Bab 8

669 148 10
                                    

Please jangan nangis,

Jangan ikutan marah....

Please banget... Agam kayak gitu krn membela keluarganya...


----------------------


Kupikir tangis bisa menghapus beban luka yang terasa, namun nyatanya tangis hanya menambah luka bagi orang lain yang melihatnya.

Jam 8 pagi, dengan menggunakan penerbangan terpagi pada hari ini, Agam, dan Barra akhirnya sampai di bandar udara Abdul Rachman Saleh. Ketika sampai di bandara, keduanya langsung bergegas ke tempat di mana para keluarga penumpang sedang harap-harap cemas menunggu kabar terupdate.

"Gile rame juga," ucap Barra ketika pandangannya sudah berhasil menjangkau tempat yang dikhususkan untuk keluarga penumpang.

Agam mengangguk setuju. Sebelum melihatnya sendiri, Agam menganggap kondisinya tidak akan seramai ini. Akan tetapi, setelah datang langsung ke sini, dia baru sadar, bukan hanya keluarga Al Kahfi yang sedang menunggu kabar terupdate, namun banyak keluarga lainnya yang juga bernasib sama.

"Astaghfirullah al'adzim," ucap Agam. "Semoga hari ini ada kabar baik," sambungnya menepuk bahu Barra, sembari melangkah kembali.

Ketika hanya sisa beberapa langkah menuju tempat tersebut, dua orang laki-laki mendekati Agam. Beliau-beliau ini adalah orang yang diminta Agam untuk membantu menemani anak-anak mereka di sini.

"Selamat pagi, Pak!"

"Pagi. Bagaimana?"

"Hingga tadi malam, hanya ada kabar barang-barang penumpang yang ditemukan. Tidak ada kabar lanjutan. Namun masalahnya, salah satu barang yang ditemukan adalah ...."

"Iya, saya tahu," sahut Agam cepat. "Kalian bisa beristirahat dulu. Dan terima kasih atas bantuannya."

"Sama-sama, Pak. Siap laksanakan. Nanti kami akan coba mencari tahu ke lokasi jatuhnya pesawat tersebut."

"Baik. Terima kasih."

Mengakhiri kalimatnya, kedua laki-laki sigap itu pergi meninggalkan area ini. Mereka benar-benar siap membantu Agam sebagai partner kerja dulu, sewaktu Agam ada menangani kasus di Malang.

"Siapa mereka, Gam?"

"Dulu gue ada kerjaan di Malang. Dan mereka berdua yang bantu gue selama di sini. Setelah kerjaan gue kelar, ternyata bagusnya komunikasi kami masih terjalin. Dan menurut gue ini sebuah keberuntungan dalam menjaga silaturahim."

Barra tersenyum bangga kepada Agam. Sejak mengenalnya di Jerman dulu, Agam benar-benar sudah berubah.

"Kita harus bener-bener nemuin Wahid. Secara dia guru hijrah kita. Bener enggak?"

Agam menatap Barra, sahabatnya, kemudian kepalanya mengangguk setuju. "Yang terbaik untuk sahabat kita."

"Yang terbaik buat sahabat kita, si oli samping, ya balik lah. Gue yakin dia baik-baik aja."

"Hei, lo masih panggil dia oli samping. Bar, kita bukan lagi di Jerman."

"Alah, lo. Dulu lo panggil dia anak SMP kan. Mendingan gue, oli samping. Udah, pokoknya doain yang terbaik. Dan harus balik pokoknya, enggak mau tau gue!!"

"Ya, ya, ya. Kita cari anak-anak dulu," ajak Agam merangkul bahu Barra, sahabatnya. Sekalipun usia mereka sudah tidak muda lagi, namun persahabatan mereka terasa kekal abadi.

***

"Ayah ...." Zhafir memanggil seseorang yang terlihat seperti ayahnya berjalan di depannya menuju ke area para keluarga penumpang pesawat nahas tersebut.

PassegiattaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang