Bab 19

546 118 1
                                    

Boleh komen 1 kata buat aku?

Tolong komen semangat buat kalian yang baca tulisan ini.

Terima kasih


------------------------------


Banyak yang bilang hidupmu telah enak, namun mereka lupa bila matiku belum tentu sama enaknya.

Setelah memutuskan untuk menguburkan ketiga jenazah besok pagi, rumah besar keluarga Al Kahfi yang kini ditempati oleh Syafiq serta Farah, perlahan-lahan mulai ramai dengan keluarga, kerabat, bahkan rekan-rekan wartawan, yang pada akhirnya tahu lokasi ini. Simpang siurnya isu yang sebelumnya menyebar membuat para wartawan terpecah, hingga ada yang menunggu kedatangan jenazah di rumah yang ditempati Wahid dan keluarganya.

Ada wartawan yang menunggu dengan sabar di sana, namun lebih banyak wartawan yang mencoba mengorek-ngorek informasi ke pihak kerabat terdekat dari almarhum Wahid. Ada informan valid yang mengatakan bila jenazah ketiganya tidak akan dibawa ke rumah pribadi Wahid, melainkan dibawa ke rumah besar milik keluarga, membuat para wartawan kocar-kacir mencari rumah mana yang dimaksud informan tersebut.

Setelah satu demi satu wartawan mencoba mengecek rumah-rumah milik keluarga terdekat, mereka semua pada akhirnya menemukan. Bila ketiga jenazah tersebut dibawa ke rumah duka, rumah yang kebetulan hingga kini masih di tempati oleh Maheswara Syafiq Al Kahfi, Pemilik Al Kahfi Group.

Dengan informasi tersebut yang sudah diterima oleh semua wartawan, baik media cetak atau elektronik, terlihat semakin banyak kumpulan para kuli tinta itu di area sekitar rumah duka. Posisi mereka jelas menyebar, mencari spot-spot kamera terbaik, demi bisa mengabadikan gambar serta video dari kondisi terupdate yang bisa mereka informasikan ke semua orang. Apalagi sosok keluarga korban dari kecelakaan pesawat ini bukanlah orang sembarangan, karena faktanya berita dibeberapa negara di dunia pun menginformasikan kabar duka ini.

"Eh ... eh, itu. Anaknya Menteri keuangan," seru seorang wartawan ketika melihata salah seorang pelayat yang tidak asing baginya.

"Bener, itu mba Ghia. Anaknya pak Menteri."

Bergerak serentak, semuanya langsung saja menghadang langkah seorang perempuan bernama Ghia, yang mereka yakini merupakan putri Menteri keuangan.

"Sore mbak Ghia. Bisa minta waktunya sebentar?"

Dikawal dengan banyak bodyguard, tidak ada satu pun kata keluar dari perempuan itu. Langkahnya terkesan sangat cepat, seolah benar-benar ingin menemui sesuatu yang menunggunya di dalam rumah duka.

"YAAAHHH ...." Terlalu kompak bersuara, pasukan pengamanan yang memang disiapkan secara khusus, dari batalyon INF milik pasukan dari suami Shafa, langsung membubarkan para wartawan tersebut.

Mereka bahkan diperingatkan secara tegas, boleh mengambil gambar dan merekam apapun, namun tidak diperbolehkan membuat keributan seperti tadi. Dan jika sampai hal itu mereka lakukan lagi, pasukan tersebut tidak akan segan-segan membubarkan semuanya.

Karena biar bagaimana pun, di dalam rumah besar tersebut sedang ada keluarga, kerabat dan sahabat yang berduka. Namun para kuli tinta yang terkadang hanya ingin berita, sulit sekali diajak kerja sama dengan para pengamanan setempat.

"Jangan bilang mbak Ghia dan almarhum memang ada hubungan."

***

Masih duduk di depan tiga peti mati milik keluarganya, kini Aesha duduk tidak sendirian. Sudah lebih banyak orang yang menemaninya, entah itu dari pihak keluarga neneknya, kakeknya, atau dari para pegawai kantor yang bekerja di perusahaan milik Rasyiqul Wahid.

PassegiattaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang