tersebut, Aesha mengarahkan jalan cepat menuju tempat yang ingin dia tuju siang ini.
***
Duduk bersimpuh di samping tiga makam yang masih penuh bunga, Aesha sempat menatap ketiga batu nisan yang bertuliskan nama dari keluarganya sebelum mengucapkan salam. Tangannya terlihat gemetar ketika mengusap batu nisan milik ibunya. Sembari mengucapkan salam, air matanya jatuh kembali.
"Assalamu'alaikum, Bu. Maaf Aesha baru datang lagi. Ibu pastinya tahu bagaimana kondisi Aesha sekarang ini. Jadi tolong jangan marahi Aesha ya, Bu. Aesha berusaha untuk tetap mengunjungi kalian semua. Termasuk datang buat kunjungi kamu, bang Aiz."
"Bu ... sekarang ibu, ayah, sama bang Aiz enggak perlu khawatir lagi. Di sini, ayah Agam sama ibu Nada benar-benar menjaga Aesha dengan baik. Lalu bang Zhafir ... entah kenapa Aesha ngerasa, bang Zhafir mulai mirip kayak bang Aiz. Bawel dan ngejaga Aesha banget. Terus di rumah itu juga ada mbak Aneska yang lagi hamil, sama dek Zyva, yang selalu perhatian sama Aesha. Jadi rasanya kalian bisa tenang. Karena mereka semua enggak akan biarin Aesha sendirian dan tenggelam dalam kesedihan."
Sembari bersujud ke makam ibunya, Aesha bergumam pelan, seolah takut ayahnya dan kakak laki-lakinya mendengar percakapan antara perempuan yang ingin dia bisikkan ke ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Passegiatta
SpiritualBerawal dari kabar duka, kupikir inilah awal dari derita. Dimulai dari hilangnya kontak pesawat penerbangan rute Jakarta - Malang, di daerah pegunungan Kawi, mendadak membuat semuanya panik. Termasuk seorang gadis bernama Raesha Azzalfa. Pasalnya k...