Lylefox, 1885.
Sudah satu bulan berlalu, tapi Belinda Holywell belum punya teman satu pun.
Palais Lyle terlalu ramai bagi gadis penyendiri seperti Belinda. Untung saja, ia sudah menjelajahi sekitar sekolah selama sebulan ini, dan menemukan tempat yang sepi untuk membaca buku atau melamun.
Setelah menyusuri tepi sungai Lylefox, sebuah bukit rendah menyapa pandangannya. Belinda menahan topinya supaya tidak kabur oleh angin musim gugur saat mendakinya. Tak butuh waktu lama, sebuah bangunan mungil sudah terlihat di antara pepohonan. Beberapa murid-murid Palais Lyle duduk-duduk di kursi yang disediakan. Florally's Tea Hill menyediakan biskuit dan teh, sehingga cocok untuk bersantai setelah belajar seharian penuh.
Namun, tentunya bukan ini tujuan Belinda. Tak hanya soal makanan, Florally's Tea Hill pun juga peduli soal ilmu. Di sebelah kafe, terdapat perpustakaan kecil yang cukup nyaman. Belinda cukup membayar uang perawatan bulanan yang terbilang murah untuk menikmati ketenangannya.
Belinda meletakkan buku-bukunya di salah satu meja. Nah, aman. Ia tak perlu mendengarkan celotehan teman-teman sekamarnya, yang selalu mengingatkan pada fakta bahwa ia sendiri anak kelas satu yang belum punya teman. Siapa bilang Belinda tak peduli, karena saking kikuknya, ia pun kabur ke perpustakaan ini.
Jujur saja, Belinda sebenarnya adalah anak yang mudah berteman. Tapi itu dulu. Belinda berpikir kalau ini berhubungan dengan kondisinya saat ini. Dua tahun lalu, bisnis ayahnya mengalami kegagalan, lalu jatuh miskin. Mereka bahkan tak bisa membayar dokter untuk menolong ibunya yang sedang sakit. Tak lama kemudian, ibu pun meninggal. Di tengah sakit hatinya, ayah masih bekerja keras sehingga bisa mendatangkan kekayaan lagi di Hazeltryst Manor, meskipun tak seperti dulu. Namun, ayahnya jadi berbeda.
Ia tak lagi sehangat dulu. Ia selalu terlihat lelah saat pulang bekerja. Namun, ia akan marah saat Belinda mencoba menanyakan apa yang terjadi. Jadi, hubungan mereka pun merenggang. Belinda merasa ada yang aneh dengan pekerjaan baru ayahnya, karena ia tak pernah membicarakannya. Dan suatu hari, ia mendapati orang-orang dengan penutup muka yang mengantarkan beberapa kotak ke ruang kerja ayah. Karena terlalu penasaran, Belinda pun membukanya.
Namun, belum sempat ia melihat isinya, ayah memergokinya. Dengan genggaman di kerah bajunya, ia pun berakhir di Palais Lyle, sekolah berasrama yang berada di antah berantah ini.
Ia berharap ayah akan menyesal, lalu menjemputnya kembali ke Hazeltryst Manor untuk tinggal bersama seperti sebelumnya. Ia benar-benar tak tahu apa isi kotak itu sampai-sampai ayah tega mengusirnya ke sekolah ini. Tanpa sadar, air matanya menetes. Betapa tega ayahnya, saat luka di hatinya belum sembuh karena meninggalnya sang ibu, kini ia juga dipaksa terpisah dari ayah.
"Menulis surat untuk ayahmu lagi, Miss Holywell?" tanya Mrs. Florally sambil meletakkan secangkir air putih di meja Belinda. Wajahnya yang bulat kemerahan karena tiupan angin musim dingin.
Diam-diam, Belinda menghapus air matanya, lalu memaksakan senyum. Mrs. Florally adalah pemilik kafe yang baik. Kalau ia bisa dianggap teman, maka ia adalah teman pertamanya.
Belinda menggeleng. "Aku baru mengirim surat kemarin, kasihan si tukang pos pasti bosan lihat pagar rumahku terus."
Mrs. Florally tertawa. "Mungkin ia malah akan jadi teman dekat ayahmu kalau kau mengirim lagi. Baiklah, aku tinggal dulu, ya. Jangan lupa pakai syal saat keluar, akhir-akhir ini anginnya kencang sekali."
Menjelang petang, Belinda keluar dari dari Florally's Tea Hill. Setelah berjalan beberapa langkah, ia melihat seekor kucing putih yang sedang memainkan kumbang. Dibaliknya kumbang itu, lalu diputar-putar seperti memainkan piringan.
