Pregame

11 6 0
                                    

Belinda baru berani bersuara saat gerobak yang didorong oleh anak buah Mr. Innozenze berhenti. Ia membuka penutup gerobak, dan tak terlihat terkejut saat melihat Belinda.

"Keluarlah, Nak. Kau menindih mantel bulu berang-berangku, aku tak mau tampil di panggung dengan bau menyengat. Nah, itu Mr. Innozenze, dia memanggilmu," ucapnya.

Belinda berang sekali mendengar ucapan pria itu. Enak saja, ia tak mengompol. Ia melompat keluar dari dalam gerobak. Ia mengamati sekeliling, dan menyadari kalau ruangan belakang panggung ini tak ada orang lain selain anggota Aeris Cirque.

Mr. Innozenze berdiri di dekat tangga. Ia membawa dua lembar kertas, mungkin ia sedang berusaha menghafal naskah bagiannya di bawah cahaya lampu yang remang-remang. Belinda berjalan menghampirinya.

"Sudah tahu apa yang akan kau katakan andaikan kau tertangkap?"

Belinda diam sejenak, ia belum memikirkannya. Selamatnya reputasi Aeris Cirque di mata Lord Northstar tak lebih penting dari rencana yang akan ia lakukan nanti. Batasnya adalah ucapan lamaran sang Duke. Dan jarum yang berdetak tiap detik terdengar makin kencang dari waktu ke waktu. "Aku akan berkata kalau—"

"Kau bisa masuk karena terbawa dalam belanjaan sayur tukang masak, atau kau salah mengenali Fairchester House sebagai rumahmu, atau kau sebenarnya tikus yang tak sengaja minum ramuan sehingga bisa jadi manusia. Apapun itu, asal kau tak menyebutkan kita."

Belinda mengiyakan saja. Namun, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Begitu Mr. Innozenze mengusirnya, ia bersandar di dinding yang paling jauh dari rombongan Aeris Cirque yang sedang sibuk. Bagian ini tak terkena cahaya lilin. Di sampingnya ada sebuah jendela yang memperlihatkan pelayan-pelayan Fairchester House yang tengah membawa hidangan menuju ruang teater. Ikan kakap besar dengan saus hijau terlihat sangat enak. Begitupun setumpuk apel merah yang terlihat ranum. Koleksi epergne yang menawan juga dipamerkan. Mata Belinda menyipit melihat pelayan-pelayan yang membawanya dengan wajah cemas. Kalau sampai pecah, mungkin mereka juga akan ikut pecah.

Begitu rombongan para pelayan sudah habis, Belinda pun menyelinap keluar ruangan. Ia mengikuti langkah kaki para pelayan itu hingga tiba di ruang teater. Belinda terpaku. Ruangan itu begitu megah dan indah. Kain berwarna krem membentuk pola awan di atas panggung. Sementara itu, kain berwarna merah menjuntai hingga lantai. Tak seperti teater yang pernah dilihatnya, tak ada kursi-kursi yang berjajar dengan ruangan terlalu sempit untuk meletakkan kaki. Namun meja-meja bundar disusun menyebar di ruangan dan masing-masing dikelilingi oleh beberapa pasang kursi.

Semua wanita mengenakan gaun yang mewah. Mutiara dan permata disematkan di kain gaun mereka hingga kelihatan memesona. Belinda bertanya-tanya bagaimana mereka tak ingin bersin melihat bulu yang mereka kenakan. Hanya Belinda yang mengenakan gaun biasa. Untungnya, warnanya krem, dan di bagian pinggangnya ada korset yang membuat bagian roknya mengembang. Ia menepuk-nepuk gaunnya, berharap tak ada debu yang menempel pada dirinya saat bersembunyi tadi.

"Halo! Kau tersesat, ya? Duduk saja, kamu bisa pilih meja manapun. Jangan berdiri di sini karena akan menghalangi pelayan mengantar hidangan," tiba-tiba ada seorang gadis yang menyapanya. Ia memiliki wajah bulat dengan lesung pipi yang dalam, membuatnya terlihat manis. Iris matanya berwarna cokelat gelap nyaris hitam. Ia benar-benar manis.

"Iya, aku sebenarnya tak tahu mau duduk di mana," ucap Belinda dengan gugup.

"Ayo ikut denganku. Ini pertama kalinya kau datang ke Fairchester House, ya? Dimana orang tuamu?"

Belinda tergagap. Nyaris ia berkata kalau ayahnya bermil-mil jauhnya, dan ibunya telah tiada, untung saja, otaknya cepat tanggap. "Aku tak tahu mereka ada di mana. Tadinya sih, mereka berkata ingin berkata dengan seorang Lord, entah namanya siapa, Ayah mengucapkannya terlalu cepat—"

"Oh, pasti urusan pekerjaan. Pesta di Fairchester House selalu dipenuhi oleh para pebisnis. Bagus sih, karena seperti yang kau tahu, biasanya undangan tak diberikan pada para pebisnis, yang dianggap rakyat jelata bagi para bangsawan. Tapi harusnya orang tuamu tak meninggalkanmu begitu saja. Ayo, kau boleh ikuti aku seperti anak ayam pada ibunya."

Mereka duduk di kursi yang tak jauh dari panggung. Gadis itu melihat ke arah panggung dengan antusias. "Kenalkan, aku Beatrice Sanford. Kalau kau?"

"Aku Bella Skylark," ucap Belinda. Itulah nama yang pertama kali terbersit dalam benaknya saat ia mendengar nama gadis di hadapannya ini. Kedua nama itu memiliki suku kata dan huruf yang hampir serupa. Takut dicurigai, Belinda membuka topik baru. "Dengan siapa kau datang ke sini?"

"Dengan suamiku. Tapi ia tak mau bergabung denganku, lebih memilih menonton pertunjukan dengan teman-teman gilanya."

"Oh, aku turut prihatin."

Beatrice menatapnya dengan aneh, lalu tertawa seraya mengibaskan kipasnya. "Sudah biasa. Dia memang seperti itu. Dan memang seperti inilah hubungan kami. Tapi tak apa, masih banyak hiburan yang bisa dimainkan bagi teman wanita, kan?"

Beatrice benar-benar menyenangkan diajak berbicara. Ia menebak usianya tujuh belas tahun, enam tahun di atasnya. Namun ia tak bersikap angkuh, alih-alih, ia berbicara dengan ramah pada Belinda. Ia lumayan menyayangkan pertemuan mereka yang didasari atas kebohongan. Artinya, mungkin mereka tak akan bertemu lagi.

Belinda melihat ke sekitarnya. Bagaimanapun asyiknya pembicaraan dengan Beatrice, ia tak mungkin melupakan misi awalnya ke sini. Tamu-tamu mulai berdatangan. Belinda mendengarkan penjelasan Beatrice mengenai orang-orang yang dikiranya akan mengesankan Belinda dengan telinga kirinya. Dua menit setelah epergne terakhir dikeluarkan, seorang gadis yang dikenal oleh Belinda muncul dari balik tirai.

Elise.

Belinda mengamatinya. Gadis itu masih secantik permata. Namun, tubuhnya terlihat lebih kurus. Kulitnya juga pucat, tak lagi dihiasi oleh cahaya alami seperti sebelumnya. Rambut pirangnya disanggul dengan sebuah pita berwarna terang. Dan ia tak datang sendiri, tetapi bersama seorang pria yang usianya jauh lebih tua dari Belinda. Ia adalah Duke of Exeter. Wajahnya sumringah sembari membalas sapaan tamu-tamu yang hadir dalam teater itu.

"Kuharap Lord Northstar tak benar-benar membiarkan mereka," ucap Beatrice setelah mengamati pasangan tak lazim itu hingga mencapai tempat duduk mereka.

"Miss Northstar dan Duke of Exeter?" tanya Belinda.

"Tentu saja. Kita sudah bertahun-tahun melewati masa itu, saat seorang wanita dapat dinikahi di usia belia. Sekarang dunia sudah mulai modern, melihat hal seperti ini lagi membuatku merasa mual," bisik Beatrice. "Belinda, aku pernah mendengar kalau Lord Northstar berharap mempunyai anak laki-laki. Kalau ia sudah menerima Elise sebagai anak perempuannya, tak mungkin ia membiarkan hal ini."

Beatrice kelihatannya tak setuju. Sesaat Belinda tergoda untuk mengutarakan rencananya. Sebelum ia sadar kalau tak semua orang berani menghadapi Duke of Exeter. Ia mungkin perlu bersabar hingga menemukan waktu yang tepat untuk menyeret Elise keluar dari pusaran air yang akan menyedotnya tanpa menyediakan jalan keluar.

The Tale of 12 Friary LaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang