Yuk bisa yuk. Komennya dibuat ratusan. Biar kayak iklan wafer...
Semangat ya guys, biar aku juga semangat postingnya...
---------------------------------
Tidak perlu merasa kasihan, karena aku tidak meminta semua rasa kasihan itu darimu.
"Kenapa sih?" tegur Zhafir ketika melihat gerak gerik mencurigakan dari Adskhan. Di sepanjang perjalanan mereka menuju mushola, tingkah Adskhan memang menjadi fokus Zhafir. Bahkan hingga mereka sampai di mushola, duduk disalah satu kursi untuk membuka sepatu, perasaan was-was dari Adskhan dapat Zhafir rasakan.
"Enggak."
"Paling mikirin Aesha," sahut Abi cepat. Sepatu yang sudah dia lepaskan, Abi letakkan pada lemari yang disediakan, sebelum melangkah masuk lebih dulu ke dalam mushola.
Bukannya dia tidak merasa apa yang Adskhan pikiran saat ini. Namun Abi lebih memilih mengabaikan. Baginya kehidupan dimasa depan masih menjadi sebuah misteri. Tinggal sekuat apa manusia bertahan atas pilihannya.
Seperti dirinya dan Syahla dulu.
Mengenal Syahla sejak kecil hingga dewasa merupakan sebuah takdir bagi Abi. Sekalipun dia bersusah payah menjauh, membuat jarak, meminta kepadaNya untuk ditunjukkan jalan terbaik. Tetap pada akhirnya tujuannya kembali kepada Syahla. Seorang sepupu perempuan, yang sejak kecil memang sudah sangat berterus terang mengatakan jika mencintai Abi.
"Ngomongin masalah apa sih?" tanya Zhafir yang merasa tidak paham atas situasinya.
Adskhan memilih tidak melanjutkan. Baginya teramat sangat tidak pantas membahas hal-hal seperti ini ketika musibah sedang menimpa keluarga besarnya.
"Yuk Bang, sholat dulu."
"Loh, enggak jadi cerita?" seru Zhafir bingung.
Kepala Adskhan menggeleng. "Jangan dibahas sekarang. Enggak baik."
"Oke."
Menurut begitu saja, Adskhan tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Zhafir.
"Lo enggak penasaran, Bang?"
"Penasaran. Hanya saja, tadi setelah gue tanya, lo belum mau menjelaskan, bagi gue semua itu sudah menjadi sebuah jawaban. Jawaban dari rasa penasaran gue, jika saat ini gue belum waktunya untuk tahu."
"Kok bisa sih lo enggak maksa gue buat jelasin?"
"Enggak. Karena memang gue enggak mau. Gini ya, Ads, gue bukan orang baik. Gue bukan ustad dan segala macamnya. Tapi gue orang yang mau belajar. Mau memahami, dan mau mengikuti hal-hal baik lainnya. Seperti halnya gue mau mengikuti ajaran Rasulullah, yaitu untuk saling menghormati orang lain, dan tidak mengganggu urusan pribadi saudaranya atau orang lain. Karena itu, setelah meluncur satu kali pertanyaan gue tentang rasa penasaran ini, dan mendapat jawaban seperti tadi, itu berarti ada hal-hal yang tidak dapat gue ganggu. Karena bersifat pribadi. Itu yang gue pahami dan gue pelajari."
"Kalau lo ngomong panjang lebar begini, gue kayak lihat kakek Fatah."
Zhafir melepaskan senyum manisnya ketika mendengar kata-kata Adskhan. "Lo bukan orang pertama yang bilang begini."
"Keren banget. Pantes Aiz iri banget sama lo."
"Gue yang sebenarnya iris ama Aiz. Dia masih mendapatkan banyak cinta dan perhatian sekalipun dia bersikap kurang baik. Tapi mungkin jika posisinya dibalik, gue enggak akan mungkin merasakan hal yang sama. Ayah gue sempat bilang gini, jangan terlena dengan pujian ketika kamu melakukan sebuah kebenaran, karena mereka-mereka itu yang akan mencacimu paling menyakitkan ketika kamu melakukan satu kesalahan."
"Setuju."
***
"Assalamu'alaikum, Nak."
"Wa'alaikumsalam, Bu."
"Kamu baik-baik saja, kan? Yang sabar ya, Aesha. Banyak-banyak berdoa. Insha Allah doamu akan didengar."
"Alhamdulillah, baik Bu. Kan ada mas Abi, mas Adskhan dan Bang Zhafir di sini," jawabnya merintih sedih.
Bagaimana tidak sedih, seseorang yang begitu dekat dengan ibunya, sejak zaman mereka kuliah sampai akhirnya menjadi saudara yang sesungguhnya, menghubungi ketika Aesha merasa benar-benar sudah tidak ada harapan lagi.
"Kalau ada apa-apa jangan ragu untuk hubungi ibu ya, Sayang. Ingat, kamu enggak akan pernah sendirian."
Aesha menarik napas dalam-dalam disaat air matanya mulai mengalir. Gen yang duduk di sebelahnya melihat curiga tentang sosok yang menghubungi Aesha dan membuat gadis ini menangis.
Pasalnya sejak mereka ditinggalkan berdua saja oleh ketiga kakak sepupu Aesha, Gen benar-benar melihat Aesha adalah sosok gadis yang kuat. Sekalipun musibah berat sedang dia rasakan, tidak ada tanda-tanda bila Aesha akan menjadi lemah dan banjir tangisan saat ini.
Namun setelah mengangkat telepon dari seseorang, penilaian Gen tentang gadis yang kuat kepada Aesha, seolah tergantikan.
Nyatanya, Aesha juga hanya manusia biasa. Yang bisa menunjukkan sisi rapuhnya pada orang-orang yang dia percaya.
"Terima kasih banyak, Bu."
"Kalau begitu, ibu tutup dulu. Jangan lupa hubungi ibu ya, Nak. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum, Ibu Nada."
Mengakhiri sambungan teleponnya, Aesha sempat terdiam sejenak, menatap layar ponselnya. Sebuah gambar pesawat terbang di langit yang cerah memang terlihat sangat indah ketika Aesha menatapnya. Akan tetapi, perlahan-lahan keindahan itu lenyap disaat kabar musibah ini menghantuinya.
"Telepon dari siapa?" tegur Gen, setelah memberikan jeda untuk Aesha melamun.
"Ah, dari ibu Nada. Ibunya bang Zhafir."
"Owh. Tantemu?"
Aesha mengangguk. Dia melirik Gen. Sekalipun kedua matanya bengkak, namun senyuman manis di bibir Aesha, berhasil menghipnotis laki-laki itu.
"Dia sahabat ibuku. Mungkin dulu, kalau ibuku tidak berteman dengannya, sampai saat ini aku tidak akan terlahir ke dunia. Mungkin. Atau jika aku terlahir ke dunia, maka ibuku adalah orang lain yang Tuhan pilihkan."
"Maksudnya?"
"Ibu Nada adalah orang yang menjodohkan ibuku dengan ayahku. Kebetulan ayahku adalah sepupu dari ibu Nada," kata Aesha begitu tenang.
Setiap gerak gerik yang Aesha ciptakan, menjadi daya tarik tersendiri bagi Gen. Dia menikmati senyuman di bibir Aesha. Bahkan sesekali kepala gadis itu akan menggeleng, seolah pikirannya sudah lebih dulu bercerita mendahului bibirnya.
"Ibuku bukan orang kaya, Gen. Keluarga ibuku di Malang ini hanya keluarga kurang mampu. Kakekku dari ibu, hanya seorang tukang ojek. Nenekku hanya buruh cuci. Ibuku bisa kuliah karena beasiswa. Namun takdirnya benar-benar sangat indah. Dia dipertemukan dengan ibu Nada. Seorang sahabat yang sangat spesial untuk ibuku. Bukan. Bukan karena ibuku tahu bagaimana latar belakang keluarga ibu Nada. Melainkan karena karakter mereka memang saling melengkapi. Mereka kebetulan berkuliah di tempat yang sama, dan satu jurusan yang sama."
"Ibu Nada, mengapa kupanggil dia seperti itu, karena bagiku dia sudah seperti ibu kandungku sendiri. Dia begitu baik, Gen. Kalau bukan karena ibu Nada yang memaksa ibuku untuk ikut bersamanya ke Jakarta pada masa itu, mungkin saat ini kita tidak akan bertemu. Atau bahkan aku belum diberikan kesempatan untuk hadir ke dunia ini. Karena itulah aku sangat bersyukur. Bersyukur atas semua yang terjadi. Termasuk dengan musibah kali ini yang pastinya memiliki arti tersendiri bagiku dan bagi seluruh orang yang mengenal keluargaku."
"Yap, kamu benar. Kita memang perlu bersyukur. Termasuk aku. Aku sangat bersyukur bisa mengenalmu, Aesha. Walau banyak perbedaan di antara kita, selama kita dalam pesawat yang sama, aku yakin kita akan berhenti pada tujuan yang sama."
Aesha meringis dalam senyumannya. "Semoga aku enggak trauma dengan perjalanan dalam pesawat setelah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Passegiatta
SpiritualBerawal dari kabar duka, kupikir inilah awal dari derita. Dimulai dari hilangnya kontak pesawat penerbangan rute Jakarta - Malang, di daerah pegunungan Kawi, mendadak membuat semuanya panik. Termasuk seorang gadis bernama Raesha Azzalfa. Pasalnya k...