Bab 10

625 134 9
                                    

Masih siap nangis bersama?

Skuyy bacaaa

-------------------------------------------------------------


Saat ini aku seperti isim mufrod, sendiri dan tak bermakna. Namun berkat kedatanganmu, menemani, kita bagaikan idhofah. Tidak mungkin dapat terpisahkan.

Dengan sabar Agam menunggu kabar lanjutan dari penerbangan yang dilakukan oleh Nada seorang diri. Tubuhnya terus standby, memandang jauh ke gate dimana pesawat yang Nada tumpangi akan tiba.

Setelah melirik arlogi dipergelangan tangannya, Agam menatap ke arah kerumuman orang yang mulai berdatangan demi menjemput beberapa korban yang sudah ditemukan.

Masih menunggu dengan sabar, dari kejauhan Agam melihat abang iparnya, Syafiq dan istrinya Farah yang terlihat menghampirinya dengan terburu-buru.

"Assalamu'alaikum, Bang. Kak."

"Wa'alaikumsalam. Bagaimana Nada belum sampai, kan?"

Agam menggeleng. "Belum. Biar Agam yang tunggu dia di sini. Bang Syafiq dan kak Farah langsung saja ke tempat yang lain. Ada Barra di sana bersama anak-anak dan tim."

"Oke. Oke. Saya ke sana ya, Gam. Tolong tunggu sampai Nada datang, ya. Saya enggak mau terjadi apa-apa sama dia."

"Pasti, Bang."

Melepaskan kepergian Syafiq dan Farah yang bergerak menuju kerumunan para keluarga korban, Agam hanya bisa menarik napas dalam. Dia benar-benar mencoba lebih tenang sebelum menghadapi istrinya nanti. Apalagi jika Agam melihat bagaimana kondisi Farah yang benar-benar dirangkul erat oleh Syafiq, Agam tahu akan sehancur apa kondisi Nada nantinya.

Tidak kunjung terlihat kehadiran Nada, suara dering ponsel Agam memecah lamunannya sejenak. Dia melihat ada nama dokter Athar di sana. Dokter tulang yang kini menjabat sebagai komisaris di rumah sakit Al Kahfi Group memang niatnya akan ikut berangkat ke Malang sejak kemarin. Namun, karena ada beberapa hal yang tidak bisa dia tinggal di Jakarta, Athar menunda keberangkatannya.

Hingga akhirnya kabar duka yang lebih dulu menyapa dokter muda itu.

"Assamu'alaikum, Gam. Bagaimana? Apa yang perlu saya bawa dari Jakarta untuk menjemput Pak Wahid di sana?"

Agam sempat terdiam sejenak. Dia sedikit tidak percaya bila kini Wahid telah tiada.

"Kamu coba cek lagi, jari itu benar-benar milik Wahid atau bukan. Karena saya masih tidak percaya dia telah tiada."

"Baik. Saya bawa tim saya terbang ke sana sekarang. Saya benar-benar mohon maaf, karena begitu terlambat untuk datang."

"Tidak apa-apa."

Mengusap wajahnya dengan kedua tangan setelah mengakhiri panggilan tersebut, Agam dikagetkan dengan tangisan seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berada di depannya.

Ketika Agam melihatnya, ada Nada persis berdiri di hadapannya kini. Wajahnya memerah, dengan kedua mata bengkak, kondisi Nada masih menangis hingga sampai ke sini.

"Mas Agam ...."

Dengan nada pilu, istrinya itu memeluk tubuh Agam erat. Dalam isakannya ada nama Wahid diucapkan Nada berulang kali. Seolah dia tidak yakin kabar yang pagi ini dirinya dengar benar-benar terjadi.

"Bang Wahid, Mas. Bang Wahid."

"Istighfar sayang. Istighfar lah."

"Aku enggak sanggup. Sungguh aku enggak sanggup. Apalagi kalau ... kalau sampai Kiki dan Aiz ditemukan dalam kondisi yang sama, aku sungguh enggak sanggup."

PassegiattaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang