"Tapi aku tak bisa, Belinda. Berhenti memaksaku. Aku masih harus menulis beberapa surat lagi. Bukankah aku sudah tawarkan kalau aku yang akan membayar penuh carafenya, kamu tinggal pergi saja dan membelinya. Menurutku itu sangat adil."
"Aku tak setuju," kata Belinda di sela-sela giginya. "Saat kau katakan sekarang mungkin terdengar adil. Tapi saat aku sampai di sana, sementara angin bertiup sekencang ini, aku yakin aku baru akan sadar kalau kau memperalatku. Elise, kalau kau tak pergi juga, aku tak akan membeli carafe itu."
Saat Belinda mengatakan kalimat itu, Elise baru mengangkat kepalanya. Mata biru Belinda berkilat-kilat. "Kalau begitu kau mencari masalah! Miss Frost akan menceramahimu berjam-jam."
"Ya, dan kau juga," ucap Belinda seraya mengangkat bahu. Tak ada satu pun gadis di Palais Lyle yang ingin diceramahi oleh Miss Frost, karena bisa sampai berjam-jam. Saat keluar dari kantornya, perkataannya akan terus terngiang-ngiang di kepalamu, hingga terpaksa kamu merenungkannya. Merusak perangkat sekolah bukanlah hal yang sepele.
Elise menyipitkan mata. Aliran listrik seakan terhantar di pandangannya. Namun, Belinda tak mau kalah. Ia balik menatap Elise."Segitu inginnya ya, kau ingin berjalan bersamaku," kata Elise akhirnya, seraya melambaikan rambut pirangnya. Lalu ia berdiri dengan gaya anggunnya. "Baiklah, aku akan pergi."
Belinda sungguh kesal dengan perkataan Elise. Namun ia menahannya. Sudah bagus Elise mau menjalani hukuman dengan baik tanpa sembunyi di balik uang sang Duke. Mereka pun berjalan keluar dari ruang rekreasi asrama Celurian.
Mendung menggantung di langit begitu mereka keluar dari area Palais Lyle. Belinda mengusulkan untuk memakai kuda, tetapi rupanya seluruh kuda sedang digunakan oleh anak-anak klub polo untuk berlatih. Jadi, mereka terpaksa berjalan kaki menuruni jalan berbatu ubin besar menuju pasar desa Lylefox. Mereka melalui beberapa rumah pedesaan, dan melihat para wanita yang sedang mengangkat jemuran di halaman rumah.
Belinda hanya berharap supaya saat hujan turun, mereka sudah kembali ke asrama.
Prism Shine terletak di dekat Pasar Petani di desa Lylefox. Bibir Elise mencebik begitu melewati pasar, seakan-akan tempat itu adalah tempat yang paling kotor di dunia. Tak lama kemudian, mereka pun tiba di Prism Shine.
"Selamat datang di Prism Shine, Nona-nona. Apakah ada yang bisa kubantu?" sambut seorang pria bermata jenaka saat mereka sudah masuk ke dalam toko.
Mr. Prism rupanya tahu carafe macam apa yang dibutuhkan oleh Belinda dan Elise. Sambil membungkusnya dalam kardus, ia berkata kalau Palais Lyle membeli peralatan memasak di tokonya. Setelah membayarnya, mereka pun keluar dari toko.
Belinda merasa kalau ia hanya sebentar saja di dalam toko, tapi saat keluar, mendung semakin gelap. Hujan mengancam akan turun kapan saja. "Ayo, kita harus cepat kembali ke asrama."
Mereka mengerahkan tenaga untuk berjalan lebih cepat. Sayangnya, gerimis mulai turun, dan tak memberikan waktu banyak untuk hujan yang lebih deras datang. Angin bertiup kencang. Jas para pria dan rok para wanita yang lewat melambai-lambai karenanya. Dari kejauhan, pucuk pohon aspen yang berdaun kekuningan meliuk-liuk mengikuti arah angin.
"Kita berteduh saja dulu," kata Belinda sambil berlindung ke bawah kanopi sebuah toko topi wanita, Hat by Hazel. "Hujannya terlalu deras."
Elise terlihat berdiri dengan ragu, namun tak lama kemudian ia mengikuti Belinda. Kedua gadis itu berdiri di bawah kanopi mungil. "Kalau saja tadi tidak terburu-buru, pasti masih sempat membawa payung. Masih banyak surat-surat yang harus kutulis. Sepertinya aku harus begadang malam ini. Oh, benci sekali aku kalau harus bangun dengan mata merah."
"Mustahil payungmu bisa tetap utuh di cuaca seperti ini," ucap Belinda.
Memang benar, hujan turun sangat deras seperti ditumpahkan dari langit, dan angin bertiup kencang seperti ada naga yang tengah mengamuk. Seorang pria yang berada di seberang jalan kesulitan menjaga payungnya tetap terbuka, sementara tubuhnya terhuyung-huyung mencoba bertahan di tengah-tengah amukan angin.
Hari yang makin gelap, dan hujan yang tak kunjung berhenti, membuat perasaan kedua gadis itu makin suram. Belinda tak bisa membayangkan akan terjebak hujan dengan gadis semengesalkan Elise sebelumnya.
"Kalau saja kau tak merampas lemonku di kelas," ucap Elise.
Rupanya ia memutuskan untuk mengungkit-ungkit penyebab mereka jadi seperti ini. Belinda jadi tak mau kalah. "Kau tak pernah masuk kelas memasak sebelumnya. Aku sudah tahu kau ceroboh dengan menghabiskan semua jatah bolosmu di awal semester. Hasil silabub kita bukan hanya milikmu saja. Kalau hancur, bukan nilaimu saja yang jelek, tapi nilaiku juga."
"Sepertinya itu kalimat yang cocok untukmu sendiri. Kau ingin melakukan semua pekerjaan. Sebenarnya kau sangat egois. Kau tak bisa bekerjasama. Dan kau memandang semua orang dengan pandangan buruk. Itulah kenapa kau tak punya teman. Sekarang hanya kita yang tak punya nilai silabub di Kelas Memasak. Bagaimana? Kau pasti sangat senang."
Sekarang, Belinda sangat marah. Terlebih Elise melihatnya dengan seringai mengejek di bibirnya. Ia mendorong Elise keluar dari lindungan kanopi. Elise tak terima kalau hanya dirinya yang disiram air hujan, ia pun menarik bahu Belinda keluar juga. Hingga mereka basah kuyup. Namun tangan mereka tak lepas dari satu sama lain.
"Kau tak berhak bicara seperti itu tentangku. Aku tahu kamu berbohong soal liontin itu. Entah bukan ayahmu yang memberikannya padamu, atau kau tahu jelas bahwa ayahmu tak pernah membelinya. Ah, sepertinya yang kedua. Entah gadis macam apa kamu di mata ayahmu, hingga dia memberimu hadiah yang asal ia temukan di tanah," teriak Belinda, berusaha menyaingi suara hujan.
Mereka bertarung seperti kucing liar. Hingga Belinda merasakan lengannya dicengkeram oleh seseorang. Sejenak, jantung Belinda berhenti. Takut kalau seorang prefek menemukan mereka berkelahi. Tapi, rupanya ia segera diseret hingga masuk ke dalam sebuah ruangan.
Seorang wanita dengan tulang pipi tinggi menggeleng-gelengkan kepala. "Kalian berkelahi seperti kucing liar di depan tokoku. Lihat, pelangganku sampai merasa tak nyaman. Hattie, ambilkan handuk untuk kedua gadis nakal ini."
Belinda melihat ke sekeliling, dan menyadari kalau tadi mereka berkelahi di depan jendela toko. Wanita-wanita yang sedang berbelanja di dalam toko memperhatikan mereka. Pipinya terasa panas. Ia melihat ke arah Elise, dan menemukan bahwa kondisi gadis itu tak beda jauh dengannya. Pipi dan hidungnya merah, dan anehnya, matanya juga ikut merah.
Wanita pemilik toko itu memberikan Belinda dan Elise handuk. Kemudian mereka didudukkan di sebuah meja dan disediakan dua cangkir teh panas. "Daripada kalian menakut-nakuti calon pelangganku, lebih baik kalian membicarakan masalah kalian di sini. Aku tak akan mengganggu kalian lagi. Hujan sangat deras karena disertai badai, jangan pergi dulu kalau belum reda. Aku akan membantu kalian berbicara pada Miss Frost kalau sampai jam sepuluh malam kalian belum bisa kembali."
Rupanya wanita itu tahu kalau mereka adalah murid Palais Lyle. Kepala Belinda makin pening. Ia baru saja menghancurkan reputasi Palais Lyle sebagai sekolah yang mendidik gadis-gadis beretika dan tahu sopan santun. Elise pasti tak memikirkannya. Namun, saat ia melihat Elise di hadapannya, ia tertegun.
Bahu gadis itu tersengal-sengal, sungguhan ... apakah Elise sedang menangis?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of 12 Friary Lane
Novela JuvenilBelinda Holywell curiga kalau ayah mengirimnya ke Palais Lyle karena tak mau melihatnya lagi. Selama berada di sekolah berasrama itu, ia tak mau berteman dan terus menyendiri. Suatu hari, ia melihat liontin flute mendiang ibunya dipakai oleh seekor...