Sungguh hewan yang sadis, pikir Belinda sambil berlalu. Namun, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di bawah leher si kucing. Kilaunya saat tertimpa sinar matahari benar-benar familiar. Dengan langkah pelan, ia mendekati kucing itu, takut kalau si kucing akan kabur.
Rupanya, kucing itu tak takut manusia. Ia malah menggosokkan tubuhnya ke kaki Belinda. Belinda mengambil kesempatan itu untuk melihat bandul pada kalung si kucing. Jantungnya berdegup kencang, ini adalah liontin ibunya yang hilang dua tahun lalu! Tak ada orang lain yang memilikinya. Pola flute yang dililit dengan ivy merupakan simbol keluarga Fluety, nama keluarga dari pihak ibunya.
Belinda ingat sekali kejadiannya. Beberapa bulan setelah ibu meninggal dunia, ia dan ayah berjalan-jalan di sebuah taman pusat kota. Mereka berkeliling taman, bercakap-cakap dengan keluarga-keluarga lain, dan menyusuri sungai dengan perahu. Saat di perjalanan pulang, Belinda sadar kalau ia kehilangan liontin itu! Mereka pun kembali ke taman dan mencarinya sampai sore hari. Tapi, kalung itu tak ditemukan juga.
Selama ini, ia takut melupakan memori ibunya. Karena kian lama wajah ibunya berada di pigura ruang altar, makin hilang ingatannya tentang hal-hal trivial tentang ibunya. Kadang-kadang, Belinda bangun pada dini hari dengan panik, lalu merapalkan kebiasaan ibunya seolah-olah itu adalah bagian yang paling penting dalam hidupnya. Ia suka memasak puding raspberi di musim panas, membaca buku tentang tumbuhan, dan merawat kelinci di halaman belakang. Ia memberikan liontin itu di hari terakhirnya.
"Kau selalu akan menemukan Ibu di sini," begitu katanya, yang membuat Belinda tahu kalau ia harus menjaganya dengan baik.
Namun, belum sempat ia memecahkan misterinya, liontin itu sudah hilang.
Dan akhirnya ia menemukannya di sini.
Belinda menggendong kucing itu untuk ia tanyakan pada Mrs. Florally siapa pemiliknya. Saat ia mendengar sebuah suara.
"Berhenti! Mau kau apakan kucingku?" ucap seorang gadis dengan ketus. Ia menghampiri Belinda dan merebut kucingnya, lalu mengelus-elus punggungnya. "Tak apa-apa, Sapphire. Kau sudah aman sekarang," setelah kucingnya mendengkur nyaman di pelukannya, ia melayangkan pandangannya pada Belinda. "Kau mau mencurinya, ya?"
"Itu liontin ibuku," ucapnya, mengabaikan tuduhan gadis itu, sambil menunjuk bandul di kalung leher Sapphire. "Aku hanya mau menanyakan pada Mrs. Florally siapa yang punya kucing ini. Liontin ini sudah hilang dua tahun lalu."
"Omong kosong! Aku melihatmu berjingkat-jingkat mau membawa Sapphire kabur," seru gadis itu. "Lagipula, liontin itu kudapatkan dari ayahku."
"Itu benar-benar milik ibuku," ucap Belinda sambil menahan emosinya. "Flute dengan lilitan ivy adalah lambang keluarga ibuku. Tak mungkin ada yang lain di dunia ini."
"Desain seperti itu sangat mudah diduplikasikan, tahu. Sudahlah, relakan saja barangmu yang hilang. Lagipula, desainnya tak terlalu bagus untuk dipakai. Makanya kupakaikan pada Sapphire."
"Kapan kau mendapatkan liontin itu?"
"Musim semi setelah Irelia memenangkan Perang Viburnum Putih. Ayahku memberikan liontin ini untuk merayakannya."
"Tepat dengan waktu aku kehilangannya. Itu pasti punyaku. Kembalikan padaku!"
"Bicaramu sembarangan sekali, ya. Kalau berani, minta pada ayahku. Dia yang memberikannya padaku, jadi kalau mau bertanya asal-usulnya, kau tanya sendiri padanya!"
"Memangnya siapa ayahmu?"
"Earl of Carleon," ucapnya dengan senyum miring.
Belinda tertegun. Dia adalah putri seorang earl, yang tak mungkin memungut perhiasan murahan di padang rumput. Tanpa ia sadari, pertengkaran itu telah menarik perhatian banyak orang. Seorang gadis dengan emblem prefek menaiki bukit dengan langkah tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of 12 Friary Lane
Teen FictionBelinda Holywell curiga kalau ayah mengirimnya ke Palais Lyle karena tak mau melihatnya lagi. Selama berada di sekolah berasrama itu, ia tak mau berteman dan terus menyendiri. Suatu hari, ia melihat liontin flute mendiang ibunya dipakai oleh seekor...